Opini: Paulus Laratmase
–
Saat kritik berubah menjadi dengki, demokrasi kehilangan substansinya. Perubahan sikap Roy Suryo terhadap Joko Widodo menjadi simbol bagaimana narasi personal kadang mengalahkan akal sehat politik. Dari pendukung vokal pada era awal kemunculan Jokowi di panggung nasional, Roy kini tampil sebagai pengkritik paling lantang bahkan tak segan mendorong isu berbau fitnah seperti tuduhan ijazah palsu. Transformasi ini bukan semata soal perbedaan pandangan, tapi cermin dari penyakit laten dalam politik kita: tidak siap melihat orang lain berhasil.
Politik Ingatan Pendek
Masyarakat mudah lupa, tetapi rekam digital tidak. Pada 2012, Roy Suryo sebagai anggota DPR Komisi I dari Partai Demokrat memuji langkah Joko Widodo yang menggunakan mobil Esemka, hasil rakitan siswa SMK di Solo, sebagai mobil dinas. Roy bahkan memesan dua unit dan menyebut dirinya ingin menjadi pelopor anggota DPR yang menggunakan produk dalam negeri. Ia memuji keberanian Jokowi dan menyebutnya sebagai bentuk dukungan pada karya anak bangsa.
Namun, lebih dari satu dekade setelahnya, Roy menjelma menjadi sosok yang secara konsisten menyerang Jokowi. Bukan hanya melalui perbedaan kebijakan, tapi juga lewat tuduhan personal yang lemah secara hukum dan logika, seperti klaim palsu mengenai ijazah Jokowi dari UGM. Tuduhan tersebut telah dibantah secara resmi oleh pihak universitas dan tidak pernah terbukti dalam proses hukum. Tapi narasi ini terus didaur ulang, seolah menjadi pelampiasan politik yang berbentuk obsesif.
Perubahan ekstrem ini patut dipertanyakan: apakah ini hasil evaluasi objektif terhadap kinerja Jokowi, atau ekspresi frustasi dari politisi yang kehilangan panggung?
Ketika Keberhasilan Menjadi Ancaman
Dalam konteks psikologi politik, fenomena seperti Roy Suryo bisa dijelaskan dengan sederhana: ada tokoh-tokoh yang tidak siap menjadi ‘penonton’. Ketika mereka tak lagi berada di pusat kekuasaan, apalagi melihat orang yang dulu mereka anggap ‘di bawah’ justru melesat menjadi pemimpin nasional, muncul kecenderungan untuk meremehkan, mencari celah, bahkan menyerang secara personal.
Jokowi bukan politisi karbitan. Ia memulai karier dari bawah: pengusaha mebel, wali kota, gubernur, hingga presiden. Di setiap tahapan, ia membangun kredibilitas melalui kerja nyata dan gaya komunikasi yang membumi. Justru karena itu, ia menjadi simbol pembaruan politik di tengah kejenuhan masyarakat terhadap elitisme yang kaku. Namun, bagi sebagian kalangan lama termasuk Roy, gaya Jokowi ini adalah ancaman. Ia mengubah tatanan tanpa izin dari struktur lama.
Dari sinilah muncul semacam “dendam simbolik”. Roy, yang dulunya berada di orbit kekuasaan, kini lebih dikenal karena meme, kontroversi, dan debat kosong di media sosial. Alih-alih memperkuat wacana publik dengan data dan logika, ia terjebak dalam politik rasa: rasa iri, rasa tertinggal, dan rasa tidak terima.
Demokrasi Butuh Kritik, Bukan Dendam
Demokrasi yang sehat membutuhkan kritik. Namun kritik harus dibangun di atas niat baik dan data yang valid, bukan didorong oleh keinginan menjatuhkan atau merusak nama lawan. Kritik yang sehat bersifat solutif, tidak bersifat destruktif. Apa yang dilakukan Roy Suryo dengan menyebarkan isu ijazah palsu bukan hanya tidak produktif, tapi juga berbahaya bagi ekosistem demokrasi itu sendiri. Publik bisa jadi apatis karena melihat perdebatan politik hanya berputar pada isu personal yang dangkal, bukan substansi kebijakan.
Jika Roy benar-benar peduli pada integritas pejabat publik, ia bisa menempuh jalur hukum dengan bukti yang kuat. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya: publik disuguhi sinetron politik, bukan pengawasan yang sehat. Roy lebih banyak tampil sebagai komentator alih-alih kontributor solusi.
Di sisi lain, Jokowi telah melalui dua periode pemerintahan yang penuh tantangan, mulai dari pandemi, gejolak ekonomi global, hingga tekanan politik domestik. Apakah ia sempurna? Tentu tidak. Tapi menjatuhkan kredibilitasnya dengan isu yang tidak berdasar justru memperlihatkan bahwa sebagian pihak lebih tertarik merusak nama baik orang lain ketimbang membuktikan kapasitas dirinya sendiri.
Dengki Tidak Pernah Menjadi Agenda Politik yang Bermartabat
Perjalanan Roy Suryo dari pendukung Esemka menjadi penyebar isu ijazah palsu adalah pelajaran berharga tentang bagaimana politik bisa menjadi ruang pengabdian atau panggung dendam. Ketika pilihan jatuh pada yang kedua, maka yang hancur bukan hanya reputasi tokoh tersebut, tapi juga kualitas demokrasi kita.
Sudah saatnya publik lebih selektif terhadap narasi yang berkembang. Jangan mudah terprovokasi oleh suara lantang tanpa dasar. Dengki bukanlah agenda politik yang bermartabat. Kita berhak memiliki perbedaan pandangan, tapi mari kita tempatkan perbedaan itu pada ruang dialog, bukan pada ruang dendam.
Roy mungkin telah kehilangan relevansi politik, tapi ia masih bisa memilih untuk bangkit sebagai negarawan jika saja ia mampu menyingkirkan rasa iri, dan kembali melihat bahwa substansi selalu lebih penting daripada sensasi.
