—elegi untuk bangsa yang kehilangan tulang belakang—

Oleh: Rizal Tanjung

Lidah itu tak lagi tinggal di mulut,
ia pindah ke lantai istana dan lorong warung kopi,
merangkak seperti cacing yang kehilangan liang,
mengendus-endus aroma kursi kekuasaan
dengan keanggunan seekor ular
yang tahu persis
kapan harus mengganti kulit
dan kapan harus mencium debu.

Di tanah ini, kebenaran bukan pohon,
melainkan daun yang gugur
saat angin kekuasaan berganti arah.
Dan lidah, oh lidah,
adalah daun palsu yang menempel di batang busuk,
berbisik seperti doa
namun berisi racun
yang dilumuri parfum kesetiaan palsu.

Lidah-lidah itu berjalan lebih cepat dari kaki,
mendahului akal,
menyalip nurani di tikungan busuk,
menjulurkan pujian seperti bendera damai
pada perang yang bahkan belum dimulai.
Karena di negeri ini,
lebih mudah hidup sebagai penjilat
daripada sebagai pohon tegak yang setia pada akar.

Mereka menyebutnya diplomasi—
aku menyebutnya tari-tarian air liur
di atas luka rakyat yang dibungkus baliho.
Lidah-lidah itu menari,
bukan di atas panggung teater,
melainkan di halaman rumah
yang sudah lama kehilangan atap
dan dinding-dindingnya dilukis dengan janji.

Ada yang menyekap puisi di balik dasi,
menyebut syair sebagai “subversif”,
dan mengganti metafora dengan proposal.
Sementara lidah-lidah itu terus merangkak
dari meja birokrat ke altar agama,
menjilati berhala-berhala yang terbuat dari selfie,
tinta palsu, dan pidato kosong.

Wahai manusia,
jangan ajarkan anak-anakmu cara berbicara,
ajarkan mereka cara diam
agar tidak tumbuh jadi lidah yang gemar bersolek
di depan kebohongan.

Karena lidah yang merangkak
tak pernah naik derajat menjadi manusia.
Ia akan terus melata di lorong-lorong kekuasaan,
menjilat dosa dan menyebutnya pengabdian,
mengunyah kepalsuan dan menyebutnya strategi,
memuja keburukan dan menyebutnya diplomasi.

Dan ketika bumi ini akhirnya muak,
ia takkan menelan lidah-lidah itu,
tapi akan membiarkannya
merayap seperti parasit
di atas nisan-nisan pahlawan
yang tak pernah tahu
bahwa kematian mereka
kelak dijual
dengan harga potongan seratus ribu dan tepuk tangan.

Sumatera Barat,2025