Oleh: Denny JA
–
Pengantar Buku ReO Fiksiwan: Epistemologi Sastra, Pendekatan Kritik Baru Atas Teks-Teks Puisi Esai Denny JA
***
“Melalui sastra, kita dapat memahami sejarah dan masyarakat dengan kedalaman yang hanya mungkin dicapai oleh kisah-kisah yang menghidupkan drama, konflik, dan emosi manusia.”
Sastra bukan sekadar fiksi; ia bisa menjadi cerminan kehidupan yang menggambarkan realitas sosial, politik, dan budaya dengan kedalaman yang sulit dicapai oleh catatan sejarah konvensional.
A.O.J. Cockshut dalam The Novel to 1900 (1980) menunjukkan kekuatan sastra dalam mengungkap dimensi emosional sejarah. Sastra menjadi alat yang efektif untuk memahami realitas sosial.
Dengan memanfaatkan novel, Cockshut menunjukkan sastra bisa menjadi jendela bagi masyarakat untuk melihat potret nyata kehidupan sosial yang kompleks.
Salah satu contoh kuat adalah The Tale of Two Cities (1859) karya Charles Dickens, membawa kita ke dalam kedalaman sejarah.
Dickens menghadirkan dunia dua kota, London dan Paris, di masa Revolusi Prancis, menampilkan ketimpangan sosial, kemarahan rakyat, dan kekerasan yang memicu pemberontakan.
Lebih dari sekadar merekam fakta, Dickens menghidupkan kekacauan revolusi, menghadirkan kekejaman, penderitaan, dan pengorbanan yang melampaui data sejarah.
Kisah ini menyoroti bahwa ketidakadilan sosial yang lama terpendam dapat memicu kebencian yang pada akhirnya menghancurkan tatanan sosial itu sendiri.
-000-
Kisah tersebut terlintas dalam benak ketika membaca buku “Epistemologi Sastra, Pendekatan Kritik Baru Atas Teks-Teks Puisi Esai Denny JA,” karya ReO Fiksiwan.
Buku ini mengembangkan pendekatan kritik baru, di mana sastra dipandang sebagai refleksi mendalam tentang realitas sosial dan manusia.
Menurut ReO, epistemologi sastra tidak hanya menjadikan karya sastra sebagai medium seni, tetapi juga sebagai dokumen sosial yang menghidupkan nilai-nilai, pengalaman, dan pandangan masyarakat.
Epistemologi sastra adalah studi tentang bagaimana sastra berfungsi sebagai sumber pengetahuan.
Ini mengeksplorasi cara sastra mengungkapkan realitas sosial, budaya, dan emosional, serta bagaimana pembaca dapat memperoleh pemahaman tentang manusia dan masyarakat melalui representasi fiksi, simbol, dan narasi dalam karya sastra.
Sastra menjadi jendela yang memungkinkan kita melihat kompleksitas budaya, moral, dan etika yang berkembang dalam masyarakat dari perspektif yang unik.
Pendekatan ini diterapkan pada puisi esai Denny JA, yang bagi ReO merupakan genre yang menyatukan emosi, fakta sosial, dan kritik, sehingga melampaui sekadar karya fiksi.
Dalam puisi esai seperti Atas Nama Cinta (2012), tema diskriminasi tidak hanya disampaikan sebagai cerita tetapi dijalin dalam narasi personal yang emosional, memengaruhi pembaca untuk merasakan dan merenungi isu yang diangkat.
-000-
ReO menguraikan lima pendekatan utama yang memperkaya puisi esai sebagai medium refleksi sosial yang mendalam:
Pertama, Tragedi. Pendekatan ini menyoroti penderitaan dan konflik emosional tokoh, terutama dalam menghadapi ketidakadilan sosial.
Misalnya, puisi esai Atas Nama Cinta (2012) karya Denny JA menyentuh isu diskriminasi sosial melalui kisah cinta, menghadirkan tragedi yang memperlihatkan ketidakadilan dengan cara yang menyentuh hati.
Kedua, Epik. Pendekatan epik menghadirkan narasi heroik yang menunjukkan kekuatan karakter dalam menghadapi perubahan besar.
Sebagai contoh karya Denny JA yang lain: Sapu Tangan Fang Yin (2012) yang menggambarkan perjuangan individu di tengah reformasi Indonesia, menginspirasi pembaca tentang ketangguhan dan semangat perjuangan.
Ketiga, Historisisme. Pendekatan ini menempatkan puisi esai dalam konteks sejarah, memberi bobot pada puisi esai sebagai dokumentasi sosial dan pengingat sejarah.
Testamen di Bait Sejarah karya Rama Prabu (2014), misalnya, menggambarkan tokoh dan peristiwa sejarah Indonesia, menghubungkan masa lalu dengan konteks masa kini.
Keempat, Kritisisme. Dengan pendekatan ini, puisi esai mengkritik ketidakadilan, korupsi, dan ketimpangan sosial, sehingga berfungsi sebagai advokasi sosial yang membangkitkan kesadaran publik terhadap isu-isu mendesak.
Mereka yang Takluk di Hadapan Korupsi (2014), karya Satrio Arismunandar secara eksplisit mengkritik budaya korupsi di Indonesia, mendorong urgensi perubahan sosial.
