Elza Peldi Taher Dok. Satu Pena

Tiga mantan presiden Megawati, SBY dan Jokowi, yang sebentar lagi akan jadi mantan sibuk membangun tangga untuk berkuasa setelah turun dari kekuasaan. Mereka membangun kerajaan melalui partai dan mepersiapkan anak dan keluarga untuk melanjutkan kekuasaannya. Mega, SBY dan Jokowi sudah berkuasa dan mengenyam kekuasaan puluhan tapi tak rela turun dari kekuasaan dan menjadi rakyat biasa.

Berbeda dengan mereka, Habibie justru menempuh jalan sebaliknya. Setelah turun dari jabatan presiden, Habibie menjauh dari dunia politik. Keputusannya untuk kembali menjadi “rakyat biasa” menegaskan bahwa kekuasaan bukanlah tujuan akhir dari kehidupan seseorang. Habibie memilih untuk fokus pada, seperti merawat dan mendampingi istrinya yang sakit, daripada terjebak dalam dinamika politik yang seringkali memakan waktu dan energi.

Tindakan ini mencerminkan kedalaman karakter dan kebijaksanaan yang jarang terlihat di dunia politik kita saat ini, di mana kepentingan pribadi dan kekuasaan sering mendominasi. Habibie menunjukkan bahwa martabat seorang manusia bukanlah ditentukan oleh posisi atau kekuasaan yang dipegang, tetapi oleh cara dia menghargai dan merawat orang-orang yang dicintainya, serta kontribusi positifnya bagi masyarakat.

Dengan mengakui bahwa era kepemimpinannya telah berakhir, Habibie menunjukkan sikap yang penuh dengan rasa hormat terhadap institusi demokrasi dan pengakuan bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dijalankan sesuai dengan waktu dan batasannya.

Sikap Habibie yang menjauh dari politik setelah masa jabatannya selesai bukanlah tanda kelemahan, tetapi sebaliknya, menunjukkan kedalaman pemahaman akan esensi dari kekuasaan dan tanggung jawab yang dimilikinya. Hal ini merupakan contoh yang penting bagi para pemimpin masa depan, bahwa kekuasaan adalah alat untuk melayani, bukan untuk dimanfaatkan secara pribadi atau terus-menerus dipertahankan.

Tiga pengganti HPabibie berikutnya justru menempuh sikap yang berbeda. Megawati, SBY, dan Jokowi memilih untuk tetap terlibat dalam politik setelah masa jabatan mereka sebagai presiden, dengan menjadikan partai sebagai partai keluarga dan mempersiapkan putra mahkota anak mereka sendiri

Megawati begitu turun dari kekuasaaan mempersiapkan tangga politik bagi diri dan keluarganya untuk tetap berkuasa. PDIP dijadikan partai keluarga dan Puan dipersiapkan sebagai pengganti. Tapi Puan sampai saat ini tak laku untuk dijadikan presiden. Dua kali pilpres terakhir Puan urung maju karena popularitasnya anjlok. Bahkan kursi wpares pun ia tak layak menurut berbagai survey.

SBY juga menjadikan Demokrat sebagai partai keluarga dan menjadikan anaknya sebagai ketua. Tahun ini SBY mendapatkan apa yang diinginkannya, setelah gagal menjadi gubernur tahun 2017 lalu. AHY dipilih jadi menteri oleh Jokowi, jabatannya yang telah diincarnya sejak lima tahun terakhir. Untuk smentara SBY nampaknya puas dengan jabatan menteri bagi anak kesayangannya

