Sabtu, 9 Desember, saya menghadiri PUKAT Christmas Concert 2023. Kegiatan rutin Profesional Usahawan Katolik Jakarta ini bahkan sudah yang ke-29. Konser Natal di masa Adven kok bisa? Apalagi diselenggarakan organisasi yang berlebel Katolik? Kegiatan yang berlangsung di Ciputra Artpreneur teater ini bahkan dihadiri oleh Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo (Uskup Keuskupan Agung Jakarta) Mgr. Antonius Bunjamin, OSC (Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia), dan Duta Besar atau Nunsius Apostolik Vatikan, Mgr. Piero Pieppo.

Pasalnya, bagi orang Katolik masa Adven itu dikhususkan sebagai masa persiapan perayaan Natal yg baru dimulai tanggal 24 Desember atau biasa disebut Malam Natal. Tentu saja kegiatan ini dimungkinkan, antara lain dalam konteks memajukan kerjasama ekumenis bersama umat Kristiani lainnya yang punya tradisi tersendiri dalam menyambut Natal yang di beberapa denominasi sudah dimulai sejak tanggal 1 Desember.

Sesungguhnya kegiatan-kegiatan sejenis memang bisa menjadi kontras tersendiri dan secara bersamaan makin meningkatkan pemahaman dan kerinduan orang Katolik pada saat menjalani ritual perayaan Adven yang berfokus pada persiapan lebih khusus dengan merenungkan kedatangan Yesus sendiri yang kedua pada akhir zaman dan kedatangan-Nya pertama dalam sejarah manusia 20 abad yang lalu.

Pro kontra boleh tidaknya kegiatan-kegiatan bernuansa Natal tersebut kiranya makin berkurang seturut pemahaman iman umat makin matang menyikapi mana yang inti dan periferi sebuah ritual perayaan suci.

Saya datang bersama empat anggota keluarga, tiba sekitar jam 5 sore. Dalam mall besar di kawasan segitiga emas Kuningan, teater Ciputra Artpreneur itu berada roof tertinggi di lantai 11 dengan tiga selasar yang cukup luas. Di selasar pertama kita langsung disuguhi pelbagai karya seni lukisan dan arca koleksi sang pendiri Ciputra Group. Tiket online kita tunjukkan dari gadget dan discan oleh panitia, lalu kita naik eskalator menuju selasar kedua yang menjadi lokasi pameran seni dan pelbagai aksesoris rohani yang boleh dibeli. Selasar tingkat ketiga lebih luas lagi di seputar pintu-pintu masuk ke ruangan teater dan di situ berisi pelbagai lukisan dan patung yang dipajang rapih. Diharapkan para pengunjung membeli pajangan-pajangan tersebut untuk menambah donasi sesuai intensi kegiatan itu, yakni membantu program beasiswa di Papua dan pengadaan air bersih di NTT.

Pas memasuki selasa ketiga, saya langsung teralihkan oleh sekelompok anak muda yang sedang bersiap-siap menyanyi.

“Asal mana adik-adik?”
“Kami dari Asmat.”
“Sedang apa di sini, apakah dalam rangka penggalangan dana juga?”
“Kami diminta Pukat untuk mengisi acara di sini. Mereka yang memberi kami beasiswa.” “Apa itu Pukat?” Karena ragu menjawab, seorang ibu panitia sigap menjawab. Baru mereka semua serentak mengiyakan. “Kami mendapat beasiswa dari Pukat melalui Keuskupan Agats. Bapa Uskup kami Mgr. Murwito, OFM”.

Rupanya para mahasiswa penerima beasiswa ini datang khusus untuk menyemarakkan suasana dan menghibur para tamu undangan yang sedang berdatangan dan sedang melihat-lihat pameran sebelum ruang konser dibuka pada jam 7 malam itu.

Saya sempat mengikuti dan merekam dua lagu yang berkisah tentang kerinduan hati untuk pulang ke rumah berjumpa papa mama saudara keluarga di kampung halaman…

Dan lagu dalam bahasa Asmat yang mengungkapkan perhatian untuk melestarikan nilai budaya tanah air udara leluhur. Sungguh mengharukan sukma hati anak budaya terhubung dengan lingkungan alamnya.

