Refleksi Oleh: John Puah
–
Tulisan ini tidak ilmiah. Tapi tak apalah. Yang ilmiah juga datang dari tak ilmiah. Itu kata orang. Meski ragu-ragu ku tetap menulis karena kebenaran filsafat bermula dari keragu-raguan. Ah lagi-lagi itu kata orang, tak mampu aku mencernanya. Hanya ku sadar, kehadiran penemuan Weliam H. Boseke (WHB) telah menyentak banyak orang, dan melewati batas budaya. Ya, benar. Pemerhati dan peduli tidak saja datang dari orang Minahasa, tetapi juga dari mereka mulanya tak tahu dimana Minahasa itu berada.
Paling seru ketika penemuan ini berada diantara kaum yang merasa sebagai akademikus. Penjelasan harus meliuk-liuk menembus nalar yang terperangkap dalam kebekuan berpikir. Bukan tak paham. Ini hanya sekedar tak bijak. Karena bersikap bijak dianggap akan merendahkan eksistensi diri, apalagi sang penemu ini hanya sang pencinta budaya, bukan sosok keluaran institusi yang senantiasa mendengungkan Vivat academia.
Sampai di sini aku berdiam diri sambil merenung. Bukankah ilmu tak bertuan? Barang kali aku salah, Dan, aku pun terus mengembara dengan imajinasiku, mencari jawab akan realita yang mendatangkan sejumlah pertanyaan daripada berdialog dengan bahasa sarkasme. Lagi-lagi kata orang, berdialog dengan bahasa sarkasme menunjukan tak mampu. Itu tanda hanya membentengi diri dari bayangan ketakutan yang diciptakan sendiri.
Kehadiran buku tentang leluhur Minahasa hasil penelitian bertahun-tahun WHB, bukan saja memberi informasi baru yang sungguh inspiratif, tetapi juga membuka cakrawala berpikir kaum peduli kebenaran yang bersandar pada teori dari rentetan ahli mumpuni atau mungkin hanya digunakan sebagai dropping name. Muncul Beragam diskusi. Descartes mungkin benar. Cogito ergo sum. Lewat berdiskusi, menjadikan aku berpikir maka aku ada.
Budaya adalah hasil karya manusia sehingga budaya itu eksis karena ada manusia. Dan ketika budaya itu makin menguat sebagai identitas komunal, dan terlebih hadir sebagai penguat jati diri, semakin banyak orang berlomba mengklaim sebagai pemilik budaya itu. Padahal budaya tak dapat diposisikan sebagai benda yang cuma dimiliki satu orang. Disini mungkin biangnya mengapa resistensi mengemuka tanpa ada jawab yang didasari data. Realita ini termasuk dari mereka yang merasa akademis. Faktum baru menjadi momok karena dianggap merusak eksistensi diri sebagai budayawan sekaligus akademisi yang dianggap paham budaya.
Pertanyaan yang sama terus tercurah ketika masuk ruang diskusi, yakni tentang metodologi dan literaturr yang diposisikan sebagai teori. Padahal banyak kebenaran tidak lahir dari literatur. Bukankah sintesa yang dianggap sebagai suatu kebenaran baru kadang tidak lahir karena literatur, tetapi lahir dari analisis dari permenungan akan pengalaman yang dilihat, didengar, maupun dirasa. Munculnya Revolusi industri yang mengubah peradaban dunia tidak lahir dari teori-teori sentries, tetapi dari pengalaman praktisi yang membuat kanal untuk penyaluran hasil industri. Orang yang melahirkan revolusi adalah praktisi (J. Bronowski, The Ascen of Man).
Sebetulnya jika melihat dengan mata bijak, penemuan WHB tidak akan menggerus akan eksistensi seseorang sebagai penggiat kreativitas budaya Minahasa. Indikasi ke sana tidak Nampak. Penemuan itu justru memperkuat pijakan berkespresi dalam ruang budaya. Kita tetap Tou Minhasa dan tetap Indonesia meskipun latar sejarahnya sesuai apa yang dikemukakannya. Itu realita yang tak dapat pungkiri. Orang Amerika akan mengatakan I’m proud to be an American meskipun ia tahu leluhurnya dari Irlandia, atau Italia dan seterusnya.
Matematika dan musik adalah dua bidang yang berdiri sendiri. Nampak berseberangan. Satu menggunakan otak kanan. Satu menggunakan otak kiri. Tapi bagi Pitagoras keduanya memiliki hubungan yang dapat menciptakan keharmonisan. Kugunakan ini hanya sebagai metefor untuk refleksi. Tergantung yang memandangnya. Yang pasti penemuan WHB akan menjadi peluang untuk banyak orang masuk dari berbagai bidang ilmiah, termasuk penguatan budaya oleh mereka yang bergelut dengan kebudayaan. Kekuatan merupakan keasyikan baru dalam pengetahuan. keterbukaan hati adalah jalan menuju bintang. Ini tentu terlalu puistis. Tetapi Who knows?.
Saya tertarik dengan puisi sederhana William Blake: energy merupakan kebahagiaan abadi. Kata kunci ‘kebahagiaan’ adalah kebebasan akan sebuah pemahaman dari kegembiraan sebagaimana hak manusia secara ilmiah, dan manusia mengekspresikan keinginan besar dalam penemuan. Mungkin ini yang dapat saya ungkapkan sebagai apresiasi dari upaya panjang WHB yang tak mengenal lelah, apalagi untuk mengejar mahkota sanjungan yang dianggap nisbih.
Akhirnya saya teringat suatu pengalaman saat berada di suatu desa. Seorang mahasiswa pertanian berjalan dengan seorang tua penghuni desa itu. Dengan senyum percaya diri ia berujar kepada orang tua itu, bahwa sayang tanah datar yang membentuk bukit itu tidak dimanfaatkan warga sehingga hanya ditumbuhi alang-alang. Lalu mengalirlah penjelasan yang disertai diksi ilmiah agar terasa dari seorang akademis. Namun, dengan sopan, orang tua itu menjawab: itu padi landang, nak, bukan alang-alang.
Barangkali kita sering bermental seperti mahasiswa itu. Merasa pemilik ilmu, Merasa lebih tahu dari orang yang bukan akademisi. Padahal ilmu dapat lahir juga dari sebuah pengalaman hidup.
Terserah menginterpretasikan ini. Yang pasti orang bijak memiliki ruang refleksi dalam diri. Saya bukan siapa-siapa, hanyalah orang yang ingin belajar membuka diri untuk keluar dari ruang sempit dan gelap yang tadinya ku anggap ilmu pengetahuan hanya ada di situ sehingga ku terus berproses dalam keheningan di situ.