Antologi Puisi Sufi
Oleh: Rizal Tanjung
—
I — Sayap Sunyi dan Bunga di Ujung Cahaya
Di lembah malam yang diam,
aku menemukan sehelai bulu cahaya,
jatuh perlahan dari sayap waktu
yang terbang terlalu dekat dengan sunyi.
Ia bergetar di udara seperti doa yang ragu,
antara jatuh dan kembali ke asal.
Di ujungnya tumbuh bunga mungil,
serupa hati yang tak pernah ingin lahir,
namun juga tak kuasa menolak cinta.
Bulu itu bukan milik burung,
melainkan hela napas dari malaikat yang lupa arah,
dari jiwa yang pernah menyentuh Tuhan
namun kini terdampar di tubuh manusia.
Warna malam berputar:
biru berdoa, merah menangis,
dan hitam menyimpan rahasia sebelum huruf.
Aku mendengar bisikan:
“Setiap keindahan adalah luka yang diterangi kasih.”
Dan aku tahu—segala yang jatuh
tak selalu kehilangan arah,
kadang ia sedang sujud
dalam perjalanan pulang ke cahaya.
—
II — Sayap yang Menulis Nama Tuhan di Langit Senja
Senja datang sebagai kitab tak tertulis,
dan seekor burung menulis nama Tuhan
di udara yang jingga,
dengan bulu yang menyala seperti doa.
Langit membuka matanya,
awan-awan menjadi huruf,
dan setiap angin yang berhembus
adalah ayat yang belum selesai.
Aku berdiri di bawahnya,
membaca tanpa suara,
karena dalam diam, huruf menjadi cahaya
dan cahaya menjadi cinta.
Satu tetes air jatuh dari awan,
menggema di dadaku—
itulah firman paling lembut:
“Jangan cari Aku di surga,
Aku bersembunyi dalam degup hatimu.”
—
III — Ketika Bulu Jatuh ke Lautan Waktu
Aku melihat bulu cahaya itu jatuh
ke lautan yang tak punya pantai.
Gelombangnya bukan air, melainkan waktu
yang bergulung di antara doa dan dosa.
Bulu itu hanyut, seperti makna
yang mencari dirinya sendiri.
Setiap riak memantulkan wajahku—
wajah yang tak lagi kukenal.
Di kedalaman laut itu,
aku mendengar bisikan para ikan sufi:
“Yang berenang tanpa arah,
sesungguhnya sedang menuju asalnya.”
Maka aku pun tenggelam dengan tenang,
karena tahu: karam di samudra cinta
lebih indah daripada mengapung dalam logika.
—
IV — Bunga yang Tumbuh di Dada Langit
Satu malam,
aku melihat bunga itu tak lagi di bumi.
Ia tumbuh di dada langit,
di antara gugusan bintang yang rindu.
Kelopaknya membuka seperti tasbih,
menghitung jarak antara cinta dan fana.
Setiap bintang menunduk,
setiap malam menjadi altar.
Dan aku sadar,
bahwa Tuhan menanam bunga di langit
bukan untuk hiasan,
melainkan sebagai penanda
bagi jiwa yang tersesat mencari arah pulang.
—
V — Burung yang Menolak Terbang
Seekor burung duduk di cabang doa,
menatap langit tapi menolak terbang.
Katanya, “Aku telah melihat cakrawala,
tapi tak menemukan cinta di sana.”
Ia menunduk pada bumi,
menyentuh debu dengan sayapnya.
“Di sini,” katanya lagi,
“ada jejak kaki Sang Kekasih,
yang tak pernah sampai di langit.”
Dan aku pun mengerti—
terkadang, sujud lebih tinggi dari terbang.
—
VI — Sunyi di Balik Nafas
Di antara dua helaan napas
ada rahasia yang tak tertulis.
Di sanalah Tuhan bersembunyi—
bukan di kitab, bukan di menara.
Sunyi itu seperti burung tanpa sarang,
yang selalu kembali pada dada manusia.
Aku pun diam,
mendengar hatiku berbunyi seperti lonceng hening.
Dan setiap bunyi itu
adalah panggilan untuk pulang.
—
VII — Malam yang Menyimpan Wajah Kekasih
Malam turun seperti sutra,
menutup mataku dengan kelembutan yang tak bisa ditolak.
Aku mencium aroma melati dari langit,
mungkin itulah napas Kekasih yang menyeberang waktu.
Gelap bukan lagi musuh,
ia kini taman di mana cahaya bersembunyi.
Di situ, aku melihat wajah-Mu—
tidak dengan mata,
melainkan dengan kehilangan yang sempurna.
—
VIII — Cermin yang Menolak Bayangan
Aku menatap cermin,
dan cermin itu menatap balik tanpa wajah.
“Siapa aku?” tanyaku.
