Aku dan Suami serta Dua Orang Anak Terkasih

Oleh: Maria Sakka’ Tandiayu’

Perjalanan hidup anak manusia berbeda adanya. Tak semua anak manusia memiliki perjalanan yang manis, dan tak semua pulang memiliki perjalanan yang pahit. Keduanya memiliki perbedaan yang tentunya akan dialami oleh setiap insan di dunia ini.

Perjalanan hidup yang dialami oleh dua orang asing untuk dipertemukan dan disatukan oleh Tuhan tidaklah mudah. Mengalami banyak tantangan, tetapi Tuhan mengendalikan semuanya.

Saya dan suami terlahir di sebuah dusun di Tanah Toraja. Kami dididik, dibesarkan, dan disayangi oleh kedua orang tua kami masing-masing. Masa kecil menurutku sangat indah dan membahagiakan, karena semua yang saya alami adalah hal yang begitu indah. Saya memiliki orang tua yang sangat menjunjung tinggi pendidikan, dan saya memiliki lima kakak laki-laki yang sangat sayang kepada saya sebagai bungsu dari enam bersaudara. Rasanya, kehidupan masa kecil adalah kehidupan yang begitu memberi arti kebahagiaan yang sempurna, yang tak pernah terbayangkan dalam benak saya bahwa akan mengalami perubahan suatu hari kelak.

Berbeda dengan suami saya yang juga dilahirkan di desa yang sama di Tanah Toraja. Ia adalah anak kedua dari tujuh bersaudara, dan dibesarkan oleh kedua orang tua yang menyayanginya. Suami saya tumbuh besar dalam perjuangan membantu kedua orang tua. Pekerjaan yang harus dilakoni sepulang sekolah adalah menggembalakan kerbau, yang ia lakukan selama bertahun-tahun. Sebagai anak lelaki tertua setelah kakaknya, otomatis dialah yang harus bertanggung jawab membantu orang tua bersama kakaknya. Perjalanan hidup yang memberinya banyak pelajaran dan mengantarnya kepada kehidupan yang lebih baik.

Tak pernah terbersit sedikitpun dalam pikirannya tentang Kota Palu, kota kaktus ini pada masa itu. Yang ia tahu setelah lulus SMA, ia akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi untuk mengubah kehidupan. Namun, Tuhan belum mengizinkan. Ia gagal mengikuti Sipenmaru di Universitas Hasanuddin dan saat itu ia kehilangan harapan. Orang tuanya menawarkan untuk melanjutkan pendidikan di universitas swasta, namun ia menolak karena memikirkan adik-adiknya yang juga sedang menempuh pendidikan. Ia berpikir bahwa kuliah memang bisa dipaksakan dengan biaya dari orang tua, tetapi ia tidak ingin bersikap egois.

Hari demi hari, suami menjalani kehidupannya di kampung halaman. Selain menggembalakan kerbau, ia juga sibuk bercocok tanam di kebun. Yang menarik saat itu adalah, di sela-sela panasnya terik matahari, ia duduk di bawah pohon sambil mengusap keringat, membayangkan seperti apa masa depannya. Apakah ia akan tetap menjadi petani dan penggembala kerbau selamanya? Sementara teman-teman sebayanya hampir semua melanjutkan pendidikan. Air matanya jatuh di pelupuk matanya, mengenang masa kecil dan cita-cita yang dahulu, termasuk keinginannya untuk melihat pesawat lebih dekat. Semua terasa sirna.

Beberapa bulan berlalu dan ia masih menjalani rutinitas yang sama. Hingga suatu hari, ia memutuskan untuk merantau ke Kota Palu, kota yang akan mengubah hidupnya. Ia meminta izin kepada orang tua untuk merantau, dengan harapan suatu hari kehidupannya akan berubah.

Tuhan menolong dan menyertainya. Ia tinggal di rumah paman, adik dari mertuanya sekarang. Di sanalah ia merasakan hidup jauh dari orang tua. Ia menjalani hari-harinya dengan bekerja apa saja: menjadi kuli, menggali got, dan sebagainya. Namun, tak ada penyesalan, tak ada gengsi. Ia bekerja dengan harapan bisa mengubah hidupnya.

Beberapa bulan di Kota Palu, dengan kegigihan, kesabaran, kejujuran, dan semangat pantang menyerah, ia dilirik oleh iparnya, almarhum Bapak Djarot Subiantoro. Mungkin karena iba melihat perjuangannya, beliau menawarkan pekerjaan di Bandara Mutiara Palu.

Tidak lama kemudian, suami mulai bekerja sebagai tenaga honor pada tahun 1990, mengerjakan apa pun yang bisa ia kerjakan. Bersyukur, saat itu di bandara masih jarang yang mahir menggunakan komputer, sedangkan suami saya sudah pernah mengikuti kursus komputer di Makassar. Berkat keuletan, kesetiaan, kerja keras, dan disiplin tanpa pilih-pilih pekerjaan, akhirnya pada tahun 1997 suami saya diangkat menjadi PNS golongan 2A.

Perjalanan hidup yang tidak mudah, namun ketekunan, kejujuran, dan kedisiplinan membawanya mendapatkan pekerjaan tetap sebagai pegawai Bandara Mutiara Palu. Banyak tantangan yang ia hadapi, namun Tuhan terus menyertainya menjalani tugas dan tanggung jawab yang dianugerahkan kepadanya.

Tahun 1996, ada kisah di balik kulit udang, kisah cinta kami. Saat itu saya harus dirawat di Rumah Sakit Bala Keselamatan Palu karena keracunan kulit udang. Saya dirawat selama seminggu dan otomatis banyak tugas sekolah yang tertinggal. Setelah kembali ke sekolah, saya harus mengejar semua pelajaran. Sepulang sekolah, saya sering mengerjakan tugas di rumah teman dekat saya di Jalan Towua.

Di sana, dari arah depan rumah, saya berpapasan pandang dengan seorang pria. Dalam benak saya, “Om-nya teman saya tampan juga,” sambil tersenyum geli. Tidak terpikir sedikitpun bahwa pria itu masih bujang. Saya hanya mengira ia adalah kerabat atau suami seseorang. Namun, ternyata ia berdiri di depan pintu ruang tamu. Entah kenapa, jantung saya tiba-tiba berdebar kencang.

Aneh, tapi nyata. Saya pun tidak paham dengan debaran jantung itu. Dalam hati saya berkata, “Ya Tuhan, ampunilah saya. Jangan biarkan perasaan ini berujung dosa. Jangan sampai saya mencintai suami orang.” Padahal, saya belum tahu siapa dia sebenarnya.

Bersambung…

Editor: Paulus Laratmase