Mila Sukandar, Founder Generasi Literat dan Pegiat Anak Muda

 

Oleh: Mila Muzakkar*

Tambang, oh tambang. Akhir-akhir ini, tambang lagi sering banget ya dibicarakan. Pro dan kontra sana-sini. Tulisan tentang lingkungan dan tambang pun beredar di berbagai media dan grup whatsapp. Drama ala sinetron juga terjadi, yang sebelumnya, katanya, menolak menerima hadiah pengelolaan tambang, lalu berubah menerima.

Memang kalau sudah bicara masalah kekuasaan, kebijakan, birokrasi, elit politik, dan uang, pasti perkara panjang kali lebar. Rasanya sulit untuk  dijangkau bagi kita-kita yang di luar kekuasaan, atau yang enggak punya “orang dalam”.

Di kondisi hidup yang lagi capek-capeknya ini, kita pasti enggak mau dong menambah beban hidup dengan terus berdebat, nyinyirin dan mikirin orang-orang yang ngurusin tambang ini,  ya enggak? Mereka yang ahli di bidangnya biarlah beradu argumen soal isu lingkungan, karena bertukar pendapat juga penting banget. Sementara kita, yang merasa kurang ahli dan kurang tertarik berdebat, jangan khawatir, ada cara lain untuk tetap menjaga bumi ini. Nah, di tulisan ini aku ingin berbagi cara mengurangi beban hidup dengan menjaga bumi secara simpel, langsung bisa dilakukan sehari-hari, dan tanpa debat.

Ubah Mindset, bukan Peraturan

Pernah enggak ke supermarket, lalu ketika mau bayar, kasirnya bilang, “Skalian tas belanjanya? Mau tambah paper bag-nya?”.

Atau kasirnya bilang, “Maaf, kami sudah tidak menyediakan kantong plastik. Kalau mau ada plastik berbayar,”.

Lalu, masalahnya di mana? Masalahnya ada di mindset, pemilihan kalimat, dan cara kasir menyampaikan pemakaian tas belanja. Dari kalimat-kalimat di atas, terbaca para  karyawan ini sebenarnya belum paham maksud dari penggantian tas belanja dari plastik menjadi goody bag, dan belum punya sense of belonging terhadap keberlanjutan bumi yang sehat.

Suatu waktu, sambil membayar belanjaan, aku tanya ke kasir supermarket, “Mbak, kenapa sih enggak dikasi plastik lagi?

Enggak tahu Mbak. Sudah peraturannya kayak gitu,” jawabnya.

Well, kelihatan ya para karyawan supermarket ini hanya menjalankan peraturan dari pimpinan. Tentu bukan sepenuhnya salah karyawan. Bisa jadi pimpinan mereka enggak memberi pehamanan tentang kenapa harus beralih ke tas yang bisa dipakai berkali-kali, termasuk bagaimana cara menyampaikan dan mendorong konsumen untuk ikut serta dalam gerakan menjaga bumi ini. Atau jangan-jangan, pimpinannya juga enggak paham betul soal urgensi penggantian tas belanja ini?

Kalau bicara soal peraturan, di negara kita memang suka bermasalah. Macam-macam peraturan dibuat, bikin Pokja, Satgas, dan apalah namanya, yang intinya semua mengeluarkan uang besars dan sering kali rawan korupsi. Syukur-syukur kalau peraturan itu dibuat berdasarkan assessment dan kajian mendalam yang melibatkan berbagai stakeholder. Kadang, tiba-tiba bim salabim sudah keluar undang-undangnya. Udah gitu, peraturan itu enggak mulus landing-nya. Sosialisasi kurang, enggak menjangkau semua pihak, atau jangan-jangan memang mereka belum tahu bagaimana cara efektif untuk menyosialisasikan peraturan baru ke publik? Entahlah!

Salah satu contohnya, seperti yang terjadi pada karyawan di supermarket-supermarket itu. Idealnya, para karyawan ini diberi training untuk  penajaman perspektif terkait isu lingkungan lokal dan global, tentang bisnis yang berkelanjutan, di mana aspek lingkungan dan tata kelola perusahaan menjadi hal utama di dalamnya. Jadi, yang didorong ke konsumen adalah penggunaan tas belanja yang bisa dipakai berkali-kali, supaya enggak  banyak sampah. Bukan mengajak pembeli untuk enggak pakai plastik, tapi diajak terus membeli goody bag yang baru.  Karena itu sama saja menumpuk barang yang bisa menjadi sampah lagi.

