Oleh Yusuf Achmad

Kulihat pohon tinggi mengurung. Di pucuknya kera dan aku. Marah atau hilang jati diri. Daun, ranting, buah, biji. Saling jaga kendali. Pohon, “Kumau menemani.” Ranting, “Kupangku di tubuh kokoh.” Buah, “Aku banyak digendong bersama.” Biji, “Jangan sedih atau marah, aku gembira dalam buah.”

Ternyata bukan hanya mereka, ia pun demikian juga. Apakah kurang doa, kasih dan harta berlimpah. Ataukah lupa, cuek atau sengaja membantah. Hanya pohon tinggi tempat mencari suka. Lupakan rasa karena bertemu kera.

Katanya biar aku temani kamu berdua. Ranting dan tubuh pohon ini kokoh memangku. Jangankan hanya kita berdua, bahkan buah. Berjubel ia sangga juga, tak seperti kata orang bijak. Ia lemah akan angin marah. Aku sering merenunginya, ketika tak ada yang hirau, juga anak-keluargaku mencampakkan.

Kududuk di sini sambil makan kacang. Kata kera yang sedari tadi bercerita. Panjang dan aku hanya tenang. Kusimak kata demi kata, persis cerita yang melanda diriku, keluarga juga teman. Temanku yang acuh tak mau pandang. Menganggap remeh semua ucapan. Keluar dari mulutku terbuang.

Kera bosan lalu meninggalkan pohon. Tinggal aku pelan turun. Sadarlah aku melamun. Tentang kera babon. Akupun tertegun. Pohon berkaki satu kokoh berdiri.

Kera melompat bukan berlari. Aku berkaki empat di mana diri? Mengapa berlari? Tak taukah jati diri?

Surabaya, 4-8-2023