Oleh: Alex Runggeary

Perempuan ke 18 dari 120 orang tingkat sedunia Penerima Hadiah Nobel. Orang kedua dari Korea Selatan sebagai penerima Hadiah Nobel setelah Kim Dae Yung untuk bidang Perdamaian.

“Ia telah menulis dengan prosa apik menggambarkan himpitan pahit hidup masa lalu dan betapa rapuhnya kehidupan manusia”. (Di sana ada daya tahan dan daya juang, karena ada harapan) , bunyi pengumuman dari Panitia Nobel itu. Tentu saja ini terjemahan bebasnya.

Han Kang datang dari latar belakang keluarga penulis. Ia terbiasa dikeiilingi buku. Ini membuatnya senang membaca sejak kecil. Ayahnya seorang penulis. Han Kang telah menulis selama 30 tahun. Ia kini berusia 53 tahun. Usia relatif muda untuk usia rata – rata Peraih Hadiah Nobel. Artinya perjalanan menulisnya masih panjang

Ketika dunia menyambut kegirangan luar biasa terhadap pengumuman dari Panitia Nobel khusus tentang peraih Nobel Sastra, di Indonesia nampaknya tenang tak ada kehebohan. Sambutan berita luar negeri berbahasa Inggris, Perancis, Spanyol, Jerman, India bahkan Korea berseliweran.

Malam itu setelah pengumuman Panitia Nobel, penerbit dan toko buku di Seul bersiap menyongsong hari baru penuh harapan. Mereka mencetak ulang buku – buku karangan Han Kang yang sudah dijual sebelumnya, tetapi kali ini untuk kejutan besar dan kebanggaan negeri. Keesokan harinya orang berbondong- bondong berburu buku dan habis dalam sekejap. Betapa pembaca tak mau ketinggalan memeriahkan kemenangan negeri sambil menikmati bacaan berisi yang terlewatkan selama ini. Orang harus menunggu cetakan berikutnya.

Bukan hanya di Seul, berbagai toko buku terkemuka dunia mengantisipasi membuldaknya pembeli yang seperti terhipnotis oleh magic Hadiah Nobel prestasi prestisius Han Kang. Novel – novelnya yang terkenal The Vegetarian, peraih Men’s Internasional Booker Prize 2016. Perjuangan seorang perempuan muda, seorang grafik design, memutuskan tidak makan daging hewan, terpaksa harus menghadapi berbagai tekanan dalam berbagai interaksi sosialnya dalam bentuk pengasingan dan penolakan. Ia menulis buku ini selama tiga tahun. Bukunya yang lain yang disebut-sebut dalam berita – berita itu, Human Acts.

“Bagaimana mungkin karena alasan keamanan negara, mereka dibantai? Lalu siapa mereka yang punya hak untuk membunuh secara brutal warganya sendiri? Apakah mereka ini yang disebut, Negara? Cuplikan dalam terjemahan bebas dari Human Acts, peristiwa sejarah 1980 pembantaian mahasiswa dan warga sipil di Gwangju

Bukankah ini menggambarkan keseharian hidup kita, bisa saja dalam situasi kita sendiri berada ditengah peristiwa – peristiwa penting yang melanda nilai kemanusiaan atau, bisa juga kita hanya membaca dari buku. Itulah realita kehidupan kita. Ataukah kebanyakan kita masih lebih berminat pada politik yang tak berujung pangkal. Hanya memuja gelembung busa sabun?

Di Indonesia nampaknya tidak ada sedikitpun antusiasme terhadap berita hangat sedunia tersebut. Bahkan grup wa sekelas Satupena rada sepi. Mengapa? Untuk grup wa ada hal lain yang lebih menarik. Sedangkan untuk masyarakat luas, bisa jadi karena karena topik berita hari hari ini adalah seputar pembentukan kabinet Prabowo – Gibran. Bisa dipahami karena ini menyangkut berita nasional yang lebih menarik. Berita utama lain, terbakarnya Speed Boat yang menewaskan Calon Gubernur Maluku Utara, Beny Laos

Walau demikian tentu saja tetap timbul pertanyaan, apakah Indonesia tidak begitu antusias? Apa alasannya? Sedangkan Italia, Spanyol, Perancis yang nun jauh di sana begitu antusias dalam meluncurkan berita Han Kang. Ataukah karena kegemaran penduduknya untuk membaca lebih besar dibanding Indonesia yang kebanyakan penduduknya tak gemar membaca ? Yang terakhir ini sepertinya menjelaskan fenomena antusiasme tersebut di atas

Alasan lain adalah buku – buku Han Kang tidak menarik bagi pembaca di Indonesia yang tentu saja lebih sedikit jumlahnya dari sebagian besar penduduknya yang lebih tertarik dengan politik? Dan tidak terlalu memperdulikan kemunduran – kemunduran dalam hal nilai Kemanusiaan. Kita memang gemar mengubur sampah ke bawah karpet ? Semua akan baik – baik saja. Walau kenyataannya tidak. Padahal kita juga punya sejarah kelam seperti yang sudah ditulis Pramoedya Ananta Toer. Peritiwa Kamisan yang menggambarkan para ibu yang kehilangan anak mereka yang jazad mereka entah di mana. Or probably we are so permissive to accept those dirty laundries to live among us. We are in a stage of stagnant or reverse of humanity and therefore a cultural set back ?
——————
*) Anggota Satupena

15 Oktober 2024