Oleh: Rizal Tanjung
–
Di antara gempita pameran, tepuk tangan gala, dan narasi-narasi baru yang ingin mendaku sebagai nabi estetika, lahirlah satu klaim megah: genre seni rupa bernama Imajinasi Nusantara. Ia konon tumbuh dari serapah spiritual di lorong-lorong museum Eropa, dari silau kanvas Van Gogh, dari lengkung absurd Dalí, dan dari patah-patah semesta Picasso. Namun alih-alih melahirkan kebaruan, ia justru hadir bagai batik yang dijahit dari potongan-potongan impian yang belum selesai—dijadikan kostum oleh pasar, bukan oleh permenungan.
Imajinasi yang Lahir Tanpa Rahim Dialektika
Tak ada aliran agung yang lahir dari detak sesaat. Semua aliran besar—Kubisme, Surealisme, Ekspresionisme—lahir dari badai, dari gelisah zaman yang membentur kepala, dari tubuh yang remuk oleh konflik sosial dan eksperimen bentuk. Mereka bukan mimpi yang dilukis, tetapi gugatan yang dilahirkan.
Sedang “Imajinasi Nusantara” hanyalah parade kolase: tokoh global yang dibatikkan, surealisme yang digelincirkan, dan tubuh Indonesia yang dipinjamkan tanpa nadi kontekstual. Ia mengagumi bentuk, tetapi buta terhadap sebab. Ia mengutip sejarah, tetapi tak menggali akar. Genre ini adalah nostalgia yang dikemas dalam bingkai souvenir.
Batik sebagai Ornamen, Bukan Tafsir
Batik bukan sekadar motif yang bisa dicetak di atas siapa pun—baik tokoh sejarah maupun tokoh pop. Batik adalah nyanyian sunyi dari zaman kolonial, simbol perlawanan yang dijahit dalam senyap oleh tangan perempuan dan jiwa rakyat. Ia bukan kostum, ia adalah kitab yang berlapis makna.
Namun dalam klaim “genre baru” ini, batik menjadi atribut eksotik—ditampal di dada Einstein, dililitkan ke pinggang Lady Diana. Ia tak lagi dimaknai, hanya dipakai. Maka batik pun, yang dahulu bicara tentang tanah, identitas, dan ingatan kolektif, kini hanya bergema sebagai aksesoris visual di layar digital.
Seni Bukan Statistik, Apalagi Slogan
Ratusan karya bukanlah ukuran nilai. Seni bukan ladang panen angka. Ia adalah ladang sunyi tempat gagasan dipupuk, digemburkan oleh dialog, dan dipanen oleh luka zaman.
Affandi tak pernah mengklaim dirinya pembaharu. Hendra Gunawan tak menobatkan dirinya bapak genre. Heri Dono membiarkan monster-monster lukisannya berbicara tanpa iklan. Mereka tidak berdiri di mimbar untuk menyebut dirinya pelopor. Mereka berjalan, dan sejarahlah yang mengikuti.
Menyederhanakan Sejarah Adalah Menghianati Ingatan
Seni rupa Indonesia lahir dari jalan-jalan berdebu, dari ruang diskusi yang dikepung intel, dari malam-malam panjang penuh kekurangan cat. Dari tekanan kolonial hingga censored Orde Baru, dari kapitalisme galeri hingga eksploitasi pasar global. Ia tidak pernah lahir dari satu individu yang berziarah ke Louvre, lalu pulang dengan kata “genre” di kepalanya.
“Imajinasi Nusantara” menyederhanakan semuanya jadi satu pelukan batin, seolah sejarah panjang itu hanyalah ilustrasi latar. Padahal perjuangan seniman kita adalah darah dan waktu yang ditumpahkan untuk tidak hanya hadir, tapi menggugat kehadiran.
AI: Ketika Imajinasi Disubkontrakkan
Kecerdasan buatan adalah alat—bukan jiwa. Ia bisa menciptakan bentuk, tapi tidak bisa mengandung makna. Ia bisa menggandakan warna, tapi tak bisa mengingat luka. Maka ketika lukisan diciptakan oleh prompt dan algoritma, lalu diarak sebagai genre agung, maka yang terjadi bukan karya, tapi katalog. Bukan ziarah, tapi brosur digital.
Seni lukis sejati lahir dari tangan yang gemetar, dari jiwa yang ragu-ragu, dari malam-malam yang tak bisa tidur karena satu warna tak kunjung jujur.
Simbolisme Pop: Ketika Kosmetik Mengganti Konteks
Apa makna Marilyn Monroe yang disampirkan batik? Atau Elvis yang berdiri di tengah lanskap Gunung Bromo yang dilukis dengan sentuhan Dalí? Ini bukan karya, ini adalah poster wisata budaya yang dijual dalam bingkai kemasan museum.
Simbol dipinjam untuk pesona, bukan untuk tafsir. Identitas menjadi kosmetik, bukan kegelisahan. Imajinasi menjadi katalog simbol global, sementara keheningan lokal—dari buruh seni, dari ritual, dari sejarah—tak lagi punya suara.
Genre yang Lahir dari Cermin Retak
Genre, dalam sejarah seni rupa, bukanlah anak tunggal dari ego. Ia lahir dari dialog. Dari tubuh kolektif yang terluka, dari zaman yang remuk, dari perjumpaan antara batin dan realitas.
“Imajinasi Nusantara” bukan genre. Ia adalah upaya branding. Ia bukan tafsir, melainkan deklarasi. Ia bukan ziarah batin, melainkan selfie estetik di altar pasar seni.
> Seni lukis adalah ziarah batin yang tak pernah selesai. Ia lahir dari sapuan kuas yang mencari kebenaran, bukan dari nama besar yang ingin diabadikan. Ketika lukisan dijadikan cermin untuk memuja diri sendiri, maka yang tampak hanyalah bayangan, retak, hampa, dan terlampau cepat hilang oleh sorot cahaya digital.
Sumatera Barat, 2025