Oleh Gunawan Trihantoro
(Ketua Satupena Kabupaten Blora dan Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah)
–
Menulis kreatif bukan sekadar merangkai kalimat indah, melainkan upaya memahami diri dan menyapa semesta melalui bahasa. Ia menjadi medium di mana pikiran, rasa, dan imajinasi saling bertaut dalam ruang kebebasan berpikir.
Di tengah rutinitas yang serba cepat, menulis kreatif adalah jeda yang menyembuhkan. Kita diajak merenung, menyusun pengalaman menjadi cerita, dan melihat dunia dari lensa yang lebih luas dan dalam.
Dalam menulis kreatif, kita belajar bahwa tidak ada satu pun pengalaman yang sia-sia. Bahkan luka, kehilangan, atau kebingungan bisa menjadi bahan bakar narasi yang menggugah dan menyentuh.
Lebih dari sekadar keterampilan bahasa, menulis kreatif adalah seni berpikir. Ia menuntut keberanian untuk berbeda, kepekaan untuk mendengar yang tak terucap, dan ketekunan untuk terus menulis di tengah ketidakpastian.
Tidak ada formula tunggal dalam menulis kreatif. Setiap penulis menemukan jalannya sendiri, melalui buku yang dibaca, percakapan yang singkat, atau perasaan yang tak bisa dijelaskan tapi mendesak untuk dituliskan.
Menulis kreatif juga menjadi cara untuk membangun kepekaan sosial. Cerita-cerita yang kita tulis dapat membuka ruang empati, mempertemukan manusia dalam pengalaman yang mungkin berbeda, tapi menyentuh sisi-sisi kemanusiaan yang sama.
Di ruang pendidikan, menulis kreatif sangat relevan. Ia bukan hanya soal membentuk gaya bahasa, tetapi menumbuhkan keberanian berpikir kritis dan reflektif, dua hal yang penting di era disrupsi ini.
Sayangnya, kurikulum pendidikan kita masih cenderung menekankan struktur dan keseragaman. Menulis menjadi beban tugas, bukan ruang eksplorasi atau ekspresi. Padahal dari kreativitas tulisan, banyak potensi siswa yang bisa ditumbuhkan.
Kemampuan menulis kreatif tidak hanya berguna bagi calon sastrawan. Ia berguna bagi siapa saja, guru, dosen, ilmuwan, pegiat sosial, atau pebisnis. Karena di balik narasi yang kuat, ada visi dan pesan yang menggugah.
Di era digital, semua orang bisa menulis dan menerbitkan tulisannya sendiri. Namun justru di sinilah tantangannya, apakah tulisan kita sekadar hadir, atau hadir dengan daya pengaruh yang bermakna?
Menulis kreatif melatih kita menyusun pesan yang jernih, menyentuh, dan tidak menggurui. Ini adalah seni menyampaikan ide dengan rendah hati, tapi tidak kehilangan kekuatan argumentasi.
Dalam proses menulis, kita dipaksa berhadapan dengan kekacauan pikiran kita sendiri. Kita mengurai benang-benang yang kusut menjadi utuh, menjadi paragraf yang hidup dan bernyawa.
Kerap kali, menulis adalah bentuk doa yang paling jujur. Sebab dalam tulisan, kita menaruh harapan, mengungkap ketakutan, dan membagikan cinta yang tak sempat disampaikan dalam percakapan biasa.
Tulisan yang baik tak selalu indah secara gaya, tapi jujur secara makna. Ia menyentuh karena lahir dari kejujuran batin dan pengalaman yang diproses dengan hati.
Dalam menulis kreatif, kita belajar menjadi manusia yang lebih dalam. Kita tak hanya merayakan akal, tapi juga mendengarkan suara hati dan membiarkannya bicara melalui kata-kata.
Menulis juga mengajarkan kesabaran. Sebuah cerita tidak selalu selesai dalam sekali duduk. Ia tumbuh bersama waktu, bersama kegelisahan yang terus mencari bentuk dan bahasa.
Banyak penulis hebat memulai dari jurnal pribadi, catatan kecil, atau puisi-puisi sederhana. Mereka menulis bukan untuk menjadi terkenal, tapi karena menulis adalah kebutuhan jiwa.
Di titik ini, kita tahu: menulis kreatif bukan hanya alat, melainkan jalan. Jalan untuk mengenali diri, menjangkau sesama, dan meninggalkan jejak pemikiran yang bisa dikenang.
Maka siapa pun bisa menulis kreatif. Asalkan mau belajar, jujur pada pengalaman, dan tidak takut untuk salah atau terlihat bodoh.
Sebab menulis bukan tentang sempurna, tapi tentang keberanian untuk memulai. (*)