Oleh: Elza Peldi Taher

Waktu kecil di kampung halaman, selain dari belajar di surau, saya sering diajak ayah ke masjid untuk mengikuti acara-acara di sana, baik untuk membahas agama maupun adat dan budaya. Kebetulan ayah saya kepala kampung, pengurus masjid dan mewakafkan tanahnya untuk masdjid. Saya sering melihat para tokoh agama dan masyarakat berdebat, saling menyanggah satu sama lain kadang dengan keras.

Namun, setelah perdebatan usai dan mereka keluar dari masjid, mereka kembali menjadi sahabat sejati yang saling menghormati. Tidak ada amarah atau dendam di antara mereka. Begitu keluar dari Masjid, mereka kemudian berbaur di lapau lapau, semacam warung, minum kopi dan main domino bicara soal soal perjuangan hidup masing masing.

Mengapa mereka bisa begitu. Ini karena mereka dibentuk dalam falsafah hidup orang Minangkabau yang terkenal “Dangaan kecek urang, laluan kecek awak,”. Dalam Bahasa Indonesianya bisa diartikan “ dengarkan apa kata orang, tapi jalankan apa yang menjadi pendirian kita”.

Pepatah ini menjadi pijakan dalam berinteraksi dan pengambilan keputusan. Mendengarkan pendapat orang lain dianggap sebagai tindakan yang bijaksana dan menghormati perspektif serta pengalaman mereka. Orang Minang percaya bahwa dalam setiap situasi, terdapat berbagai sudut pandang yang berbeda yang dapat memberikan wawasan baru dan sudut pandang yang lebih luas terhadap masalah atau keputusan yang dihadapi.

Namun, mendengarkan bukan berarti selalu setuju atau mengikuti pendapat orang lain secara mentah-mentah. “Laluan kecek awak” mengajarkan bahwa setelah mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat orang lain, kita tetap memiliki tanggung jawab untuk membuat keputusan yang kita yakini benar berdasarkan nilai-nilai dan prinsip yang kita anut.

Filosofi ini juga menggarisbawahi pentingnya keberanian untuk mempertahankan pendirian, terutama ketika itu sesuai dengan nilai-nilai yang kita yakini dan tujuan hidup yang kita inginkan. Dalam budaya Minangkabau pepatah ini menjadi panduan untuk memastikan bahwa kita tidak hanya mengikuti arus atau terpengaruh secara membabi buta oleh opini orang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari, pepatah ini mengajarkan untuk selalu mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak sebelum mengambil keputusan penting. Hal ini dapat mencegah kita dari kesalahan yang mungkin bisa dihindari jika kita lebih terbuka terhadap masukan dari orang lain. Namun, tetaplah yakin dengan apa yang kita pilih dan lakukan, karena pada akhirnya, kita yang bertanggung jawab atas setiap tindakan dan keputusan yang kita ambil.

Dengan demikian, “Dangaan kecek urang, laluan kecek awak” bukan
hanya sekadar kata-kata bijak, tetapi sebuah falsafah hidup yang mengajarkan keseimbangan antara menghargai pendapat orang lain dan mempertahankan kemandirian serta integritas diri sendiri dalam menjalani kehidupan. Itulah keindahan dari budaya Minangkabau yang telah membentuk karakter dan sikap hidup yang unik dan berharga bagi masyarakatnya.

###

Falsafah hidup yang tercermin dalam pepatah Minang, “Dangaan kecek urang, laluan kecek awak,” telah menjadi pondasi kuat yang melahirkan tokoh-tokoh besar dari tanah Minangkabau. Para negarawan seperti Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Buya Hamka, Mohammad Natsir, dan Tan Malaka bukan hanya dikenal karena kebijaksanaan politik dan peran mereka dalam sejarah Indonesia, tetapi juga karena kemampuan mereka dalam berliteratur dan argumen yang luar biasa.

Mereka merupakan contoh yang nyata bagaimana mendengarkan pendapat orang lain dapat digabungkan dengan kekuatan argumen yang memukau, sehingga mampu menghadapi dan mengatasi lawan-lawan politik mereka tanpa cela.

