
/1/
Cinta Bumi yang Terjatuh
Puisi: Leni Marlina
<1>
Kau berbicara cinta,
di mana jejaknya pada bumi yang rapuh?
limbahmu, seperti bunga mati layu yang kau buang,
tanah ini hanya melahirkan derita,
tertutup debu, racun yang kau semai
di taman yang seharusnya bersemi.
Betapa manis kata-kata itu,
dengarlah—laut menangis dalam bisu,
sampah yang kau buang hanyalah guratan luka,
bumi menjerit, dan kau—
berdiam diri di balik kata-kata manis.
Apa makna cinta yang menghilang begitu saja?
kau bilang peduli,
tapi pohon-pohon itu, menggantungkan harapannya,
pada langit yang enggan memberi hujan,
kau berbicara tentang kehidupan,
kenapa kau hancurkan segalanya demi nafsumu terpuaskan.
<2>
Pohon yang kau tebang, laut yang kau cemari,
tanah yang kau lukai demi kemewahan sekejap.
kau berkata “green”, tapi hijau itu memudar,
daun-daun gugur seperti harapan yang hilang,
dalam arus sungai yang tercemar, tak berdaya.
Cinta?
aku melihat dunia ini penuh pengejaran harta,
seperti pemburu yang tak tahu batas,
bumi menjerit, dan kau terus terperangkap dalam bisikan fatamorgana,
kau, dengan senyum manis, berkata bahwa kita bisa memperbaikinya,
tapi kalau kata-kata cukup,
mengapa bumi ini tetap merintih dalam luka?
Kau ingin memperbaiki dunia yang rusak?
berhentilah berbicara tentang penyelamatan,
karena bumi ini butuh lebih dari sekadar janji kosong,
ia butuh tangan yang tak hanya mencetak uang,
tapi juga merawat pohon-pohon yang tumbuh,
menjaga laut yang biru,
menyembuhkan tanah yang terluka.
<3>
Aku, bumi yang terluka,
akan berbicara melalui badai yang menderu,
melalui gempa yang mengguncang,
angin yang mengaum—suara protes yang tak bisa ditahan.l,
ingin kau mendengarnya?
atau akankah kau tetap tenggelam dalam suaramu sendiri,
yang kini hanya bergema dalam kebisuan yang hampa?
Cinta yang kau beri, adalah cinta yang munafik,
bumi ini telah lama diam,
ia takkan menunggu lagi.
ingin menyelamatkan dunia?
mulailah dengan menyelamatkan bumi hatimu,
karena jika bumi ini jatuh,
takkan ada lagi tempat untuk berdiri.
Berhentilah mengumbar cinta yang kosong,
mulailah bertindak—sebab aku hanya akan bertahan,
jika kau berhenti mengkhianatinya.
Deakin at Burwood Campus,
Melbourne, Australia
2013
/6/
Jantung Gunung yang Meradang
Puisi: Leni Marlina
Aku adalah tiang langit,
dari tanganku lahir mata air,
dari punggungku tumbuh pohon-pohon tinggi,
dan dari dadaku kau curi kekayaan yang tak pernah kutawarkan.
Manusia,
kau korek nadiku dengan besi tajam,
kau luluh-lantakkan hutan yang menutupi lukaku.
Aku diam saat kau ambil,
aku sabar saat kau ukir luka baru.
Namun, ada batas untuk segala.
Hari ini aku berbicara
dengan lidah api yang menjilat awan.
Asapku adalah cerita panjang,
lautan lavaku adalah tangisan darah.
Kau menyebutku bencana,
padahal aku hanya menunjuk dirimu
sebagai sang perusak tak berdosa.
Oh manusia,
kau bangun rumah di kakiku,
bersembunyi di balik doamu.
Tapi aku bukan gunung yang kau miliki,
aku adalah penjaga yang kau sia-siakan.
Lidahku membelah tanah ini
bukan untuk menghancurkanmu,
tapi untuk mengingatkanmu
akan batas yang telah kau lewati.
Jika kau ingin aku kembali diam,
tanamlah hutan-hutanku yang hilang.
Basuh luka ini dengan penghormatan,
dan aku akan kembali menjadi pelindung,
penjaga langit dan tanah.
Namun ingat,
gunung yang kau bangunkan amarahnya,
takkan lupa pelajaran ini.
Deakin at Burwood Campus,
Melbourne, Australia
2013
/7/
Elegi Pasir yang Haus
Puisi: Leni Marlina
Aku adalah gurun,
padang sunyi yang dulu bernyanyi.
Dari pasirku, angin menyulam kisah,
dari dadaku, oase menari dalam pelukan matahari.
Namun, kau manusia,
kau rebut air yang menghidupkanku,
kau cabut akar yang menahan jiwaku.
Aku, yang pernah menjadi emas abadi,
kini menjadi padang luka,
kuburan dari mimpi-mimpi hijau.
