Oleh: Paulus Laratmase1

Zanthai Za, (Nomor kontak 082197568071) menulis dalam Whatsapp Group Politik Tanimbar  demikian, “Isu tentang relasi agama dan politik merupakan isu tua dalam sejarah manusia modern, keduanya pun senantiasa memantik polemik ihwal posisi agama dalam arena politik yang setidaknya, melibatkan dua kelompok yang secara diametris berlawanan. Konsekuensinya, agama menjadi payung tertinggi dalam setiap kebijakan politik. Klo TDK ingin melibatkan agama dalam politik, silahkan calonkan dan mencalonkan diri bertarung di Luar Negeri zha.. spa tahu terpilih menjadi Walikota di Turkey, London, India bahkan Bangladesh”.

Membaca pernyataan Zanthai Za di atas, paling kurang membuka sedikit wawasan terkait apa dan bagaimana pengaruh agama dalam arena politik. Pengaruh agama seperti digambarkan oleh Zanthai Za di masa lampau begitu kuat sehingga otoritas gereja dalam dunia politik tidak bisa dielakkan.

Fenomena menguatnya agama dalam seluruh aspek politik di Indonesia sangat menguat. Dunia legislatif bahkan birokrasi dari pusat sampai daerah di era otonomi daerah tidak terlepas dari pengaruh agama apapun.

Papua dan Politik Regulasi Negara

Di Papua mayoritas Kristen Protestan di bagian Utara dan di Selatan mayoritas Katolik, Kristen dan Muslim di Kabupaten Fak Fak, Kaimana, Bintuni, Sorong dan Pulau-Pulau di wilayah Papua Barat Daya.  Dari 6 Provinsi di Papua, hanya 1 orang yang Penjabat Gubernur beragama Kristen Protestan sedangkan yang lainnya beragama islam. Provinsi Papua Barat penduduk asli dari kabupaten Fak Fak yang beragama islam menjabat sebagai gubernur, Papua Barat Daya Penjabat Gubernur turunan Arab beragama Islam dari Fak Fak, sedangkan Papua Selatan, Papua Pegunungan dan Papua didropping dari Jawa yang semuanya beragama islam.

Jangankan menjadi Penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/ Wali Kota, pimpinan Komisi Pemilihan Umum/ KPU baik Provinsi, Kabupaten/ Kota di Papua, paling kurang ada 1 dari lima orang beragama islam. Padahal beberapa kabupaten di daerah pegunungan tidak ada yang beragama Islam.  Sebuah contoh bagaimana pengaruh agama dalam dunia perpolitikan di Indonesia tidak bisa dipungkiri sangat besar.

Pertanyaannya, adakah Orang Asli Papua “Mengamuk/ Marah” dikarenakan adanya kebijakan negara yang tidak berpihak pada kepentingan Orang Asli Papua dalam menduduki jabatan strategis seperti digambarkan di atas? Pasti ada. Namun semua diam membisu dikarenakan dunia politik telah merasuk sampai sum-sum tulang dalam berbagai regulasi yang mengikat telah diatur oleh negara.

Diam bukan berarti menyetujui, namun dalam diam ada hal lain yang dipikirkan lebih. Apa itu? Yang pertama dan utama adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia yang ketika itu, posisi strategis baik politik, birokrasi dan semua lini kekuasaan ditentukan oleh mereka. Intinya adalah sekolah itu penting bagi bagaimana keterlibatan dalam dunia politik dan birokrasi tidak tersisih dari sebuah regulasi yang mengikat.

Primordialisme Positif

Primordialisme adalah suatu perasaan, sikap atau pemikiran yang berhubungan langsung dengan ikatan sosial masyarakat. Primordialisme sering dihubungkan dengan ikatan kekerabatan dalam kesamaan suku bangsa, daerah, adat istiadat bahkan agama sebagai afiliasi perilaku seseorang.

Istilah “Primus” dalam bahasa Latin diartikan sebagai yang pertama, utama, paling depan, prima naturae yang didefinisikan sebagai kecenderungan bawaan seseorang dalam bertingkahlaku bahwa yang pertama dan utama adalah, suku, agama, kampung bahkan ikatan sedarah pada garis keturunan tertentu.

Musim Pemilu Eksekutif alias Pemilu Kepala Daerah yang akan dilaksanakan di seluruh wilayah NKRI di bulan November 2024 adalah sebuah fenomena implementasi konsep-konsep primordialisme sudah pasti ada.

Kabupaten Kepulauan Tanimbar didominasi oleh Agama Katolik dan Protestan. Agama Islam hanya sebagian kecil tidak lebih dari 5 % penduduk. Fakta bahwa selama 2 tahun telah terjadi 4 Penjabat Bupati dan baru Ruben Mariolkosu yang  menjabat Sekretaris Daerah dan Peterson Rangkoratat yang menjabat sebagai Asisten III Provinsi Maluku.