Dengan pemahaman yang benar dan kepedulian yang sunguh-sungguh, Mbak dan Mas karyawan di supermarket bisa dengan percaya diri, sambil tersenyum ramah, bilang ke pembeli misalnya,” Pak, Bu, kantong belanjanya dibawa lagi di kunjungan berikutnya ya. Bantu kami untuk sama-sama menjaga bumi kita. Terima kasih. Selamat datang kembali!,”

Kita semua perlu mengubah mindset. Membawa tas belanja yang  bisa dipakai berkali-kali bukan karena disuruh pemerintah, atau karena ada peraturan internasional semacam Paris Climate Agreement. Tapi karena kita sadar terhadap 3 hal: pertama, Tuhan enggak hanya menciptakan manusia tapi juga makhluk lainnya di bumi ini. Jadi, jangan egois dong! Makhluk lain pun berhak hidup layak di bumi ini. Kedua, Tuhan menginstruksikan manusia untuk menjaga kesehatan, kedamaian, dan kenyamanan bumi ini. Ketiga, kalau bumi sehat, maka manusia juga akan sehat, nyaman, dan berkurang beban hidupnya. Sebaliknya, kalau bumi kotor dan kacau kayak sekarang, yah susah jugalah hidup kita.

Masalahnya, kalau bumi lagi kacau, dia enggak pendam sendiri. kita akan kena imbasnya. Dari sakit bahkan mati, karena bau tumpukan sampah yang sudah nempel ke tanah, karena air kotor dan beracun, karena polusi udara di jalanan, karena kebakaran pabrik, dan masih banyak lagi.  Ikan-ikan yang dulu segar kita makan, udah kayak mimpi yang sulit diwujudukan hari ini. Di wilayah yang dikelilingi pabrik-pabrik, semacam di sekitar sungai Cileungsi-Cikeas, sekelas ikan sapu-sapu aja mati. Saking dashyatnya kandungan zat racun dalam limbah-limbah pabrik itu.

Cara Simpel Menjaga Lingkungan

Untuk menjaga bumi dan melestarikan lingkungan, perlu upaya yang holistik. Perjalanannya bisa panjang dan kompleks. Nah, karena beban hidup sudah banyak, bagaimana kalau kita fokus aja pada apa yang bisa kita kontrol?

Kalau mau menjaga lingkungan dan peduli pada keberlangsung bumi tercinta ini, mulai aja dulu dari diri sendiri, dari hal-hal sederhana dalam aktivitas sehari-hari. Apa saja contohnya?  Ini aku rangkum hal-hal yang pernah aku lakukan.

  1. Bawa Wadah Sendiri

Pake plastik ini aja Pak,” kataku menyerahkan tiga plastik dengan ukuran berbeda saat belanja sayur dekat rumah.  Sengaja aku membawa plastik bekas dengn ukuran berbeda karena aku sudah mengaturnya: 2 plastik untuk ikan,  1 plastik untuk sayur dan bumbu-bumbuan.

Sambil tersenyum tipis, Bapak dan Ibu penjual sayur bilang, “Kenapa bawa plastik segala sih Mbak? Ini banyak plastik.”

Aku sibuk memasukkan hasil belanjaanku ke dalam plastik, sambil ngoceh, “ “Di rumah banyak plastik, Pak. Numpuk, jadi banyak sampah.”

Bapaknya kelihatan belum puas. Alasanku kayaknya belum cukup. Ia kembali menjawab “Plastiknya gratis kok, enggak bayar kayak di Indomaret.”

Dan dengan santai, sang penjual sayur mengatakan bahwa penggunaan sampah plastik itu hanya sedikit. “Kalau plastik gini mah sedikit. Nggak bikin sampah,” katanya.

Yang beli di sini kan bukan dua orang, Pak. Kalau semua yang beli di sini pakai plastik setiap hari, jadi banyak juga plastiknya kan, Pak? hehe…” Aku menutup percakapan.

Penjual sayur mengucapkan terima kasih. Mungkin terima kasih ini maksudnya karena dengan aku membawa plastik sendiri, dia bisa hemat plastik untuk pembeli lainnya.

Cerita yang sama juga pernah aku alami sewaktu membeli pecel lele. “Enggak usah pake plastik ya, Pak. Taro sini aja!,” Kataku sambil menyerahkan goody bag ke Abang pecel lele. Sama persis dengan reaksi penjual sayur di atas, Abang pecel lele juga tersenyum sambil bilang, “Kenapa bawa-bawa tas segala sih Mbak? Kan ada plastik  di sini.

Di hari lain, ketika membeli makanan di Warteg dekat rumah, aku membawa kotak makan dan goody bag. Jadi enggak perlu pakai kertas minyak dan plastik.

Begitulah, aku sedang memulai, dan semoga aku konsisten, mengurangi plastik dan kertas untuk membungkus hasil-hasil belanjaan sehari-hari. Melakukan ini ternyata banyak manfaatnya. Bukan hanya menjaga bumi supaya lebih sehat, tapi juga membantu meringankan beban hidup yang lagi capek-capeknya ini.

