Oleh Mila Muzakkar
(Puisi esai ini diinspirasi dari pengalaman teman kecil penulis yang dinikahkan di usia SD, di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan)
–
Pukul 07.00 pagi, kelas 5 SD Karampang pa’ja (2) hening.
Bocah-bocah berseragam merah putih diam seribu bahasa,
seperti anak yang kehilangan induknya.
Di luar, angin berhembus kencang,
menyapu dedaunan kering,
yang berguguran digempur hujan semalam.
Di depan kelas, ibu guru baru saja memberi kabar,
“Besok, Yanti, ketua kelas kalian mau kawin. Kita semua diundang,” di tangan kanannya, wali kelas 5 itu mengangkat undangan berwarna putih tulang.
Yoyong, teman sebangku Yanti, bergetar.
Yanti dan Yoyong tak ubahnya sepasang sepatu, selalu bersama.
“Berarti saya sudah tidak punya teman duduk.
Sudah tidak punya teman cerita,” batinnya.
*
Matahari pagi melipat wajahnya,
cahayanya tak mampu membendung awan mendung yang datang tanpa permisi.
Barisan bocah berseragam merah-putih,
mengantri di depan tenda biru, di kolong rumah Yanti.
“Oh itumi suaminya Yanti, toh (3)?”, ucap salah satu siswa.
Semua mata tertuju pada sosok lelaki tua berbaju bodo(4) warna merah.
Pengantin lelaki itu tersenyum lepas,
Pada para undangan, ia mengumbar bahagia.
“Mana Yanti, kenapa tidak ada duduk sama suaminya?” tanya siswa lainnya.
Di samping pelaminan berhias lamming (5) warna warni,
alunan musik elekton menguntai nada.
Tubuh-tubuh berbalut gaun pesta berlenggak-lenggok,
gelak tawa, wajah-wajah gembira tampak di sana.
Di atas rumah kayu setengah reyot,
teriakan anak perempuan menggema.
Langit bergemuruh,
Awan putih perlahan berganti kelam.
“Itu suara Yanti. Dari tadi malam, dia sudah lima lima kali pingsan,” bu guru menjelaskan pelan kepada mata-mata polos muridnya.
“Kasian Yanti, masih sekolah sudah dijodohkan,” suara hati terdalam bu guru tak lagi terbendung. Wajahnya seolah berdoa agar takkan lagi ada siswanya yang kawin di usia sekolah.
*
Janur kuning t’lah layu,
pengantin kecil itu memintal untaian kesedihan.
Malam terasa panjang,
sang fajar masih saja bersembunyi.
Setiap hari adalah tumpukan mimpi buruk.
Hatinya tersayat,
batinnya hancur,
Kedua sayapnya patah sebelum terbang.
Yanti adalah burung kecil di sangkar besi,
Tubuh mungilnya adalah tumbal kepicikan.
Bapaknya bilang, “Perempuan menikah cepat, lebih baik. Supaya ada yang jaga.”
Yanti adalah bunga mawar layu,
Vaginanya adalah tumbal tradisi.
Ibunya bilang, “Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Yang penting bisa layani suami, itulah ladang surganya.”
*
Pagi kembali berembun,
cahaya matahari enggan datang.
Suara tangisan menggema di langit-langit ruangan kelas 5.
“Anak-anak, kita doakan temanta nah (6), Yanti.
Barusan orang tuanya telpon, Yanti meninggal tadi malam,” bu guru membawa kabar duka.
Langit runtuh,
menumpahkan serpihan-serpihan awan hitam,
duri-duri serpihannya menusuk hati.
Yanti ditemukan terbujur kaku di lantai kamar mandi.
Di selangkangannya, mengalir darah segar.
“Kandungan Yanti belum kuat, organ-organ reproduksinya belum siap dibuahi,” bidan desa menjelaskan.
Bocah peremuan itu t’lah sampai di atas altar, altar kematian.
Pada sang Penciptanya, ia kembali,
Membawa cabang bayi, yang nafasnya baru ditiupkan di rahimnya.
Jiwanya t’lah damai di surga,
bebas dari dunia yang menguburnya hidup-hidup.
Depok, 4 Januari 2025
Catatan
1. Pernikahan anak di Kabupaten Jeneponto termasuk yang tertinggi di Provinsi Sulawesi Selatan. https://makassar.tribunnews.com/2024/12/31/14-anak-ajukan-dispensasi-nikah-di-jeneponto-sulsel-sepanjang-2024
https://www.liputan6.com/citizen6/read/2529285/heboh-pernikahan-pasangan-bocah-13-tahun-di-sulawesi-selatan
2. Karampang Pa’ja adalah salah satu nama desa yang ada di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan.
3. Dialek Jeneponto, baca: itu suaminya Yanti kan?
4. Baju bodo adalah pakaian tradisional daerah Bugis-Makassar, biasanya digunakan oleh kedua mempelai pengantin laki-laki dan perempuan.
5. Lamming adalah hiasan rumah atau dekorasi tempat resepsi pernikahan dalam tradisi Bugis-Makassar.
6. Dialek Jeneponto, baca: kita doakan teman kita, ya!