Kelima, Diskursus. Pendekatan ini menekankan dialog antarwacana yang mengundang berbagai perspektif, menciptakan ruang untuk debat dan refleksi yang dalam.
Imaji Cinta Halima karya Novriantoni Kahar (2013), menggambarkan kompleksitas hubungan sosial dan personal di tengah konflik nilai, mendorong sikap toleransi di masyarakat majemuk.
ReO Fiksiwan juga menyoroti inovasi penggunaan catatan kaki dalam puisi esai. Bukan sekadar tambahan, catatan kaki memperkuat narasi dengan konteks historis dan data faktual, menjadikan puisi esai sebagai semacam dokumen historis.
Dalam Testamen di Bait Sejarah (2014), catatan kaki memberi dimensi tambahan, mengajak pembaca menyelami fakta yang memperkaya makna puisi.
Inovasi ini menunjukkan bagaimana sastra, melalui puisi esai, dapat berfungsi sebagai medium yang tidak hanya merefleksikan tetapi juga mengajarkan sejarah.
-000-
Epistemologi sastra menawarkan wawasan bahwa sastra adalah medium pengetahuan yang sah, setara dengan sejarah atau sosiologi.
Melalui perspektif ini, kita memahami bahwa setiap karya sastra memuat nilai-nilai dan pandangan yang dapat membuka pemahaman baru tentang hubungan individu dan masyarakatnya.
The Tale of Two Cities karya Dickens, sastra lebih dari sekadar cermin; ia adalah sumber pengetahuan tambahan yang menerangi sisi-sisi gelap sejarah seperti yang didokumentasikan buku sejarah konvensional.
Sastra membangkitkan empati, memantik pemahaman, dan mengarahkan kita untuk menilai kembali ketidakadilan yang sering tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan pendekatan epistemologi, sastra bukan hanya medium seni, tetapi juga sumber pengetahuan yang membimbing kita memahami kemanusiaan dengan kejujuran dan kedalaman yang jarang dijumpai dalam medium lainnya. (1)
-000-
Memang tetap perlu diberikan catatan. Jika sastra digunakan sebagai sumber pengetahuan, ada risiko bias yang perlu diperhatikan.
Bias dalam sastra muncul terutama karena sudut pandang, latar belakang, dan nilai-nilai pribadi pengarang yang bisa sangat memengaruhi bagaimana tema dan karakter dalam karya tersebut disajikan.
Pengalaman hidup, budaya, atau pandangan politik penulis seringkali tercermin dalam karyanya, yang dapat memengaruhi cara pembaca memahami suatu masalah.
Sebagai contoh, seorang penulis dari kelompok sosial tertentu mungkin menggambarkan realitas sosial dengan perspektif yang berbeda dari mereka yang berasal dari latar belakang lain.
Hal ini bisa menyebabkan perspektif yang disajikan menjadi terbatas, tidak mencakup pengalaman yang beragam, dan bahkan bisa memperkuat stereotip tertentu.
Selain itu, jika karya sastra digunakan untuk memahami sejarah, ada risiko bahwa dramatisasi atau penyederhanaan masalah dapat mengaburkan fakta-fakta penting.
Bias ini juga mempengaruhi penerimaan dan interpretasi pembaca. Pembaca yang memiliki latar belakang atau pandangan serupa mungkin lebih mudah setuju dengan sudut pandang pengarang, sedangkan pembaca yang berbeda bisa menafsirkan pesan secara berbeda atau menolak interpretasinya.
Oleh karena itu, menggunakan sastra sebagai satu-satunya sumber pengetahuan tidak sepenuhnya akurat dan obyektif. Epistemologi sastra lebih kuat jika dilengkapi dengan pendekatan yang lebih empiris dan multidisipliner, sehingga berbagai perspektif dapat dikombinasikan untuk membentuk pemahaman yang lebih seimbang.
Meskipun memiliki keterbatasan, sastra tetap menjadi sumber penting yang memperkaya pemahaman sejarah.
Buku Epistemologi Sastra, Pendekatan Kritik Baru Atas Teks-Teks Puisi Esai Denny JA karya ReO Fiksiwan menawarkan perspektif segar tentang peran sastra sebagai cerminan dan kritik sosial.
Dengan pendekatan yang mendalam, ReO mengungkap lapisan-lapisan makna dalam puisi esai, menjadikan karya sastra ini lebih dari sekadar narasi.
Sastra, khususnya puisi esai, menjadi dokumen sosial yang hidup. Inovasi dan analisis ReO mengajak pembaca untuk tidak hanya melihat sastra sebagai seni, tetapi juga sebagai medium pengetahuan yang berharga, membangun jembatan antara emosi, realitas sosial, dan kesadaran kritis.*
Jakarta, 13 Oktober 2024
CATATAN
Aneka buku yang membahas sastra sebagai medium belajar sejarah:
Welch, D., & White, K. (2001). Learning American History Through Literature. Common Sense Press.
Lowenthal, D. (1985). The Past is a Foreign Country. Cambridge University Press.
Wise, J., & Bauer, S. W. (2004). The Well-Trained Mind: A Guide to Classical Education at Home. W.W. Norton & Company.
Welch, D., & White, K. (2001). Learning American History Through Literature: An Open-and-Go Charlotte Mason History Program. Common Sense Press.