Kau berdiri di sisiku,
mengutuk kekeringan yang kau ciptakan sendiri.
Kau panggil aku kejam,
padahal pasirku hanya pantulan
dari dosa-dosamu yang tak terhitung.
Lihatlah retak di tanah ini,
itulah cermin hatimu yang rakus.
Lihatlah oase yang mengering,
itulah air matamu yang tak pernah jujur.
Aku tak haus akan air,
aku haus akan pengampunan.
Oh manusia,
jika kau ingin aku kembali hidup,
berikan aku nafas hujan.
Tanamlah akar yang pernah kau cabut,
bawalah kembali kehijauan yang hilang.
Hingga itu terjadi,
aku akan tetap menjadi gurun yang menangis,
mengubur keindahan masa lalu
dalam bisik pasir yang kau abaikan.
Deakin at Burwood Campus,
Melbourne, Australia
2013
/6/
Jantung Gunung yang Meradang
Puisi: Leni Marlina
Aku adalah tiang langit,
dari tanganku lahir mata air,
dari punggungku tumbuh pohon-pohon tinggi,
dan dari dadaku kau curi kekayaan yang tak pernah kutawarkan.
Manusia,
kau korek nadiku dengan besi tajam,
kau luluh-lantakkan hutan yang menutupi lukaku.
Aku diam saat kau ambil,
aku sabar saat kau ukir luka baru.
Namun, ada batas untuk segala.
Hari ini aku berbicara
dengan lidah api yang menjilat awan.
Asapku adalah cerita panjang,
lautan lavaku adalah tangisan darah.
Kau menyebutku bencana,
padahal aku hanya menunjuk dirimu
sebagai sang perusak tak berdosa.
Oh manusia,
kau bangun rumah di kakiku,
bersembunyi di balik doamu.
Tapi aku bukan gunung yang kau miliki,
aku adalah penjaga yang kau sia-siakan.
Lidahku membelah tanah ini
bukan untuk menghancurkanmu,
tapi untuk mengingatkanmu
akan batas yang telah kau lewati.
Jika kau ingin aku kembali diam,
tanamlah hutan-hutanku yang hilang.
Basuh luka ini dengan penghormatan,
dan aku akan kembali menjadi pelindung,
penjaga langit dan tanah.
Namun ingat,
gunung yang kau bangunkan amarahnya,
takkan lupa pelajaran ini.
Deakin at Burwood Campus,
Melbourne, Australia
2013
/7/
Elegi Pasir yang Haus
Puisi: Leni Marlina
Aku adalah gurun,
padang sunyi yang dulu bernyanyi.
Dari pasirku, angin menyulam kisah,
dari dadaku, oase menari dalam pelukan matahari.
Namun, kau manusia,
kau rebut air yang menghidupkanku,
kau cabut akar yang menahan jiwaku.
Aku, yang pernah menjadi emas abadi,
kini menjadi padang luka,
kuburan dari mimpi-mimpi hijau.
Kau berdiri di sisiku,
mengutuk kekeringan yang kau ciptakan sendiri.
Kau panggil aku kejam,
padahal pasirku hanya pantulan
dari dosa-dosamu yang tak terhitung.
Lihatlah retak di tanah ini,
itulah cermin hatimu yang rakus.
Lihatlah oase yang mengering,
itulah air matamu yang tak pernah jujur.
Aku tak haus akan air,
aku haus akan pengampunan.
Oh manusia,
jika kau ingin aku kembali hidup,
berikan aku nafas hujan.
Tanamlah akar yang pernah kau cabut,
bawalah kembali kehijauan yang hilang.
Hingga itu terjadi,
aku akan tetap menjadi gurun yang menangis,
mengubur keindahan masa lalu
dalam bisik pasir yang kau abaikan.
Deakin at Burwood Campus,
Melbourne, Australia
2013
/8/
Lidah Laut yang Menjilat Matahari
Puisi: Leni Marlina
Aku adalah air purba,
gelombang yang pernah menenangkan jiwa.
Di tubuhku, kapal-kapalmu mengapung seperti doa,
namun kini, doa-doamu tenggelam dalam seruan takbir amarahku.
Pasirku pernah jadi rumah bagi anak-anakmu,
karangku perisai bagi riak kecil yang malu-malu.
Namun kau mengoyak nadiku,
kau selimuti dasar jiwaku dengan sampah dan racun,
kau kikis garis pantai seperti melucuti kemurnian.
Hari ini aku bersuara
dengan lidah yang menjilat matahari.
Ombakku mendaki daratan,
menerjang rumah-rumah keangkuhanmu,
melumat peradaban yang kau banggakan.
Aku bukanlah murka,
aku adalah refleksi dari kerakusan yang kau sirami.
Oh manusia,
aku hanya cermin dari kotormu.
Kau mencuri kehidupanku untuk membangun duniamu,
dan kini aku mengembalikan gelap yang kau berikan.
