oleh Yusuf Achmad

Kukenakan safari biru, bagai DPR dielu-elukan, Tetanggaku, pedagang sukses di kampungku, lama tak bertemu. Wajah berseri, mata berbinar bak sinar lampu terang. Kau sudah jadi pejabat, katanya, erat menjabat tanganku.

Kukatakan aku guru, keningnya berkerut. Wajah hampir jemberut, heran aku. Binar matanya tak lagi seperti awal. Karena kiranya aku DPR, perlu dikawal.

Namun senyum dan hormatku tetap mengawal. Aku melangkah maju, perasaan bercampur dalam dada. Tanyaku dalam hati, belum terjadwal. Hingga dibiarkan aku berjalan tanpa ihwal. Langkahku mantap, teguh meski tanpa arahan.

DPR dan guru baginya berbeda dunia. Aku memandang sekitar, melihat betapa pandangan itu begitu kuat. Seolah safari biruku adalah jantung hatiku. Kutahu ia silau pada kulit, bukan hati yang mahal. Kubiarkan, meski banyak tetangga yang masih begitu.

Kutak mau kenakan safari biru, biar hatiku tak tertipu. Tetaplah aku, guru dengan cita yang murni. Di jalan yang lurus, aku berjalan dengan nurani yang bersih.

Surabaya, 19-12-2024