Regulasi mewajibkan bahwa untuk menduduki jabatan seorang Penjabat Bupati/ Wali Kota, minimal seorang pegawai menduduki jabatan sebagai Sekretaris Daerah atau menduduki salah satu jabatan esselon II di Provinsi.

Demikian politik birokrasi meminimalisir peluang seorang putera Duan Lolat meduduki jabatan “Penjabat Bupati Kabupaten Kepulauan Tanimbar” ketika keinginan seorang Peterson Rangkoratat ingin maju sebagai kandidat bakal calon Bupati Tanimbar pada kompetisi Pilkada tahun 2024.

Primordialisme menjadi positif ketika harapan dan impian semua orang Tanimbar bahwa  Penjabat Bupati di Kabupaten Kepulauan Tanimbar  seorang “Putera Bumi Duan Lolat”. Sayang sekali. Primordialisme positif itu pupus di kala terganjal regulasi. Di sana peluang itu tidak dimiliki dikarenakan politik birokrasi Maluku yang belum memberi peluang bagi putera Tanimbar menduduki jabatan esselon II di Provinsi Maluku atau di Provinsi lain di Indonesia.

Hal yang sama dialami di Papua, di mana Penjabat Gubernur di enam Provinsi harus didropping dari Jawa dikarenakan negara Tidak memberi peluang Orang Papua menjabat sebagai “Direktur atau Dirjen” pada Kementerian atau Badan Negera di Jakarta. Di sana regulasi mengganjal peluang mereka yang pada akhirnya harus diisi oleh mereka yang datang dari luar daerahnya sendiri.

Primordialisme menjadi positif jika hak-hak sebagai warga negara dimungkinkan menduduki jabatan strategis politik dan birokrasi pada tataran konsep ke-Indonesiaan kita.

Politik selalu berkaitan dengan proses dan sistem kebijakan, pengambilan keputusan, kekuasaan distribusi dan alokasi sumber daya.

Politik primordialisme berdampak positif apabila mendorong semua sumber daya manusia yang potensial memiliki jabatan strategis pada esselon I dan II baik Kabupaten/Kota, Provinsi bahkan pada tingkat kementerian dan lembaga dengan tujuan pelayanan publik yang prima bercorak kearifan lokal.

Primordialisme Negatif

Pemilu Kepala Daerah/ Pemilukada sudah di ambang pintu. Kabupaten Kepulauan Tanimbar di hampir semua media selalu update berita terkait bakal calon kandidat bupati dan wakil bupati yang sedang berjuang mendapatkan rekomendasi partai politik sebagai syarat utama mendaftar.

Kandidat bakal calon sebagai seorang yang beragama katolik atau protestan bukan sebuah halangan. Agama menjadi tuntunan. Agama menjadi norma selain aturan yuridis formal yang diwajibkan negara.

Pilihan pasangan yang berbeda agama tentu dengan tujuan agar memperoleh suara terbanyak di Tempat Pemungutan Suara/ TPS dan dinyatakan sebagai pemenang.

Primordialisme menjadi negatif di kala, pilihan rakyat jatuh pada pasangan yang dinyatakan menang dan mendapatkan legitimasi formal menjadi bupati dan wakil bupati namun kecenderungan pelayanan hanya pada masyarakat penganut agamanya, di situlah terdapat primordialisme yang patut diberangi.

Para pasangan kandidat merepresentasi kampung atau wilayah di mana mereka berasal. Ketika terpilih menjadi bupati dan wakil bupati atas pilihan rakyat di bulan November nanti, setelah dilantik, lebih prioritas pembangunan pada wilayah atau kampung asalnya tanpa peduli dengan seluruh rakyat Tanimbar yang wajib dilayani. Di sini letak primordialisme sempit bermakna negatif.

Konklusi

Primordialisme sebuah makna positif ketika pasangan yang terpilih meninggalkan naluri isme-nya pada agamaisme, kampungisme, utaraisme, selatanisme, baratisme atau timurisme.

Ketika itu tidak lagi pelayanan hanya pada agama yang dianut bupati dan wakil bupati terpilih. Kedua pemimpin telah menjadi icon semua orang Tanimbar dalam pelayanan publik yang prima tanpa sekat.

Kata Zhanthai Za, “Konsekuensinya, agama menjadi payung tertinggi dalam setiap kebijakan politik.”

Demikian primordialisme menjadi sebuah konsep positif bonum communae bagi Tanempar Ni Ngafele.

Paulus Laratmase1 (Direktur Eksekutif LSM Santa Lusia)