Oleh: Alex Runggeary*)

Suatu ketika nanti keterwakilan Orang Papua di panggung politik tingkat nasional maupun daerah akan hilang, mau ataupun tidak, kalau kita sebagai bangsa Indonesia terus mempertahankan – model demokrasi – hari ini. DR. Manuel Kaisiepo, mantan wartawan Kompas dan peneliti serta penulis LP3S memberikan solusi lewat disertasinya di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia

Selama hampir setahun sejak Oktober 2023, saya mencari jawaban atas pertanyaan yang terus datang dan pergi dalam pikiran saya – mengapa demokrasi Indonesia terpuruk sedemikian buruk. Apa penyebabnya?

Secara instiktif dan subyektif, saya menyalahkan Presiden. Bisa jadi saya mengikuti arus utama yang berseberangan dengan Jokowi. Terutama atas Kebijaksanaan yang kasat mata menghancurkan demokrasi kita yang telah dengan susah payah kita bangun setelah era Orde Baru. Banyak kajian dari perguruan tinggi membenarkan ini, tetapi tetap saja sepertinya saya belum puas menerima penjelasan itu.

Ternyata kemarin, tepatnya Sabtu 3 Agustus 2024, saya mendapatkan pencerahan yang luar biasa dari wawancara bung Manuel Kaisiepo menjelaskan seputar isi disertasi doktoralnya di Universitas Kristen Indonesia. Seperti kita ketahui beliau adalah seorang mantan wartawan Kompas yang terbiasa meliput topik-topik seputar demokrasi. Ia juga pernah bekerja di LP3S. Dan mendapatkan kesempatan berinteraksi dengan orang-orang terkemuka Indonesia, termasuk Gus Dur, yang pada kemudian hari mengangkatnya menjadi menteri.

Sebagai wartawan harian terkemuka itu ia memiliki pengalaman empiris lewat berbagai liputan seputar demokrasi Indonesia. Ini menjadi modal dasar menelusuri lebih lanjut di perguruan tinggi untuk melengkapi dengan berbagai teori yang mendasari pemahamannya tentang – Demokrasi Indonesia – yang ingin dibagikan kepada kita semua untuk menjawab, mengapa pada hari ini kita berada pada titik demokrasi ini, terjebak.

Banyak pihak dari perguruan tinggi memberikan berbagai pemikiran untuk mencari solusi terhadap keterpurukan demokrasi kita hari ini. Banyak pula berargumen kebebasan kita menyampaikan pendapat masih dijamin. Maksudnya tidak ditangkap aparat. Walaupun pada kasus lain ada korban penangkapan.

Banyak pula pihak yang menginginkan rezim ini diganti. Tetapi harus diingat, kita juga setuju untuk melakukan Pemilihan Umum yang Jurdil. Apapun itu, kita harus menerima hasil Pemilu ini.

Hanya dengan kinerja pemerintah yang buruk seperti sekarang ini yaitu merong-rong demokrasi seharusnya ada mekanisme untuk meminta pertanggung-jawaban presiden. Ternyata mekanisme itu dihilangkan dengan menghapus Lembaga Tertinggi Negara sebagai manifestasi – kedaulatan rakyat – yaitu MPR dihilangkan pada amandemen UUD yang lalu.

Faktor pendukung lain untuk mengganti pemerintahan yang ada, itu tidak terpenuhi, yaitu terpuruknya ekonomi dunia. Artinya tidak akan ada faktor kebetulan untuk mengganti sistem pemerintahan yang sah saat ini. Walaupun kita merasakan keganjilan yang diciptakannya

Untuk itu maka harus dilakukan secara sadar dan sistematis mengikuti prosedur yang ada. Sayangnya hari kekuatan penyeimbang kekuasaan seperti DPR, MK, MA dan Partai tak lagi berfungsi sebagaimana yang seharusnya. Semuanya terhisap ke dalam perhimpunan koalisi besar bersama kekuasaan yaitu Presiden.

Walau bagaimanapun sebagai bangsa kita tidak boleh menyerah. Apalagi terhadap pemahaman apalagi praktek demokrasi yang keliru. Kita perlu menyatukan semangat dan harapan untuk Persatuan Bangsa ke depan. Untuk itu kita perlu mempertimbangkan yang pada gilirannya mengikuti anjuran pikiran- pikiran seperti yang dikemukakan Manuel Kaisiepo.

Ketika kita melakukan amandemen UUD, kita lalu mengadopsi yang namanya – demokrasi liberal – tanpa mempertimbangkan dengan baik. Tidak berarti demokrasi liberal itu jelek. Tetapi kita harus benar-benar selektif. Ingat, demokrasi liberal itu lebih cocok untuk dunia barat, karena mereka cenderung homogen karena datang dari latar-belakang yang hampir sama secara socio-cultural dan mayoritas penduduknya memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik

Sedangkan kita memiliki masyarakat yang heterogen dengan berbagai latar suku dan kebanyakan penduduk kita hanya berpendidikan Sekolah Dasar. Ini pula yang mungkin saja mendasari jalan pikiran para Pendiri Bangsa ini telah dengan cermat menyusun UUD-45, dan Pancasila sebagai dasar haluan negara. Menetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang anggotanya sebagian karena pemilihan, tetapi sebagian lain ditunjuk sebagai – wakil golongan.

Lalu apa – Nila Setitik – itu yang telah merusak Susu Sebelanga sebagai bangsa. Ketika kita mengadopsi pandangan bahwa hanya mereka yang melewati pemilihan atau yang disebut – by Election lah yang patut kita anut dan perlakuan sebagai wakil yang absah. MPR kita ditiadakan karena prinsip ini. Sekaligus menghilangkan peluang keterwakilan golongan yang berdasarkan azas – penunjukan.

Secara implisit kita juga melemahkan – Nilai Pancasila – butir 4: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaran perwakilan”

Menurut bung Manuel, “Harus ada kemauan bersama untuk melakukan -Addendum UUD -”

Dengan jalan ini kita bisa memperbaiki keterpurukan demokrasi saat ini di mana mengembalikan fungsi check and balances. MPR sebagai badan tertinggi negara yang di dalamnya ada – utusan golongan. Selain DPR dapat melakukan fungsi pengawasan terhadap kebijakan pemerintah. Diharapkan sekaligus menguatkan Partai Politik yang dibiayai oleh APBN untuk menyetop fungsi partai sebagai kepanjangan tangan para oligarki yang menurut prof. Didik dari IPB, 40 orang terkaya Indonesia itu. Mereka mengamankan bisnis mereka yang tidak fair lewat biaya politik. Pertarungan pejabat daerah sampai Presiden bisa lebih fair karena tidak melibatkan modal orang kaya. Tetapi berdasarkan azas demokratis – demokrasi Indonesia – yang lebih fair karena mengadopsi unsur sosial budaya setempat – musyawarah untuk mufakat. Saya percaya Susu Sebelanga itu tak akan lagi rusak
——————–
*) Anggota Satupena