Oleh: Dr. Budhy Munawar-Rachman
–
Pertambangan batu bara merupakan salah satu industri besar yang memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan dan masyarakat. Dalam perspektif Ushul Fikih, analisis hukum suatu aktivitas tidak hanya dilihat dari sisi manfaat ekonominya saja, tetapi juga dampak terhadap lingkungan dan kesejahteraan sosial.
Saya ingin coba mengkaji argumen bahwa pertambangan batu bara bisa dianggap haram dalam pandangan Ushul Fikih dengan mempertimbangkan beberapa prinsip utama dalam hukum Islam. Setelah itu sebaliknya, saya mau dapatkan argumen halalnya juga dari cara berpikir Ushul Fikih. Ini hanya sebuah simulasi, atau eksperimen pemikiran. Soal Najis atau tidak Najis, itu turunannya saja.
Ushul Fikih adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar dan metode penetapan hukum Islam. Ada beberapa prinsip dasar yang relevan dalam mengkaji hukum pertambangan batu bara, yaitu:
Mafsadah (Kerusakan) dan Maslahat (Kebaikan): Segala tindakan yang lebih banyak mendatangkan kerusakan daripada kebaikan dianggap haram. Ini berdasar pada kaidah “Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih” yang berarti menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada menarik manfaat.
Hifz al-Bi’ah (Perlindungan Lingkungan): Islam mengajarkan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Prinsip ini mencakup larangan merusak bumi dan ekosistemnya sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran dan Hadis.
Dharar (Kerugian): Hukum Islam melarang tindakan yang menimbulkan kerugian atau bahaya bagi orang lain. Ini berdasarkan hadits yang menyatakan “La dharar wa la dhiraar” yang berarti tidak boleh membahayakan diri sendiri atau orang lain.
Pertambangan batu bara dikenal sebagai salah satu industri yang paling merusak lingkungan. Aktivitas pertambangan ini sering menyebabkan deforestasi, pencemaran air dan udara, serta kerusakan ekosistem. Berdasarkan cara berpikir Ushul Fikih, kerusakan lingkungan ini merupakan bentuk mafsadah yang jelas.
Pertambangan batu bara juga memiliki dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat sekitar. Pencemaran udara oleh partikel debu batu bara dan bahan kimia beracun dapat menyebabkan penyakit pernapasan, kanker, dan masalah kesehatan lainnya. Menurut prinsip dharar, aktivitas yang menimbulkan bahaya kesehatan bagi masyarakat tidak dapat dibenarkan.
Eksploitasi batu bara yang berlebihan dapat menyebabkan habisnya sumber daya alam yang tidak terbarukan ini. Ini bertentangan dengan prinsip hifz al-maal (upaya dalam menjaga harta yang dimilikinya), yaitu bisa ditafsirkan sebagai menjaga keberlanjutan sumber daya untuk generasi mendatang.
Seringkali, masyarakat yang tinggal di sekitar area pertambangan tidak mendapatkan manfaat ekonomi yang signifikan dari aktivitas pertambangan. Sebaliknya, mereka harus menanggung dampak negatif seperti kerusakan lingkungan dan masalah kesehatan. Ketidakadilan ini tidak sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam yang menekankan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Dalam kasus pertambangan batu bara, kerusakan lingkungan, dampak kesehatan, dan ketidakadilan sosial yang ditimbulkan lebih besar daripada manfaat ekonomi yang diperoleh. Berdasarkan prinsip “Darul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih”, aktivitas yang lebih banyak mendatangkan kerusakan daripada manfaat harus dihentikan. Dengan demikian, pertambangan batu bara dapat dianggap haram karena mafsadah yang ditimbulkannya lebih besar.
Islam mengajarkan pentingnya menjaga lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. Al-Quran menegaskan, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya” (QS. Al-A’raf: 56). Kerusakan yang ditimbulkan oleh pertambangan batu bara jelas bertentangan dengan ajaran ini. Oleh karena itu, dari perspektif hifz al-bi’ah, pertambangan batu bara dapat dianggap haram.
Hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan “La dharar wa la dhiraar” mengajarkan bahwa segala bentuk tindakan yang menimbulkan kerugian atau bahaya bagi orang lain dilarang dalam Islam. Mengingat dampak kesehatan yang serius dari pertambangan batu bara, aktivitas ini dapat dianggap haram berdasarkan prinsip dharar.
Keadilan sosial adalah salah satu prinsip utama dalam Islam. Eksploitasi sumber daya yang hanya menguntungkan segelintir orang sementara merugikan banyak orang lainnya adalah bentuk ketidakadilan yang dilarang. Pertambangan batu bara seringkali menciptakan ketidakadilan sosial yang signifikan. Dengan demikian, dari perspektif keadilan sosial, aktivitas ini bisa dianggap haram.
