Oleh: Ririe Aiko

Beberapa hari lalu, saya menulis sebuah artikel sederhana di media online. Judulnya pun tak terlalu istimewa, tetapi mungkin karena isinya cukup relate dengan kehidupan banyak orang, tulisan itu tiba-tiba saja viral. Google Analytics mencatat 28 ribu pembaca dalam waktu singkat. Notifikasi pun berdatangan—pesan-pesan dari followers yang bilang “keren,” “hebat,” dan sebagainya. Rasanya seperti menemukan durian jatuh saat jalan pagi.

Tapi jangan salah kira. Viral bagi seorang penulis bukan berarti mendadak jadi jutawan. Tidak ada adegan ala film: besoknya langsung beli Ferrari, lalu terbang ke Eropa naik jet pribadi. Realitanya, esok harinya saya tetap duduk di meja kayu yang sama, menggunakan laptop jadul yang layarnya kadang biru jika dinyalakan terlalu lama.

Saya jadi ingat narasi Bangros yang pernah saya baca. Ia bercerita bagaimana saat mencoba membahas isu sensitif dari dua sisi, ia justru diserang dari kanan dan kiri. Dituduh buzzer, disangka dibayar oleh pihak-pihak tertentu. Padahal, katanya, “Bayar kopi saja saya masih ngutang di warkop langganan.” Lucu, pahit, dan jujur—begitulah kadang nasib penulis di era digital ini.

Tulisan yang viral, meski bermuatan baik, tetap saja bisa menjadi sasaran empuk kritik netizen. Ada saja yang tidak membaca secara utuh, lalu langsung menuduh macam-macam. Ironisnya, kita yang menulis dengan niat berbagi, kadang justru dituding punya agenda tersembunyi. Padahal, kalau semua penulis hanya menulis demi uang, mungkin sejak dulu mereka sudah berhenti. Karena menjadi penulis bukanlah jalan cepat menuju kekayaan. Ini adalah jalan sunyi menuju keabadian.

Menulis lah hal-hal yang baik dan bermanfaat, agar karya kita membawa kebaikan dalam jangka panjang. Soal kaya dan sukses, itu bonus tambahan. Sebab jika tujuannya hanya uang, mungkin lebih baik beralih profesi.

Saya percaya, menulis adalah bentuk lain dari berbagi. Dan berbagi tak selalu harus dibayar mahal. Terkadang, cukup mengetahui bahwa tulisan kita berarti bagi orang lain, itu sudah cukup menghangatkan hati.

Maka, untuk para pembaca—sebelum buru-buru menuding, cobalah lihat dari sudut pandang penulis. Di balik tulisan yang kalian baca, ada malam-malam panjang, perenungan, dan keberanian membuka diri. Bukan untuk disanjung, tetapi untuk menyampaikan kebenaran atau sekadar suara hati.

Karena di tengah bisingnya dunia digital, masih ada penulis yang menulis bukan karena ingin viral atau uang, tetapi karena ingin memberi manfaat bagi sesama.