Oleh: Paulus Laratmase
Tidak semua manusia mampu menerima pengalaman keburukan baik yang dialami sendiri atau dialami orang lain yang oleh filsuf K. Jaspers menyebutnya sebagai “situasi batas”. Jaspers mencontohkan situasi batas sebagai penderitaan, pertarungan terhadap kesalahan bahkan maut didefinisikan sebagi situasi batas yang suka atau tidak suka dialami manusia.
Adalah Pastor Aloysius Lerebulan, MSC, seorang imam dari tarekat Hati Kudus Yesus yang lahir di Ilngei, sebuah desa kecil di Kabupaten Kepulauan Tanimbar pada tanggal 19 Juni 1950, seorang anak laki-laki dari 6 bersaudara memilih untuk seumur hidupnya menjadi seorang pastor.
Panggilan menjadi imam tumbuh dalam diri Pater Alo sejak masih di bangku Sekolah Dasar. Beliau tertarik menjadi seorang MSC melalui kesaksian hidup, kehadiran dan pelayanan para MSC. Maka setamat Sekolah Dasar, beliau memutuskan untuk masuk seminari dan menempuh pendidikan menengah pertama dan atas di Seminari St. Yudas Thadeus Langgur.
Setelah menyelesaikan pendidikan dan pembinaan calon imam, Pater Alo ditahbiskan imam dan menerima beberapa penugasan dari Tarekat dan Keuskupan dalam karya kategorial dan teritorial/parokial di wilayah keuskupan Amboina. Setelahnya, beliau diutus untuk menjadi formatur di Skolatiskat MSC Pineleng dan sekaligus menjadi tenaga pengajar (dosen) di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng.
Lulusan Licentiat dari Universitas Alfonsiana, Roma ini, selain mengajar teologi moral dengan spesialisasi Moral Baptis dan Moral Keluarga, juga mengajar Pendidikan Pancasila, Ajaran Sosial Gereja, dan pernah mengampu pelajaran Liturgi dan Homiletika, sehingga dari bahan kuliahnya beliau menghasilkan beberapa buku tentang homiletika. Pater Alo dikenal cukup aktif dalam menulis buku. Beberapa bukunya telah diterbikan oleh Percetakan dan Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Oleh para mahasiswa, beliau seringkali disapa dengan sebutan akrab “Papi Alo”. Pater Alo sendiri tidak merasa risih dengan sapaan itu, karena memang begitulah ia berelasi dengan mahasiswa, sebagai bapa dan pendamping para mahasiswa. Kadang-kadang suaranya tegas bila menuntut sesuatu dari mereka, tetapi semuanya itu disertai dengan kelembutan hati yang kuat.
Pater Alo melakukan segala hal dengan sukacita. Sukacita itu menular kepada mahasiswa dan semua orang yang dilayaninya. Kewibawaannya dan keakrabannya amat dirasakan. Dia juga optimis dalam segala hal serta melaksanakan semuanya dengan rasa bahagia. Kepribadiannya yang riang gembira tergambar juga dengan sangat jelas ketika beliau dipercayakan tugas sebagai moderator Karismatik Keuskupan Manado dalam kurun waktu yang cukup lama. Pater Alo juga aktif terlibat dalam gerakan “eksorsisme”, melalui katekese dan penanganan langsung mereka yang mengalami gangguan fisik maupun psikis.
Pater Alo memasuki usia pensiun pada tahun 2020 dan memutuskan untuk tinggal di Biara MSC Pal 3. Meskipun sudah pensiun, ia tetap siap membantu kapan pun dibutuhkan, dan masih aktif terlibat dalam pelayanan umat. Salah satu bentuk pelayanan baru yang dibuat Pater Alo di masa purnabakti adalah menjadi “youtuber”. Melalui media komunikasi ini, beliau membagikan pengetahuan dan pengajaran iman, termasuk tentang “eksorsisme”.
Pada hari Minggu Prapaskan II, Pater Alo mendapat kesempatan untuk memimpin perayaan Ekaristi di gereja paroki Ratu Rosari Tuminting – Manado. Sedang misa berjalan, beliau merasa tidak nyaman dan oleh karena itu segera dibawa ke rumah sakit setelah perayaan Ekaristi. Usaha medis pun dilakukan demi pemulihan pater Alo, namun Tuhan berkehendak lain. Sebab pada pukul 23.30 Wita, Minggu 25 Februari 2023, Pater Alo menghembuskan nafas terakhir di RS. Siloam Manado dalam usia 74 tahun; 50 tahun sebagai MSC dan 45 tahun sebagai imam.
Sebagai dosen teologi moral, almarhum pater Alo semasa hidupnya baik di kampus Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng bahkan semasa purna tugasnya, ia aktif sebagai youtuber mewartakan karya keselamatan Allah melalui pengetahuan filsafat moral yang ditekuninya.
Melalui pengajarannya, ia menekankan prinsip-prinsip pandangan moral bahwa manusia tidak tunduk begitu saja terhadap norma atau peraturan moral yang berlaku karena subuah tindakan atau keputusan secara moral yang menuntut pertanggunjawaban (dilarang atau diwajibkan), di mana tindakan itu tidak didasarkan pada tujuan sebagai penentu kualitas moralitas seseorang.
Minggu 25 Februari 2024, situasi “batas” itu dialami oleh Pastor Alo. Sosok yang penuh kenangan bagi para mahasiswanya, bagi seluruh Sivitas Akademika STFSP, bagi siapa saja yang pernah berjumpa dengan almarhum dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Confrater MSC mengumandangkan lagu “Ametur Ubique Terrarum Cor Iesu Sacratissimum In Aeternum” mengenang kebersamaan denganmu Pastor Alo, dan lagu ini juga dinyanyikan mengiringmu ke Kakaskasen, Tomohon, tempat istirahat kekalmu.
Nietzsche pernah berkata, “Amor Fati” sebuah sikap mencitai keburukan, kematian sebagai nasib (fatum). Namun sikap kekristenan adalah sikap eksitensial yang memampukan kita melihat bahwa kehidupan di dunia adalah sementara, di mana kelak kehidupan abadi sebuah makna eskatologis bagi kehidupan setelah kematian bersama Sang Pencipta. Peristiwa kematian Pastor Alo adalah persitiwa eksitensial yang sudah tentu dialami oleh semua orang pada jalannya sendiri dalam pengharapan akan keabadian hidup kekekalan itu.
Selamat Jalan Menuju Rumah Kediaman Abadi Pastor Alo…
In paradisum deducant te Angeli, in tuo adventu suscipiant te martyres, et perducant te in civitatem sanctam Ierusalem. Chorus angelorum te suscipiat, et cum Lazaro quondam paupere æternam habeas requiem.