Salah satu metode dalam Ushul Fikih yang belum disebut di atas tapi relevan digunakan untuk menetapkan hukum haram terhadap pertambangan batu bara adalah sadd al-dzari’ah. Sadd al-dzari’ah secara harfiah berarti “menutup jalan”. Metode ini adalah cara penetapan hukum dengan menutup segala jalan yang bisa mengantarkan kepada perbuatan yang mendatangkan mafsadat (kerusakan atau bahaya). Dalam konteks fikih, sadd al-dzari’ah digunakan untuk mencegah tindakan yang meskipun secara langsung tidak haram, tetapi dapat mengarah pada hal-hal yang diharamkan. Prinsip-prinsip Sadd al-Dzari’ah yang juga sudah disebut di atas:
Mencegah Kerusakan Lebih Diutamakan dari Mendapatkan Manfaat: Kaidah ini menyatakan bahwa menghindari kerusakan lebih penting daripada memperoleh manfaat. Hal ini didasarkan pada prinsip yang sudah disebut di atas: “Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih”. Antisipasi Terhadap Dampak Negatif: Setiap tindakan yang berpotensi menimbulkan kerusakan harus dicegah sebelum kerusakan itu terjadi. Pencegahan Melalui Kebijakan Preventif: Penerapan hukum untuk mencegah jalan menuju kerusakan merupakan bentuk kebijakan preventif dalam syariat Islam.
Saya menilai, pertambangan batu bara secara luas diakui menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Aktivitas pertambangan ini menyebabkan deforestasi, degradasi tanah, pencemaran air, dan udara. Dalam konteks sadd al-dzari’ah, kerusakan lingkungan ini adalah bentuk mafsadat yang harus dicegah. Mafsadat yang sudah disebut di atas, seperti: dampak kesehatan, keadilan sosial. Dalam prinsip sadd al-dzari’ah, tindakan yang berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat atau membawa pada ketidakadilan sosial, harus dicegah.
Menurut prinsip sadd al-dzari’ah, tindakan yang secara jelas menimbulkan kerusakan lingkungan harus dihentikan. Meskipun batu bara bukan barang najis dan merupakan anugerah Tuhan, cara pengambilannya yang merusak alam membuatnya menjadi tindakan yang harus dicegah. Dengan demikian, dalam perspektif sadd al-dzari’ah, pertambangan batu bara harus diharamkan karena membawa kerusakan yang lebih besar. Sadd al-dzari’ah mengajarkan untuk mencegah segala bentuk kerusakan,
Dengan menggunakan metode sadd al-dzari’ah, pemerintah dan pihak berwenang dapat menetapkan kebijakan untuk menghentikan operasi pertambangan batu bara. Ini adalah langkah preventif untuk mencegah kerusakan yang lebih besar.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis Ushul Fikih, ada argumen yang kuat untuk menganggap pertambangan batu bara sebagai aktivitas yang haram. Prinsip-prinsip dasar seperti mafsadah, hifz al-bi’ah, dharar, keadilan sosial, dan sadd al-dzari’ah, semuanya menunjukkan bahwa kerusakan dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh pertambangan batu bara lebih besar daripada manfaat ekonominya. Oleh karena itu, dalam perspektif Ushul Fikih, pertambangan batu bara tidak hanya tidak dianjurkan, tetapi dapat dikategorikan sebagai aktivitas yang haram.
Halalnya Pertambangan Batu Bara
Sekarang kita gali argumen Ushul Fikih untuk halalnya pertambangan batu bara. Saya akan coba mengkaji argumen yang mendukung bahwa pertambangan batu bara bisa dianggap halal dalam pandangan Ushul Fikih dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip dasar hukum Islam.
Seperti cara mendapatkan argumen keharaman pertambangan batu bara, ada beberapa prinsip utama yang dapat digunakan dalam mengkaji hukum pertambangan batu bara, seperti:
Maslahat (Kebaikan) dan Mafsadah (Kerusakan): Segala tindakan yang lebih banyak mendatangkan kebaikan daripada kerusakan dianggap diperbolehkan. Prinsip ini didasarkan pada kaidah “Jalb al-mashalih wa dar’u al-mafasid” yang berarti menarik manfaat dan menghindari kerusakan.
Ihtikar (Monopoli): Islam melarang praktek monopoli yang merugikan orang banyak, tetapi memperbolehkan usaha yang mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas.
Istihsan (Preferensi): Prinsip ini digunakan untuk memilih jalan yang lebih baik di antara beberapa pilihan, terutama ketika ada kebutuhan mendesak (darurat) atau maslahat yang lebih besar.
Urf (Kebiasaan Masyarakat): Hukum Islam juga mempertimbangkan kebiasaan atau praktik yang diterima oleh masyarakat setempat selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat.
