Hari ini kita hidup dijaman digitalisasi yang berkembang pesat. Orang seperti saya tentu saja selalu ketinggalan jauh dari pergerakan budaya baru ini. Setiap hari bahkan hampir setiap menit, kalau tak ada pekerjaan lain, sadar ataupun tidak kita akan selalu tergerak untuk membuka hape untuk mengecek posting terbaru teman-teman satu grup. Kita melakukannya hampir tanpa kita tersadar sepenuhnya. Respons bawah sadar.

Teknologi digital masuk kedalam masyarakat bahkan telah merasuk di kedalaman jiwa. Menimbun kesadaran dengan “sampah”. Sulit memilah sampah mana yang bisa didaur ulang dan mana yang harus ditinggalkan.

Teknologi ini kemudian dimanfaatkan oleh siapa saja tanpa pandang bulu, apakah orang baik hati ataupun mereka yang memiliki sifat “curang” untuk memanfaatkannya bagi kepentingan diri sendiri atau masyarakat lebih luas dalam satu dan lain bentuk. Masyarakat digiring untuk memiliki pendapat yang sama dengan terus menerus mempromosikan untuk membentuk- produk pikiran dengan niat tertentu.

Hari ini kita sudah terbiasa dengan namanya Quick Count yang keren itu. Hasilnya sudah tentu tidak akan jauh berbeda dengan Real Count nantinya. Mengapa? Karena ini metodologi survey yang pada dasarnya baku di seluruh dunia. Selama pilihan acak sampel dapat terhimpun secara luas dari berbagai TPS, dapat dipastikan itu sudah mereprentasikan populasi TPS lainnya secara menyeluruh. Jadi ini bukan kalkulasi rumit karena data yang masuk itu dihitung dengan rumus yang tersedia pada komputer. Kalau kita punya pilihan orang tangguh dilapangan sebagai collector survey, selebihnya sangat bersifat mekanistis. Artinya sekali data terhimpun, siapapun, yang terlatih, dan terbiasa, dimanapun dan kapanpun, bisa mengerjakan sisanya. Praktek seperti ini dari waktu ke waktu relatif sama karena metodologinya sudah bersifat – baku atau standar. Kalau ada kecurangan setelah – waktu Quick Count ataupun sebelumnya – Surveyer tidak bertanggung jawab dalam hal ini. Karena sifatnya – hanya sebagai potret sesaat.

Tetapi yang menarik adalah ketika teknik ini digunakan untuk mencari rating siapa yang paling populer di Indonesia hari ini. Saya bisa bayangkan jenis questionaire yang diajukan ke responden hanya bersifat menjawab “YA”/”TIDAK”. Tanpa meminta penjelasan apa alasannya. Kalau orang terkenal ya, pasti dikenal luas oleh sampel responden. Seperti, ” Apakah Anda kenal Jokowi?” Atau, “Apakah Anda senang dengan Jokowi?” Jawabannya sudah dapat pastikan ” YA”.

Jadi, logikanya menjadi sangat sederhana, orang yang terkenal dan disenangi akan mendapatkan – Approving Rate Tertinggi. Kebetulan saja untuk hari ini pak Jokowi. Termasuk siapa saja, dalam situasi normal, lima tahun ke depan, bahkan selebihnya, reaksi responden akan sama. Artinya siapapun bisa mendapatkan Approving Rate Tertinggi.Apalagi kalau dia itu presiden. Nothing so great in this case.

Persoalannya menjadi rumit adalah ketika Approving Rate yang tinggi diatas 80% digunakan sebagai satu-satunya alat untuk mengukur kehebatan seseorang. Boleh menerabas pagar pagar yang dibangun bersama untuk melindungi rumah dari pencuri. Konstitusi, demokrasi dan hukum dilabrak tanpa ampun dengan menggunakan kekuasaan dengan alasan dicintai rakyat. ” Kita kembalikan semuanya ke rakyat. Biarlah rakyat yang memutuskan”. Sounds familiar?

Ada dua kelompok resonden, menurut salah satu lembaga survey, yaitu kelompok Wong Cilik dan Anak Muda. Didalamnya ada GenZ yang tidak benar benar paham apa sesungguhnya yang terjadi. Wong Cilik cenderung berpikir untuk hari ini. GenZ tak tertarik pada sejarah. Genaplah keterwakilan warga kita.

Seperti kasus Mr. Stevens sang Kepala Pelayan di Darlington Hall, dalam Remains of the Day, Kazuo Ishiguro, “Apakah kita hendak menyerahkan urusan negeri kita ini kepada orang-orang yang tak paham apa yang yang sesungguhnya terjadi” Kalau hari ini banyak pihak terus menyuarakan, – ada sesuatu yang tidak beres dengan negeri kita – sepatutnya mereka didengar. Karena kalau kita terus saja yakin bahwa -terkenalan- akan menjamin negara ini ke depan, saya ragu. Ibarat lagu Roy Clark, ” (You end up build this nation) …..on a weak and shifting sand…..”

Maka approving rate yang tinggi selangit itu tidak lebih dari goresan lipstik dibibir memerah, yang hanyalah hiasan belaka.
———

Bandar Lampung, 7 Maret 2024

 

Alex Runggeary