Bayangin aja, aktivitas berbelanja dalam sehari misalnya 5 kali.  Artinya minimal ada 5 plastik,  5 kertas, 5 botol minum, ditambah sisa-sisa makanan dan minuman itu,  dikali 1 minggu. Hasinya, minimal 140 sampah yang akan numpuk di rumah. Selain bau, didatangin lalat, aku juga harus membuangnya ke tempat sampah. Kalo aku sih pusing dan capek bersihinnnya. Tapi kalau membawa wadah sendiri, setidaknya aku bisa menghemat tenaga dan waktu untuk mengurus persampahan itu. Benar enggak?

  1. Mix and Match

Aku termasuk orang yang suka gemes liat baju, sepatu atau tas yang lucu-lucu. Rasanya pengen beli semua. Beruntung, uangnya terbatas jadi enggak jadi beli hehe…

Berarti kalau uang banyak boleh dong belanja fesyen sepuasnya? Enggak gitu juga sih. Karena sebanyak apa pun uang, kalau terus dikeluarkan akan habis juga kan? Dan kalau habis, beban hidup nambah lagi dong.

Tapi aku enggak terlalu sedih, karena aku kreatif untuk mix and match fesyen. Beberapa pakaian lama, misalnya rompi atau kain, aku padu-padankan dengan bando, jepitan, dan tas lama yang senada. Kreatifitas lainnya adalah menjahit sepatu yang sudah mulai rusak tapi masih cakep dan kuat dipakai.

Nah, buat kamu yang bisa menjahit, kamu bisa bikin pola pakaian atau aksesoris sendiri, dengan menggunakan baju atau celana yang sudah mulai robek atau kesempitan. Campurin tuh semua, Jahit jadi satu. Selain murah, kamu juga akan tampil beda di antara yang lainnya. Enggak pasaran.

Sesimpel itu sih yang bisa kita lakukan untuk mengurangi fast fashion yang menjadi salah satu penyebab terbesar polusi limbah fesyen. Limbahnya mengakibatkan  polusi air, tanah, dan perubahan iklim karena menghasilkan gas emisi rumah kaca.

  1. Jadiin Hadiah

Coklat, cake, dan fesyen. Tiga barang ini biasanya paling laris dijadikan hadiah atau ole-ole ketika perayaan ulang tahun, syukuran, atau acara-acara komunitas. Bukannya enggak boleh. Kayaknya hampir seluruh populasi dunia doyan tiga hal di atas.

Sekarang,  kita bisa mulai tradisi baru. Misalnya, memberikan satu set kotak makan, tumbler, sedotan besi, dan goody bag sebagai hadiah untuk keluarga, teman, atau pasangan. Jangan lupa kasi catatan di kadonya, kalau kamu akan sangat senang kalau mereka menggunakan hadiah itu. Misalnya kalimatnya bisa begini, “Aku sayang kamu dan bumi ini,” aseeekkkk…

  1. Tips Nginap di Hotel

Biasa nginap di hotel karena tugas kantor atau mungkin sedang mengikuti pelatihan selama 3-6 hari di hotel? Ini tips  simpel yang biasa aku lakukan.

Pertama, setiap keluar hotel dalam waktu yang cukup lama, aku mematikan AC, lampu, dan TV kamar, jika masih manual. Kedua, menyampaikan ke penjaga hotelnya bahwa selama menginap, handuk enggak perlu diganti, meski pun prosedur hotel adalah mengganti handuk setiap harinya. Bayangin, dalam 1 hotel ada 100 orang yang nginap. Setiap hari, handuk dicuci dan diganti dengan yang baru. Berapa banyak sabun, pewangi, dan air yang harus terbuang?  Lagi pula, handuk dipakai seminggu masih aman kok. Selama di hotel kan kita enggak banyak keringat, enggak banyak daki, jadi enggak kotor-kotor amatlah. Begitu pun dengan sikat gigi, odol, sabun, shampo, dan kondisioner, enggak perlu diganti selama masih ada. Membawa alat-alat mandi dari rumah, sebenarnya jauh lebih baik.

Ketiga, enggak usah nyalain TV kalau memang enggak niat nonton. Ada kan orang yang begitu masuk kamar, langsung nyalain TV, trus langsung rebahan sambil main HP. Dan, tinggallah si TV dianggurin.

Keempat, kalau kita pelaksana kegiatan di hotel, enggak perlu menggunakan botol aqua atau merek lainnya. Minta hotel untuk menyediakan gelas dan galon di ruangan.

Itulah beberapa cara  mengurangi beban hidup dengan menjaga keselamatan dan keberlanjutan bumi. Karena kalau bumi kita sehat, maka beban hidup pun akan berkurang. Jadi, mulai sekarang, kamu mau ikutan jaga bumi kita kan?

*Penulis adalah Founder Generasi Literat dan Pegiat Anak Muda