Dalam ruang publik, falsafah hidup yang menekankan pentingnya mendengarkan dan mempertimbangkan sudut pandang orang lain sangatlah relevan. Tokoh-tokoh Minangkabau ini tidak hanya mengandalkan kecerdasan intelektual mereka sendiri, tetapi juga mampu menghargai dan memanfaatkan masukan dari berbagai pihak sebelum membuat keputusan besar.

Mohammad Hatta, sebagai tokoh kunci dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, terkenal dengan kapasitasnya dalam merumuskan kebijakan ekonomi dan politik yang revolusioner. Dia adalah contoh nyata dari seseorang yang mampu menyatukan visi pribadi dengan aspirasi rakyat, berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Mendengarkan keluhan dan aspirasi rakyat adalah langkah awalnya sebelum dia membangun argumentasi yang kuat untuk merumuskan solusi yang tepat bagi bangsa Indonesia.

Buya Hamka, seorang ulama dan sastrawan ternama, juga dikenal dengan kepiawaiannya dalam merangkai kata-kata dan argumentasi yang mampu menggerakkan hati dan pikiran banyak orang. Karyanya yang luas tidak hanya mencakup bidang agama, tetapi juga membahas isu-isu sosial dan politik yang relevan dengan zamannya. Kemampuannya dalam menulis dan berbicara menjadi alat utamanya untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan sosial kepada masyarakat luas, serta membangun argumentasi yang meyakinkan bagi gagasan-gagasannya.

Tan Malaka, seorang pemikir revolusioner yang gigih dalam perjuangan melawan penjajahan, dikenal dengan pemikirannya yang progresif dan pandangannya yang kritis terhadap kapitalisme dan imperialisme. Dia adalah contoh yang nyata dari seorang yang mendengarkan aspirasi rakyat serta mampu mengorganisir dan membangun argumen-argumen yang radikal dalam menggalang dukungan untuk perjuangan kemerdekaan.
Mereka adalah orang orang Minangkabau yang telah dibentuk oleh Falsafah hidup Minangkabau “Dangaan kecek urang, laluan kecek awak,”

#####

Sekarang, saya jarang menyaksikan lagi perdebatan cerdas seperti yang dulu sering saya saksikan di masa kecil. Di berbagai komunitas Minang yang saya ikuti, perdebatan yang melibatkan orang-orang dengan argumen canggih dan literasi yang kuat semakin jarang terjadi. Saya mulai bertanya-tanya, apakah ini adalah pertanda bahwa literasi di kalangan masyarakat Minangkabau mulai menurun?

Dulu, di masa kecil saya, perdebatan di masjid atau di tempat-tempat lain bukan hanya sekadar ajang berdebat, tetapi juga momen untuk memperluas pemahaman tentang agama, adat, dan budaya. Orang-orang saling bertukar pendapat dengan penuh semangat, menggunakan kata-kata yang dipilih dengan hati-hati dan pengetahuan yang mendalam. Meskipun seringkali berdebat dengan keras, mereka selalu menghormati satu sama lain dan setelah debat selesai, mereka kembali bersahabat tanpa dendam.

Namun, sekarang suasana ini tampaknya berubah. Perdebatan yang didasari oleh pengetahuan yang mendalam dan argumentasi yang kuat semakin langka. Banyak orang mungkin lebih memilih untuk menghindari konflik atau bahkan tidak memiliki kesempatan untuk memperdalam wawasan mereka karena berbagai alasan. Hal ini mengundang pertanyaan serius tentang arah literasi dan budaya diskusi di komunitas Minangkabau.

Meskipun demikian, saya masih optimis bahwa semangat untuk mempertahankan dan mengembangkan literasi serta budaya diskusi yang sehat masih tersisa di kalangan masyarakat Minangkabau. Mungkin ini adalah panggilan untuk lebih banyak mendukung inisiatif pendidikan dan ruang diskusi yang mempromosikan literasi dan pemahaman yang mendalam di masa depan.

Pondok Cabe Udik

20 Juni 2024

Elza Peldi Taher