Jokowi selangkah lebih jauh. Hanya satu periode berkuasa ia memasukkan anak, menantu, ipar masuk dalam dunia bisnis dan politik. Jokowi seperti sedang mempersiapkan mereka untuk suatu saat menjadi penggantinya. Tindakan Jokowi dalam memasukkan anggota keluarganya ke dalam dunia bisnis dan politik mendapat kritik. Kritik makin tajam Jokowi membangun nepotisme apa lagi anaknya belum dianggap mumpuni untuk jabatan sekaliber Cawapres. Yang dipersoalkan bukan soal muda, tapi kemampuannya.
Praktik nepotisme dalam politik bisa menjadi ancaman serius bagi demokrasi dan tata kelola yang baik (good governance). Nepotisme merujuk pada praktik memberikan keuntungan atau posisi kepada anggota keluarga atau rekan dekat tanpa mempertimbangkan kualifikasi atau kemampuan mereka, yang pada gilirannya dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan ketidakadilan dalam sistem politik dan administrasi.
Dalam konteks demokrasi, penting bagi pemimpin dan partai politik untuk memastikan bahwa proses seleksi dan penempatan dalam posisi penting didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan meritokrasi, bukan pada hubungan keluarga atau kepentingan pribadi. Nepotisme dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi politik dan membuat masyarakat merasa bahwa sistem tersebut tidak adil dan tidak transparan. Inilah yang diabaikan Jokowi yang konn masih amat popular itu

Memerangi Nepotisme

Untuk membangun masyarakat yang inklusif dan adil, penting bagi para pemimpin politik dan civel society untuk memerangi praktik nepotisme dan mengedepankan prinsip meritokrasi dalam pengambilan keputusan. Praktik nepotisme yang kini telah menjadi bagian dari budaya politik kita merupakan tantangan besar dalam jangka panjang. Praktik seperti ini menjadi sulit untuk dihilangkan sepenuhnya karena telah terakar dalam struktur politik dan sosial.
Namun, bukan berarti tidak mungkin untuk mengubahnya. Proses perubahan memerlukan komitmen yang kuat dari civil society memperbaiki tata kelola yang baik dan memperkuat demokrasi.

Hal ini mendesak setelah KPK, anak kandung reformasi dimatikan oleh Jokowi di periode kedua pemerintahannya. Peran masyarakat sipil, kelompok pro-demokrasi, dan organisasi anti-korupsi sangat penting dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan tata kelola yang baik di Indonesia. Masyarakat sipil memiliki peran yang krusial dalam memperkuat akuntabilitas pemerintah, memantau pelaksanaan kebijakan publik, dan mengawasi proses politik agar berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum.

Kelompok pro-demokrasi dan anti-korupsi berperan sebagai wadah bagi warga negara yang ingin mengadvokasi perubahan positif dalam sistem politik dan pemerintahan. Mereka bisa melakukan kampanye pendidikan, melakukan advokasi kebijakan, serta memobilisasi masyarakat untuk mengambil peran aktif dalam proses demokrasi.
Pentingnya partisipasi masyarakat sipil dalam membangun Indonesia yang lebih adil, terbuka, dan transparan tidak bisa diabaikan. Dengan mengekspresikan aspirasi mereka secara damai dan konstitusional, masyarakat sipil dapat menjadi kekuatan yang kuat dalam memperjuangkan perubahan menuju tata kelola yang lebih baik dan demokratis.

Tauladan Habibie

Dalam konteks inilah apa yang dilakukan oleh Habibie patut dijadikan panutan dalam konteks demokrasi dan kepemimpinan yang bertanggung jawab. Sikapnya yang demokratis, kesediaannya untuk mematuhi aturan konstitusi, dan kemauannya untuk mundur dari kekuasaan setelah masa jabatan presidennya berakhir adalah contoh nyata dari prinsip-prinsip demokrasi dan pelayanan publik yang baik.
Habibie menunjukkan bahwa kekuasaan politik seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Selain itu, Habibie juga menunjukkan pentingnya sikap rendah hati dan keterbukaan dalam kepemimpinan. Setelah mundur dari jabatan presiden, dia kembali menjadi warga biasa. Dari Habibie kita bisa mengambil inspirasi untuk memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, transparansi, dan keadilan dalam tata kelola pemerintahan, serta memahami bahwa kekuasaan politik hanya sementara dan harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan integritas. Sebab berpolitik , seperti yang sering dikatakan oleh Habibie adalah “ pelayanan, bukan mencari pangkat atau kekuasaan semata.”

Pondok Cabe Udik 31 Mei 2024

Elza Peldi Taher

Tulisan ini dibuat untuk memperingati hari lahir Pancasila 1 Juni..