“Rasanya Jakarta aman-aman saja melihat antusiasme pengunjung. Saya merasa terharu dan teman-teman semangat juga bisa dilibatkan dan tampil mengiringi suasana pameran ini sebelum para tamu menikmati konser seni musik pertunjukan dalam rangka menyambut pesta Natal” Ungkap Christianus Birum, mahasiswa program pendidikan dan bahasa semester 7 Unika Atmajaya, Jakarta.

Masih ada juga beberapa lagu yang mereka nyanyikan yang terdengar cukup di selasar tiga dan dua yang berdekatan dan dipadati sekitar 1000 orang sesuai kapasitas ruang teater.

Konser yang bertema Hark, The Angel Sing! itu sendiri berjalan dengan sangat baik dan sangat memuaskan dan menarik perhatian para pencinta konser serta para undangan sesuai kapasitas maksimalnya. Tak heran karena yang tampil memang maestro dan yang terbaik di bidangnya. Adi MS dan Twilite Orchestra, Twilite Chorus, Lyodra dan Harvey Malaiholo, Jemimah Cita, Peachy, dan LIB3RO: Gabriel Harvianto, Daniel Christianto, Teddy Panelewen. Apalagi dipandu oleh Christian Reynaldo dan Audy Vanesa sebagai pasangan MC yang klop jua.

Sebagai refleksi lanjut atas momen tersebut, khususnya hadir dan tampilnya sekelompok mahasiswa ini. Pertama, kelompok kecil ini telah menjadi representasi sekian generasi muda Papua bahwa beasiswa atau apapun program privelese adalah bukan semata pemberian dan kemurahan bagi mereka, tapi juga perlu mereka tanggapi bukan saja lewat proses kuliah di kampus tapi juga dalam pelbagai kesempatan pembinaan dan perjumpaan termasuk berbagi bakat talenta yang mereka miliki. Bukan hanya tangan di bawah meminta dan pasif saja, tapi terutama punya mental tangan di atas untuk senantiasa tanggap serta terlibat (inklusi) dan berdaya upaya mengakses proses-proses sosial budaya dan sosial ekonomi dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat dalam segala level, di daerah maupun secara nasional bahkan global.

Kedua, terkait atraksi seni pertunjukan modern dalam bentuk konser musik dengan paduan suara serta artis penyanyi yang khusus membawakan nada dan lagu serta aksesoris dan alat musik yang bisa dikategorikan ala Barat, yakni dunia modern di Eropa dan Amerika Utara. Itu tentu mesti disadari sebagai bagian dari perkembangan musik dalam konteks sejarah peradaban global.

Bagaimana dengan seni musik pertunjukan dalam budaya Indonesia, yang otomatis merujuk pada budaya lokal daerah dan suku bahkan kelompok etnis suku yang sangat beragam itu. Ambil contoh seni musik pertunjukan dari sebuah daerah yang masih bagian kategori geografi Indonesia Timur. Pertunjukan seni musik dalam alat musik etnis lokal yang pernah dibawakan sekitar 3 dekade lalu oleh sekelompok musik bambu klarinet termasuk pedalaman di bawah konduktor kondang, Prof. Perry Rumengan, penulis Musik Liturgi Gereja, terbitan Pohon Cahaya Yogyakarta, sebuah buku yang oleh sejumlah intelektual dan ahli lintas denominasi disebut sebagai buku satu-satunya yang punya pendekatan multi dan trans disiplin ilmu dan pendekatan, termasuk memberi perhatian penuh akan kekhasan dan keaslian budaya musik etnis di nusantara yang sangat kaya tersebut.

Saya terbatas referensi tentang musik lokal asal Asmat bahkan Papua pada umumnya. Tapi saya tahu ada banyak kekayaan budaya musik dan lagu di negeri puitis “surga kecil” tanah Papua. Juga penting diangkat budaya seni rupa dan ukir dari Asmat yang sudah mendunia itu. Bukankah itu juga bagian dari pencapaian peradaban dan budaya tinggi rasa dan karsa manusia Papua?

Nah, dalam salah satu lagu suara anak negeri diwakili sekelompok mahasiswa itu coba mengingatkan dan menyadarkan masyarakatnya untuk tetap memelihara dan mengembangkan budaya leluhur di tanahnya sendiri bahkan di mana saja, sekarang dalam kemitraan dengan siapa dan dimana saja yang tergetar kalbunya dengan nilai-nilai universal yang terkandung di dalam setiap ekspresi dan produk material budaya para leluhur.

Selamat menyambut Natal 2023.

 

Stefi Rengkuan,
Ketua Umum Kawanua Katolik se-Jabodetabek