Oleh: Swary Utami Dewi

Saat tiba kembali di Yogyakarta untuk suatu kegiatan, saya membaca berita bahwa Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PPM) sudah mengumumkan keputusan untuk boleh terima tambang. Saya membaca alasan-alasannya. Mulai dari dalil agama, konstitusi negara dan lain-lain. Saya tadi juga mencoba mencari catatan kritis tentang tambang, yang sudah dilihat dan dikenal secara terang-terangan di depan mata publik. Tapi sepertinya itu belum saya temukan — atau bisa jadi saya belum cermat membaca semua?

Dua hari lalu, tepatnya 26 Juli 2024, saya menulis harapan yang saya beri judul “Berharap Tetap Ada Titik Beda”. Keinginan itu ternyata tak terwujud. Yang muncul sekarang adalah keinginan para petinggi PPM, yang kurang lebih sama dengan semangat para pemegang kebijakan di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yakni membolehkan tambang dan bercita-cita mengelola tambang dengan cara yang baik.

Ah, sudahlah. Keputusan itu sudah keluar. Dan dari yang saya baca di risalah keputusan, akan ada tim khusus untuk tambang ini. Akan berat tugas tim tersebut. Salah satunya mengubah kenyataan (yang bukan sekedar image buruk) bahwa tambang-tambang (di Kalimantan dan lain-lain) tersebut sudah “satu paket” dengan hal-hal tertentu. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa di situ ada praktik mafia, premanisme, tindak kekerasan sampai pembunuhan, prostitusi, minuman keras, kriminalisasi, jalan-jalan rusak, debu-debu partikel kecil tambang yang tak sehat, karbon yang keluar ke atas lalu menempel ke atmosfer yang menjadikan bumi semakin panas dan sebagainya. Sangat sangat berat untuk meniadakan praktik-praktik tersebut.

Semangat heroik untuk mengubah semua itu tampak nyata tak bisa ditawar-tawar lagi. Dan ada keyakinan bahwa kelola tambang yang dilakukan ormas keagamaan akan betul-betul bisa nyata aman untuk ekologi, kesehatan masyarakat sekitar, mampu mengurangi kesenjangan (dan tidak membuat “wong sugih makin sugih)” dan sebagainya. Berat sekali tugas mulia mereka.

Jika masih boleh urun rembuk, saya ingin menyarankan tim tersebut, dan mungkin para tetua lain, untuk turun ke lapangan ke titik-titik tambang di Kalimantan, misalnya, untuk bisa tinggal beberapa hari di sana dan merasakan kehidupan sebagai masyarakat lokal. Sebaiknya, semua harus “menyaru” menjadi masyarakat biasa supaya bisa melihat dan mengalami sebaik-baiknya. Jangan pakai pemberitahuan, protokoler dan lain-lain yang bisa membuat sulapan-sulapan tertentu. Dengan melihat dan mengalami langsung, maka rencana-rencana kelola tambang berikut implementasinya akan matang dan betul-betul sesuai dengan cita-cita yang diinginkan.

Saya sendiri tidak akan berubah. Saya tetap beraktivitas seperti semula untuk pemberdayaan masyarakat dan tidak akan ikut-ikutan mengelola tambang dan sekitarnya. Saya bukan ahli tambang dan tidak bisa mendadak jadi ahli tambang. Pilihan ini saya ambil karena saya telah melihat langsung fakta di lapangan.

Saya tahu dan menyaksikan bahwa “api” itu panas. Maka saya tak berani ikut-ikutan “uji nyali” untuk menaruh tangan saya di dalam panasnya api, hanya karena mendadak saya punya “keyakinan” bahwa api itu tak panas.