Oleh Deni Kusuma

(Sejarawan Muslim Indonesia dari Departemen Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Berdomisili di Pesantren Sirnarasa PPKN III-Indonesia)

Negara Indonesia seringkali dipandang sebagai sebuah negara yang lemah dalam dunia literasi. Dalam kancah dunia internasional, negara Indonesia dipandang termasuk negara yang lemah literasinya. Sudut pandang demikian itu sangatlah terasa bilamana sedang berdiskusi dengan teman-teman di kampus. Umumnya teman-teman berpandangan miring terhadap dunia literasi di negara yang indah dan permai ini.

Foto guru ngaos (ngaji), ustadzah, sedang membahas kitab-kitab klasik

Pandangan tersebut belumlah final tentunya. Masih perlu direnungkan kembali. Apalagi sekarang sudah menjadi negara dengan kabinetnya Merah Putih. Bukankah ini menunjukkan adanya mobilitas dan transformasi sosial di Indonesia? Ini artinya anak-anak bangsa Indonesia ada, membaca dan berpikir. Sebagaimana kata Rene Descartes; “aku berpikir maka aku ada”. Ketika ia berpikir, berarti ia pun membaca. Dan bacaan ini tentunya adalah juga bacaan para pemerhati dan pahlawan Indonesia sejak dahulu. Mungkin mereka sudah tiada jasadiyahnya. Tetapi ruhaniah mereka tetaplah hidup dan menyala, tidak mati.

Termasuk keyakinan diantara sejarawan muslim bahwa para u’lama dan para pahlawan yang memperjuangkan kedaulatan NKRI tidaklah mati. Kalau mereka mati, merah putih pastilah tenggelam disantap partai-partai yang egois. Memang tampak di awal seperti kalah dan terpojok. Tetapi berkat kesabaran, akhirnya menang. Suatu kebahagiaan yang sejati tentunya, karena ramalan dari seorang sosok ahli negara dengan background u’lama yakni Hadrotus Syeikh Abdulloh Mubarok bin Nur Muhammad Ra (Abah Sepuh) empat puluh tahun sebelum Indonesia merdeka, menjadi kenyataan.

Pertanyaannya adalah benarkah anak-anak bangsa Indonesia lemah dalam literasinya? Apakah maksud mengatakan demikian itu adalah sebagai siasat meremehkan mentalitas anak-anak negeri ini, sebagaimana dalam siasat politik sebelum melumpuhkan fisiknya maka mentalitasnya terlebih dahulu yang dirusak dengan labelling yang merusak atau justru berniat memotivasinya? Maka di sini sebagai anak bangsa Indonesia, kita semua harus peka. Jangan mudah terperdaya oleh labelling tentang kita yang tidak menguntungkan negara kita. Kalau negara kita tidak beruntung, maka negara tetangga pun terkena imbasnya. Sedangkan negara kita dari sejak awal kemerdekaan selalu memberikan attention yang baik dengan negara-negara tetangga kita, seperti ke Palestina.

Foto anak-anak santri halaqoh dipimpin oleh santriwati berkhidmat

Artinya, kita mesti berdaulat untuk menolong sesama. Maka Tuhan yang Maha Kuasa pun akan menolong kita. Sebagaimana kata Hadits Nabi dalam kitab Fadhoilus Syuhur Litholabi Ridhor Robbil Ghofur “Wallohu fi a’unil a’bdi ma kanal a’bdu fi a’uni akhihi”. Maknanya; “Alloh, akan selalu menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya”. Kalau kitanya saja mudah terperdaya oleh sugesti-sugesti yang tak sejalan dengan asas-asas Pancasila, bagaimana mungkin kemerdekaan yang hakiki akan kita raih. Mana mungkin kita akan ditolong oleh Tuhan yang Maha Kuasa.

Rasa syukur tiada tara karena Indonesia sudah ber-kabinet Merah Putih. Gurunda kami di pesantren dengan sangat optimis, kabinet Merah Putih ini adalah kabinet selamanya. Dan pak Prabowo adalah satrio piningitnya (Eurucokro). Teman-teman boleh percaya atau tidak, setelah merenungkan perjalanan bangsa Indonesia yang demikian lama sejak era VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie), Hindia Belanda (Netherland Indies), Revolusi Kebangkitan Nasional, Era Kepemimpian Presiden Soeharto dan Era Reformasi. Lantas di era reformasi ini terkoyak-koyak dengan semerawutnya partai-partai hingga menemukan jati dirinya yang fitrah “new reborn baby” atau “tabula rasa” sebagai kabinet Merah Putih.