Batu bara adalah salah satu sumber energi utama yang digunakan untuk pembangkit listrik. Pembangkit listrik yang berbahan bakar batu bara dapat menyediakan energi yang dibutuhkan untuk berbagai kegiatan ekonomi, industri, dan rumah tangga. Ketersediaan energi yang stabil dan terjangkau adalah aspek penting dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Pertambangan batu bara berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan negara melalui pajak dan royalti, serta mendukung industri-industri lain yang bergantung pada energi batu bara. Menurut prinsip maslahat, kontribusi ekonomi ini dapat dianggap sebagai manfaat yang signifikan.
Dengan menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan, pertambangan batu bara dapat membantu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Dalam perspektif Ushul Fikih, meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah salah satu tujuan utama dari penetapan hukum.
Salah satu prinsip utama dalam Ushul Fikih adalah “Jalb al-mashalih wa dar’u al-mafasid,” yang berarti menarik manfaat dan menghindari kerusakan. Dalam konteks pertambangan batu bara, jika manfaat ekonomi dan sosial yang dihasilkan lebih besar daripada kerusakan lingkungan dan dampak negatif lainnya, maka aktivitas ini bisa dianggap halal.
Dengan penerapan teknologi yang lebih ramah lingkungan dan pengelolaan yang bertanggung jawab, dampak negatif dari pertambangan batu bara dapat diminimalkan. Hal ini sesuai dengan prinsip Islam tentang menjaga lingkungan (hifz al-bi’ah) dan menghindari kerusakan. Upaya mitigasi kerusakan lingkungan dapat menjadi alasan untuk memperbolehkan aktivitas ini selama dilakukan dengan cara yang benar.
Kebutuhan akan energi yang terjangkau dan stabil merupakan kemaslahatan umum yang besar. Batu bara menyediakan sumber energi yang penting, terutama bagi negara-negara yang belum memiliki infrastruktur energi terbarukan yang memadai. Prinsip istihsan dapat digunakan untuk membenarkan penggunaan batu bara sebagai sumber energi selama belum ada alternatif yang lebih baik dan terjangkau.
Pertambangan batu bara telah menjadi praktik yang diterima dan lazim dalam banyak masyarakat. Prinsip urf dalam Ushul Fikih mengakui praktik-praktik yang diterima oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Selama pertambangan dilakukan sesuai dengan regulasi dan standar yang berlaku, maka dapat dianggap halal.
Selama pertambangan batu bara dilakukan tanpa praktek monopoli yang merugikan masyarakat, dan tetap memperhatikan kesejahteraan umum, maka aktivitas ini dapat dianggap halal. Monopoli yang merugikan dilarang dalam Islam, namun usaha yang mendatangkan manfaat besar dan dikelola dengan baik dapat diterima.
Penerapan kebijakan lingkungan yang ketat dapat membantu mengurangi dampak negatif dari pertambangan batu bara. Reklamasi lahan, pengelolaan limbah yang baik, dan penggunaan teknologi bersih adalah contoh langkah-langkah yang dapat diambil untuk menjaga lingkungan sesuai dengan prinsip hifz al-bi’ah.
Pertambangan batu bara harus dilakukan dengan memperhatikan keadilan sosial. Ini termasuk memberikan kompensasi yang adil kepada masyarakat yang terkena dampak, memastikan bahwa pekerja mendapatkan kondisi kerja yang aman dan upah yang layak, serta berkontribusi pada pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar.
Prinsip transparansi dan akuntabilitas harus diterapkan dalam pengelolaan pertambangan batu bara. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam tentang kejujuran dan tanggung jawab. Pemerintah dan perusahaan harus terbuka dalam pelaporan dampak lingkungan dan sosial, serta bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan.
Berdasarkan analisis Ushul Fikih di atas, maka ada argumen yang kuat untuk menganggap pertambangan batu bara sebagai aktivitas yang halal. Prinsip-prinsip dasar seperti maslahat, istihsan, dan urf menunjukkan bahwa manfaat ekonomi dan sosial yang dihasilkan oleh pertambangan batu bara dapat lebih besar daripada kerusakan yang ditimbulkan, terutama jika dilakukan dengan pengelolaan yang bertanggung jawab dan sesuai dengan regulasi yang ketat.
Kesimpulan refleksi saya: Dua analisis Ushul Fikih ini menunjukkan bahwa ada dasar yang sama kuat dalam mempertimbangkan haram atau halalnya pertambangan batu bara. Saya berefleksi: Mana yang kita pegang? Jawabannya tergantung filsafat dan teologi kita. Tidak bisa hanya fikih. Dengan begitu fikih saja tidak cukup. Kita perlu interdisiplin dalam keilmuan Islam. Filsafat dan teologi akan membantu kita untuk pilihan haram atau halalnya pertambangan batu bara ini.
Saya memilih haram hukumnya pertambangan batu bara, berdasarkan argument Ushul Fikih di atas (yang mengharamkannya), ditambah argument filsafat dan teologi yang sudah saya tulis dalam artikel-artikel saya yang lalu. Wallahu a`lam.