Cermin menjawab: “Hanya pantulan dari kehampaan.”
Lalu ia pecah,
dan di setiap serpihannya,
ada satu huruf nama Tuhan
yang terpantul dalam diriku.
—
IX — Hujan yang Tak Pernah Jatuh
Langit menangis tapi tak menetes.
Hujan menggantung seperti penyesalan.
Barangkali Tuhan menahannya,
agar bumi belajar menunggu.
Dan aku pun belajar,
bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki,
melainkan tentang menahan diri agar tak merusak keindahan.
—
X — Zikir Daun yang Jatuh
Daun bergetar di dahan doa,
lalu jatuh dengan irama yang suci.
Setiap jatuhnya adalah sujud,
setiap gugurnya adalah salam.
Dan aku tahu,
bahwa kematian bukan akhir,
melainkan jalan pulang yang lembut.
—
XI — Cinta di Antara Dua Keheningan
Antara malam dan fajar,
ada detik yang tak punya waktu.
Di sanalah cinta bersembunyi,
seperti benih yang menunggu panggilan matahari.
Cinta itu tak bersuara,
namun mengguncang alam semesta
setiap kali hati mengucap nama-Nya.
—
XII — Angin yang Membaca Doa Batu
Aku mendengar angin lewat di lembah,
membelai batu seperti mengusap wajah anak yatim.
Batu pun bergetar,
karena akhirnya ada yang mengerti kesepiannya.
Begitulah jiwa manusia—
kadang tampak keras,
tapi di dalamnya ada lembah rindu
yang menunggu belaian kasih Ilahi.
—
XIII — Laut yang Menulis Surat untuk Langit
Setiap ombak adalah huruf,
setiap buih adalah tanda tanya.
Laut menulis surat cinta untuk langit,
tapi angin mencurinya sebelum sampai.
Dan begitulah hidup:
kita menulis doa,
Tuhan menjawabnya dengan rahasia.
—
XIV — Cahaya yang Kehilangan Sumbernya
Aku melihat cahaya mengembara,
mencari matahari yang hilang.
Ia menabrak gunung,
menyentuh daun,
menyapa sungai,
tapi tak menemukan asalnya.
Barulah ia sadar,
bahwa sumbernya tak pernah jauh—
ia sendiri adalah matahari kecil
yang lupa menyala.
—
XV — Debu di Tangan Kekasih
Aku hanyalah debu
yang menempel di tangan Sang Kekasih.
Namun ketika Ia meniupku ke angin,
aku terbang menjadi doa,
menjadi langit,
menjadi harapan yang tak punya nama.
Dan aku pun tahu,
bahwa kehancuran di tangan cinta
lebih mulia daripada keutuhan tanpa makna.
—
XVI — Lentera yang Belajar Padam
Aku pernah menjadi lentera yang sombong,
berpikir cahayaku menyelamatkan dunia.
Lalu datang angin,
memadamkan ku dengan kasih.
Dalam gelap itu aku menangis,
tapi dari mataku keluar api yang sejati—
api yang tak membakar,
hanya menyala di dada sunyi.
—
XVII — Langit yang Bersujud di Air
Di danau yang hening,
langit membungkuk menatap bayangannya.
Awan-awan menjadi sajadah,
dan angin menjadi imam.
Aku ikut bersujud bersama mereka,
hingga aku tak tahu lagi
mana aku, mana langit,
mana Tuhan yang ku sembah,
karena semuanya telah menyatu dalam diam.
—
XVIII — Waktu yang Tak Lagi Bergerak
Jam berhenti berdetak,
namun hatiku terus berdzikir.
Mungkin inilah keabadian:
saat waktu menyerah pada cinta.
Tak ada masa lalu, tak ada nanti—
hanya sekarang yang abadi,
dan di sanalah Tuhan duduk menatap kita,
dengan mata kasih yang tak berkedip.
—
XIX — Kesunyian Menjadi Rumah
Aku membangun rumah dari diam,
atapnya doa, dindingnya sabar.
Angin lewat menjadi tamu,
membawa kabar dari langit.
Di rumah itu, aku tak lagi sendiri.
Kesunyian adalah kekasih,
yang mengajariku bahasa sebelum huruf:
bahasa sujud, bahasa cahaya, bahasa rindu.
—
XX — Pulang ke Sayap Cahaya
Akhirnya, aku menemukan bulu itu lagi,
yang dulu jatuh dari langit sunyi.
Kini ia bersinar,
membentang di dadaku seperti jalan pulang.
Aku menapaki serat-seratnya
hingga sampai ke ujung sayap waktu.
Di sana, tak ada aku,
tak ada bunga,
tak ada nama.
Hanya satu keheningan besar—
tempat cinta kembali menjadi Tuhan,
dan Tuhan menjadi cinta.
—
Sumatera Barat, Indonesia, 2025.






