Oleh: Rosadi Jamani
–
Sama-sama politisi papan atas, namun beda perlakuan. Hasto meraih doktor dengan cumlaude. Setelah itu, adem ayem. Beda dengan Bahlil, meraih doktor, setelah itu masih ramai sampai sekarang.
Jumat, 18 Oktober 2024, dunia akademik tanah air geger. Kali ini bukan karena ulah mahasiswa demo soal UKT. Hasto Kristiyanto, Sekjend PDIP yang terkenal dengan wajah teduh dan senyum ala politisi sejati, dinyatakan lulus cumlaude dari Universitas Indonesia. Tentu, ini bukan perkara sepele. Karena, mendapatkan gelar doktor di bidang Kajian Stratejik Global (bukan kajian kuliner loh, meski rasanya sama berat!) dengan IPK 3,93. Nyaris sempurna. Cuma beda satu digit dari nilai perfect score, yang biasanya cuma didapat dalam film superhero.
Tapi tunggu dulu. Dibandingkan dengan drama gelar doktor Bahlil, kok kasus Hasto ini tak heboh, ya? Bisa jadi, karena memang Hasto ini tipe low-key yang gak butuh panggung sebesar Hollywood untuk unjuk gigi. Bahlil yang kemarin bikin heboh, dengan gelar doktor tercepat, lalu disambut petisi ribuan teken alumni UI, sampai-sampai Dewan Guru Besar UI harus rapat khusus untuk investigasi. Kontras banget dengan Hasto, ya. Sidang terbuka Hasto mulus, adem ayem, seperti kue tart yang sempurna matang.
Dengan judul disertasi yang panjangnya nyaris seperti paragraf, “Kepemimpinan Strategis Politik, Ideologi, dan Pelembagaan Partai serta Relevansinya terhadap Ketahanan Partai: Studi pada PDI Perjuangan,” Hasto berhasil bikin semua yang hadir mengangguk-angguk serius. Meski dalam hati mungkin mereka bertanya-tanya, “Kok ini kayak resep rahasia partai ya?”
Hasto dengan tenangnya memaparkan bagaimana PDIP ini gak cuma partai biasa, tapi survivor sejati yang mampu beradaptasi dengan situasi politik global yang keras. “Indonesia mengalami global reproduction of American politics tanpa melalui proses pelembagaan partai,” ujar Hasto. Canggih banget, kan? Bikin kita berpikir apakah partai di Indonesia ini sebenarnya sedang ikut kompetisi mirip Survivor versi politik, di mana yang terkuat bukan yang tercepat, tapi yang paling licin.
Lulus cumlaude dengan IPK 3.93 mungkin terdengar seperti prestasi luar biasa bagi kita rakyat jelata. Tapi buat Hasto? Ah, mungkin itu kayak lulus kursus online sambil ngopi di warung. Apalagi, menurut informasi yang beredar, disertasi ini diselesaikan dalam waktu hanya tiga tahun. Coba bayangin, tiga tahun! Untuk kita yang lulus skripsi saja butuh doa dari banyak orang dan beras kencur. Tentu ini jadi sebuah pencapaian yang bikin terkesima (atau malah minder).
Dengan demikian, Hasto resmi bergabung dengan klub elite pemegang gelar doktor politik. Lalu, kalau Bahlil lagi sibuk menghadapi investigasi akademik, Hasto justru sibuk menerima ucapan selamat dari para elite PDIP, termasuk Megawati yang hadir dalam sidang terbuka tersebut. Mungkin Megawati dalam hati berpikir, “Wah, anak buahku ini gak cuma jago main politik, tapi juga jago bikin disertasi.”
Mungkin yang jadi pertanyaan besar kita semua adalah, bagaimana caranya Hasto bisa dengan mudah menyabet gelar doktor ini? Apakah ada rahasia di balik kecemerlangan akademiknya? Atau mungkin Hasto sebenarnya memiliki tim riset tersembunyi yang bekerja keras di balik layar? Siapa tahu kan, seperti Master Chef yang selalu punya asisten koki di belakang dapur?
Apa pun rahasianya, yang jelas, Hasto berhasil menunjukkan bahwa gelar doktor di bidang politik bukan hanya soal menguasai teori, tapi juga soal memainkan strategi. Seperti bermain catur di tengah pesta demokrasi. Apakah ini berarti Hasto akan semakin berbahaya di kancah politik nasional? Yah, hanya waktu yang bisa menjawabnya. Tapi yang pasti, sidang terbuka ini mengingatkan kita semua bahwa politik itu seni, dan Hasto Kristiyanto adalah senimannya.
Sekarang, tinggal kita tunggu apakah IPK 3.93-nya akan diaplikasikan juga dalam mengatur strategi politik PDIP di masa depan. Kalau iya, kita mungkin akan melihat PDIP makin tangguh seperti Iron Man, siap menaklukkan berbagai rintangan politik di depan. Tapi kalau tidak? Ah, ya sudahlah. Toh, setidaknya kita punya Sekjend yang cumlaude di Kajian Stratejik Global, bukan?
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar