Oleh Romo Yance Mangkey MSC
–
“Tulisan ini merupakan sharing pengalaman Romo Jance Mangkey MSC, dosen spiritualitas saya ketika belajar ilmu filsafat di tahun 1989/1990. Sebuah tulisan yang perlu diketahui publik terkait sosok Paus Leo XIV. Berikut tulisan asli Pastor Yance Mangkey MSC, tanpa mengubah redaksi yang diposting melalui akun FB-nya.“
Kita semua telah menyaksikan bahwa Paus baru, Paus ke-267, adalah Kardinal Robert Francis Prevost, OSA, yang memilih nama Paus Leo XIV. Ia terpilih pada hari kedua sidang konklaf. Beliau lahir pada 14 September 1955 di Chicago, Illinois, dari pasangan Louis Marius Prevost, keturunan Prancis dan Italia, serta Mildred Martínez, keturunan Spanyol. Ia memiliki dua saudara laki-laki: Louis Martín dan John Joseph.
Beliau pernah lama berkarya sebagai misionaris di Peru dan menjadi Uskup Chiclayo sebelum dipanggil oleh Paus Fransiskus untuk menjabat sebagai Prefek Dikasteri untuk Para Uskup serta Ketua Komisi Kepausan untuk Amerika Latin, yang berkedudukan di Roma.
Informasi mengenai siapa beliau dan kiprahnya telah tersebar luas di berbagai media. Saya hanya ingin membagikan sedikit catatan pribadi di bawah ini.
Pada tahun 1982, beliau menyelesaikan studinya di Catholic Theological Union (CTU), sebuah lembaga pendidikan teologi hasil peleburan beberapa seminari tinggi milik sekitar 20 ordo dan tarekat religius di Amerika Serikat.

Penggabungan ini merupakan dampak dari menurunnya jumlah calon imam setelah Konsili Vatikan II. Pada September 1983, saya memulai studi teologi spiritualitas di CTU yang sama dan diwisuda pada Mei 1986. Jadi, kami adalah alumni dari perguruan tinggi yang sama!
Beliau adalah Paus pertama yang berasal dari Ordo Saudara-Saudara Santo Agustinus (Ordo Fratrum Sancti Augustini – OSA). Dari tahun 2001 hingga 2013, beliau menjabat sebagai Pemimpin Tertinggi OSA. Pada tahun 2003, beliau mengunjungi para konfraternya di Papua yang melayani di Sorong, Manokwari, dan Abepura. Para Suster OSA juga berkarya di berbagai keuskupan di Kalimantan, Jawa, dan Papua.
Sekitar tahun 2009 atau 2010, saya pernah diundang oleh Pemimpin OSA Papua saat itu, P. Bernard Baru, OSA (yang ditunjuk sebagai Uskup Timika pada 8 Maret 2025 oleh Paus Fransiskus dan akan ditahbiskan pada 14 Mei 2025), untuk memimpin retret tahunan bagi para anggota OSA (imam, frater, dan suster) di rumah formasi OSA, Abepura.
Salah satu imam OSA asal Flores pernah berbagi kisah panggilannya. Sebagai pemuda, ia merantau ke Sorong demi mencari kehidupan ekonomi yang lebih baik. Saat itu, ia mencoba peruntungan dengan berjualan minuman beralkohol, yang harganya naik di malam hari. Namun, ia merasa pekerjaan itu tidak benar secara moral. Ia mulai memikirkan kehidupan yang lebih bermakna dan akhirnya melamar masuk OSA. Ia diterima, menjalani proses pembinaan dengan tekun, dan akhirnya ditahbiskan menjadi imam OSA serta berkarya di Papua.
Ketika saya bertugas sebagai anggota Pimpinan Umum MSC di Roma (September 1993–Februari 2006), sekitar tahun 1998 saya bersama Pater Filoteo Pelingon MSC (Ekonom Umum MSC di Roma) pernah diundang oleh seorang imam OSA asal Filipina untuk mengunjungi beberapa bagian istana Vatikan: kapel resmi Paus, sakristi Paus, ruang ratapan atau sala di pianto, Kapel Sistina, Sala Clementina, hingga menaiki lift Paus.
Waktu itu, kepala sakristi (sakristan) Kepausan adalah seorang imam OSA asal Spanyol. Ia menyebutkan bahwa selama lebih dari 200 tahun, tradisi ini tetap dipertahankan: urusan sakristi Kepausan dipercayakan kepada Ordo Augustinian. Karena itu, para imam OSA yang bertugas di sana tinggal bersama dalam komunitas dekat sakristi. Di sisi kiri Lapangan Santo Petrus, menghadap ke Basilika, terdapat rumah pusat OSA—tempat tinggal dan pusat kepemimpinan ordo selama beliau menjabat selama 12 tahun.
Bagi saya, semua perjumpaan dan pengalaman ini bukan sekadar momen yang penuh kesan, melainkan juga sebuah rahmat yang mendalam.
Editor: Paulus Laratmase