Oleh: Lily Widjaja
–
Buku berjudul BAPMI DALAM PERJALANAN SEJARAH PASAR MODAL INDONESIA [2002-2022] – Sumbangsih Pasar Modal dalam Penegakan Hukum di Indonesia ini menarik untuk dibaca dalam konteks masa 20 tahun kiprah Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia sebagai lembaga arbitrase ketiga setelah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang berdiri 1977 dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang berdiri 1993.
Melihat isi buku yang tulisannya dibuat oleh para pelaku atau yang terlibat dalam pendirian dan atau operasional lembaga ini, maka narasinya lebih bersifat insider-story dan insight-story yang lebih subyektif dan fleksibel berdasarkan opini dan perspektif pribadi para kontributornya. Maka justru ini adalah salah satu letak kekayaan atau kelebihan isi buku terbitan Pohon Cahaya Yogyakarta dengan ISBN 978-602-4914-84-4 ini.
Hampir semua artikel berangkat dari apa yang dialami dan direfleksikan sendiri oleh para pendiri dan pelakunya, dan disusun dengan bahasa yang ringan renyah namun sarat makna.
Dalam arti tertentu, kelebihan tersebut, alih-alih sebatas romantika kenangan personal masa lalu yang menjauh dari relevansi dan makna kekinian bahkan kedepan karena BAPMI sendiri sudah tiada, maka alasan paling penting buku ini terbit tidak semata mengoleksi dan mengawetkan memori kolektif masa lalu tentang lembaga kebanggaan ini, melainkan terutama menginspirasi kesadaran sekarang dan kedepan guna lebih memahami dan memberikan “Sumbangsih Pasar Modal dalam Penegakan Hukum di Indonesia”, yang juga menjadi sub judul buku setebal 200 halaman, dengan bahan kertas book paper, gramatur ringan, dan ramah lingkungan ini.
Terlepas dari penilaian perspektif orang dalam, buku ini sesungguhnya menyingkap dan menegaskan bagi para pembaca suatu inti terdalam konteks praksis ber-arbitrase secara umum dalam dunia industri keuangan dan lebih khusus sektor pasar modal. Soft power buku ini adalah sharing semangat, keyakinan, kebersamaan, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, selain tentunya pengabdian dan kecintaan yang mendalam pada hukum dan industri pasar modal Indonesia.
Maka buku yang khas dan original ini pun layak dan pantas dimiliki oleh para pelaku pasar modal khususnya para arbiter, dan para pihak yang berkepentingan termasuk regulator, para pihak terkait penegakan hukum di Indonesia, bahkan para akademisi dan praktisi serta masyarakat publik sesuai minat dan kepentingan.
Selamat khususnya bagi para kontributornya, teristimewa penyuntingnya yang menurut saya berhasil menampilkan isi dan konteks buku ini layak dan pantas menjadi buku kenangan monumental selama 20 tahun eksistensi dan kiprah BAPMI.
Demikian resensi singkat atas buku bagus yang sebentar lagi akan diluncurkan ini.
Sekarang saya akan memberi sedikit warna, sebagai salah satu contributor tulisan, dan sebagai salah satu pelaku yang terlibat sejak awal pendirian BAPMI sampai pembubarannya, juga sebagai arbiter dan mediator yang tercatat di BAPMI.
Ingatan akan BAPMI, suatu badan arbitrase untuk pasar modal, selalu dan akan selalu membawa kenangan indah dengan senyum bermakna.
Pendirian BAPMI adalah suatu inisiatif yang berangkat dari pelaku pasar modal sendiri, bukan karena rekomendasi atau diwajibkan oleh Regulator. Seperti kata Bapak Herwidayatmo, Ketua Bapepam 2000-2004: it was market driven, bukan regulatory driven.
Saya masih ingat ketika menandatangani MoU Pendirian BAPMI pada tanggal 9 Agustus 2002 di Aula Departemen Keuangan Republik Indonesia, bersama Koordinator Komite Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Bapak Iwan Margana. Pada waktu itu, saya dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal APEI.
Kita dapat membaca peristiwa bersejarah kelahiran BAPMI dari catatan Bapak Herwidayatmo: bagaimana beliau memobilisasi SRO melalui Bapak Erry Firmansyah yang kala itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Bursa Efek Jakarta, dan asosiasi-asosiasi, sampai pada akhirnya dilaksanakan penandatanganan MoU Pendirian dan Akta Pendirian yang disaksikan oleh Menteri Keuangan Bapak Budiono. Ketua Bapepam Bapak Herwidayatmo sendiri turut menandatangani Akta sebagai saksi.