Kembalikan biru yang kau hilangkan,
sembuhkan luka-luka yang kau goreskan.
Jika kau ingin aku kembali tenang,
tinggalkan kesombongan di tepi pantai ini.
Namun ingatlah,
laut yang kau benci adalah laut yang pernah mencintaimu.
Deakin at Burwood Campus,
Melbourne, Australia
2013
/9/
Nafas Hutan yang Terbakar
Puisi: Leni Marlina
Aku adalah mahkota bumi,
penyaring bisu dari dosa-dosamu yang menghitam.
Dedaunanku membisikkan kehidupan,
akar-akarku memeluk tanah yang gemetar.
Namun kau membalas cinta ini dengan api.
Kau kobarkan hasratmu pada tubuhku,
kau bakar setiap ranting yang pernah menjadi tempat burung menyanyi.
Kau kirimkan asapku ke langit,
menghapus bintang-bintang dengan tirai abu yang berat.
Aku mati setiap kali kau menginginkan lebih.
Manusia,
kau pikir aku abadi?
Kau pikir aku tak akan melawan?
Hari ini, dengarkan jeritan pohon-pohon yang roboh,
nyanyian terakhir dari hewan-hewan yang kehilangan rumahnya.
Aku tidak berteriak untuk pembalasan,
aku menangis untuk kelangsunganmu.
Oh manusia,
padamkan api di hatimu sebelum api itu membakar duniamu.
Tanamlah kembali cinta pada tanah yang gersang,
dan aku akan menumbuhkan kehidupan untukmu lagi.
Namun jika kau memilih diam,
ingatlah:
hutan yang terbakar adalah napas terakhir yang kau hirup.
Deakin at Burwood Campus,
Melbourne, Australia
2013
/10/
Angin yang Memecah Kota
Puisi: Leni Marlina
Aku mengisi tarian langit,
hembusan lembut yang mengusap wajahmu saat pagi tiba.
Dulu aku bernyanyi,
mengangkat daun-daun kering dengan lembutnya,
tapi kini aku berteriak,
aku menjerit melalui badai yang menggulung rumahmu.
Kau lukai aku dengan asap-asap kotamu,
kau robek jalanku dengan menara-menara tinggi.
Kau pikir aku tak punya nyali
untuk melawan sang pembunuh yang tenang ini?
Hari ini aku menjawab.
Aku menyeret atap-atapmu,
menghancurkan jalan yang kau puja,
menjungkalkan tiang-tiang yang mengangkangi langit.
Aku bukan lagi angin yang kau kenal,
aku adalah badai yang lahir dari kerakusanmu.
Oh manusia,
kau takut padaku,
tapi aku hanya bayangan dari kealpaanmu sendiri.
Jika kau ingin aku kembali tenang,
bersihkan langit ini dari dosa yang kau buat.
Hentikan tanganmu dari mengoyak bumi,
dan aku akan kembali menjadi angin
yang membawa kedamaian.
Namun jika kau terus diam,
ingatlah:
angin yang kau abaikan hari ini
adalah badai yang akan menutup kisahmu esok.
Deakin at Burwood Campus,
Melbourne, Australia
2013
——————————
Biografi Singkat
Kumpulan puisi ini awalnya ditulis oleh Leni Marlina hanya sebagai hobi dan koleksi puisi pribadi tahun 2013, saat penulis menjalani program master of Writing and Literature di Australia, dengan beasiswa pemerintah Indonesia. Puisi tersebut direvisi kembali serta mulai dipublikasikan secara bertahap untuk pertama kalinya melalui media digital tahun 2025.
Leni Marlina merupakan pendiri dan ketua Komunitas PPIPM (Pondok Puisi Inspirasi Masyarakat); pendiri dan ketua Poetry-Pen International Community.
Leni sampai saat ini merupakan anggota aktif Asosiasi Penulis Indonesia, SATU PENA cabang Sumatera Barat sejak berdiri tahun 2022; Komunitas Kreator Indonesia Era AI. Selain itu, ia juga merupakan anggota aktif Komunitas Penyair dan Penulis Sastra Internasional ACC di Shanghai, serta dipercaya sebagai Duta Puisi Indonesia untuk ACC Shanghai Huifeng International Literary Association. Leni pernah terlibat dalam Victoria’s Writer Association di Australia. Sejak tahun 2006, ia telah mengabdikan diri sebagai dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang.
Leni juga mendirikan dan memimpin komunitas digital / kegiatan lainnya yang berfokus pada bahasa, sastra, pendidikan, dan sosial, di antaranya: (1) Komunitas Sastra Anak Dunia (WCLC): https://rb.gy/5c1b02, (2) Komunitas Starcom Indonesia (Starmoonsun Edupreneur Community Indonesia): https://rb.gy/5c1b02, (3) ECSC (English Chilit Smart Course), dan (4) MEC (Marvelous English Course).