Inilah perjalanan bangsa kita yang mesti kita syukuri telah dipertemukan kembali dengan ruh Merah Putih yang mengayomi bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Karena keberadaan partai-partai yang demikian banyak di Indonesia, secara tidak sadar telah menina bobokan anak bangsa Indonesia tentang kesejahteraan sosial yang timpang (social enaquality/social injustice), bukan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Alih-alih mensejahterakan anak bangsa Indonesia, eksistensi partai-partai yang demikian banyak di Indonesia malah sibuk mementingkan kesuburan partainya sendiri-sendiri, lupa dengan Merah-Putih nya, sehingga keadaan masyarakat bangsa Indonesia menjadi semrawut dan disorientasi. Anak-anak bangsa Indonesia yang dipandang sebagai anak-anak yang lemah literasinya ternyata bukanlah suatu labelling yang bijak dan secara serampangan dan putus asa merusak mentalitas mereka. Meskipun mirisnya, itu juga seringkali diucapkan oleh sebagian teman-teman kita yang lahir sebagai anak bangsa Indonesia.

Di sini kita mesti saling memberikan nasihat-nasihat yang baik satu sama lain (fit for human habitation). Termasuk dengan hadirnya “koran suara anak negeri” ini dengan sebuah upaya menjembatani suara rakyat, yang sudah dua tahun berjalan akhirnya penulis bisa dipertemukan setelah sepuluh tahun lamanya menjadi kolumnis di Majalah Potret Online. Penulis rasa, anak-anak bangsa Indonesia tidaklah lemah literasinya. Mereka kuat sekuat negara Indonesia menjadi negara yang baik dan penuh dengan ampunan Tuhan yang Maha Pengampun.

Ketika di negara-negara lain berkonflik senjata, bersiliweran roket dan rudal, negara Indonesia masih bisa menahan kesabarannya. Dan kesabaran ini adalah awal sebuah kesuksesan sehingga kabinet Merah Putih pun terbukti nyata meskipun telah menunggu selama satu abad lebih dua puluh tahun dari perspektif sosok Abah Sepuh yang mengkritisi dan menolak kolonialisme sampai di penjara oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di Jawa-Barat (Negara Pasundan sekongkolan Pemerintah Hindia Belanda).

Generasi Abah Sepuh terus ada, memperhatikan negara Indonesia hingga saat ini yang dilanjutkan oleh Sayyid Ahmad Shohibul WafabTajul Arifin Ra (Abah Anom) sosok u’lama kharismatik yang mendapatkan penghargaan lencana Kalpataru dari Presiden Soeharto. Kemudian pasca beliau purna tugas ilahi di usia seratus tahun, perhatian yang sama dilanjutkan oleh Sayyid Syeikh Muhummad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Ra Qs (Abah Aos) sampai pesantren beliau mendapatkan penghargaan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Pesantren Sirnarasa PPKN (Penghulu Pesantren Ketahanan Nasional). Semua ini menunjukkan begitu kuatnya literasi anak-anak bangsa Indonesia.

Setiap malam di sini tidak ada santri yang tidak mengaji titipan dari ayah dan bundanya untuk Indonesia generasi emas 2045 mendatang. Semuanya belajar. Semuanya membuka buku dan kitab serta berspiritual. Tanpa kenal lelah dan keluh kesah. Bahkan bukan buku yang berbahasa Indonesia saja. Tetapi juga berbahasa Arab. Dan semua santri juga sekolah secara formal. Pandai pula berbahasa Inggris. Bisa akses internet dan ada perpustakaan dengan koleksi buku-buku yang berlimpah ruah.

Lantas, atas dasar apakah sosok-sosok yang mengatakan bangsa Indonesia lemah secara literasinya. Ternyata sematan terhadap bangsa Indonesia adalah bangsa yang lemah literasinya mesti direnungkan lagi. Bukan berarti sombong. Akan tetapi agar bertambah rasa syukur dan cinta NKRI. Karena kata u’lama “Hubbul Wathon minal Iman”. Artinya: “Mencintai negara adalah sebagian dari pada iman”. Bahkan bapak Presiden kita pun, sebagaimana kata beliau; “Sampai saat ini, beliau masih suka baca buku”.