Bapak Erry Firmansyah sendiri terus terlibat dan mendorong BAPMI diinternalisasi sebagai choice of forum. Bursa Efek dan SRO lainnya terus mendukung keberadaan BAPMI baik melalui dukungan funding maupun melalui penugasan SDM.
Sebagai salah satu “pendiri”, APEI mengirim wakil untuk duduk sebagai Pengurus BAPMI. Pertama sekali, APEI diwakili oleh almarhum Bapak Mas Abdurachim Husein. Terakhir oleh Ibu Lydia Trivelly Azhar, yang menjabat sampai BAPMI dibubarkan, seturut berdirinya lembaga alternatif sengketa yang terintegrasi, yaitu Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK), yang merupakan gabungan 6 LAPS sektor jasa keuangan (BAPMI. BMAI, BMDP, LAPSPI, BAMPPI, dan BMPPVI) yang ada pada waktu itu.
Saya masih ingat, betapa APEI turut gencar memperkenalkan BAPMI kepada Perusahaan Efek Anggota APEI dan stakeholders lainnya. Waktu itu, APEI meminta Anggotanya untuk memasukkan klausul penyelesaian sengketa melalui BAPMI dalam Formulir Pembukaan Rekening. Bapak Tri Legono Yanuarachmadi sempat mengingatkan bahwa pilihan forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut perlu kesepakatan dari para pihak. Kami terlalu semangat ya Pak Tri 😀
Selanjutnya, karena penyelesaian sengketa melalui BAPMI yang relatif rendah (33 perkara: 25 perkara arbitrase, 8 perkara mediasi, diantaranya 7 perkara mediasi small claim), BAPMI terus-menerus melakukan edukasi dan sosialsasi kepada stakeholders. Beberapa kali saya mendapat kepercayaan baik sebagai narasumber maupun moderator.
Beberapa kali saya juga dipercaya menangani mediasi dan arbitrase atas sengketa yang didaftarkan di BAPMI.
Kental diingatan, menjelang pembubaran BAPMI, saya masih sempat menangani perkara arbitase terakhir dengan Ketua Majelis almarhum Bapak Iswahjudi Aswar Karim, dan Sekretaris Sidang Bapak Fajar Restu Sonjaya. (yang sebentar lagi akan diangkat sebagai Sekretaris LAPS SJK, menggantikan Bapak Tri Legono. Terima kasih ya Pak Tri. Selamat ya Pak Fajar.)
Yang tak terlupakan adalah betapa Bapak Iswahjudi masih zoom meeting dengan Majelis dalam kondisi sakit dan masih sempat menuntaskan Putusan Arbitrase sebelum menghadap Sang Pencipta pada keesokan harinya tanggal 6 Juli 2021.
Saya senang sekali melihat dalam buku ini ada memoir yang ditulis oleh Bapak Tri Legono: Mengenang Iswahjudi Karim, Sahabat Arbitrase. Sungguh suatu kenangan dan penghargaan terhadap tokoh arbitrase yang fenomenal ini.
Banyak catatan sejarah yang ditorehkan dalam buku 200 halaman ini. Pembaca dapat menelusuri pendirian BAPMI sebagai badan hukum berbentuk Perkumpulan, berawal dari usulan almarhum Bapak Fred B.G. Tumbuan, yang mana selanjutnya bentuk badan hukum Perkumpulan menjadi populer dan kini dipakai oleh puluhan ribu organisasi kemasyarakatan.
Selain mencatat pengalaman mereka yang terlibat dalam lintasan sejarah BAPMI, buku ini juga berisi pengetahuan yang sangat kaya tentang layanan penyelesaian sengketa di luar pengadilan: arbitrase, mediasi, pendapat mengikat, dan adjudikasi (yang ada namun tiada karena sulit diterapkan di sektor pasar modal).
Kiranya buku ini, selain sebagai kenangan akan sejarah keberadaan BAPMI, juga menjadi kebanggaan, khususnya bagi insan Pasar Modal.
Congratulations once again kepada Bapak Bacelius Ruru, nakhoda BAPMI yang terakhir and team, dan semua pihak yang terlibat sehingga buku ini dapat disusun dan diterbitkan.