Oleh: Elza Peldi Taher
–
Di media sosial sedang ramai dibicarakan tentang pentingnya memiliki pemimpin yang sederhana.
Mark Rutte, Setelah 14 tahun menjadi Perdana Menteri Belanda, meninggalkan Kantor Perdana Menteri dengan penuh kegembiraan. Ia pulang dengan mengendarai sepeda yang biasa dipakainya bolak balik ke kantor, begitu selesai upacara serah-terima kekuasaan. Tak ada pelepasan sambut apapun, sesuai permintaannya. Rutte tak mau berpidato dan tak mau pula diberi kado. Rutte menilai kinerjanya biasa saja. Namun demikian senyum kemenangan terpancar di wajahnya ketika meninggalkan kantor diiringi tepuk tangan hangat dari para pegawai.
Rutte dikabarkan tiap hari naik sepeda ke tempat kerja atau menemui raja dan pemimpin asing. Kadang hanya mengenakan celana jins dan kemeja kasual sambil makan apel. Dia tinggal di apartemen yang sederhana. Rutte sering datang ke kafe sendirian tanpa staf, tanpa pengawal untuk sekedar minum kopi dan makan pai apel. Rutte pernah menumpahkan kopi di kantornya dan ia bersikeras mengepelnya sendiri.
Sebelumnya juga ramai diberikan seorang perempuan Swedia terlihat duduk menunggu kereta pulang setelah bekerja. Dia baru saja membeli burger untuk makan malamnya. Perempuan itu bernama Elva Johanson. Jabatannya Mentri Tenaga Kerja Swedia. Elva dikabarkan tidak memiliki mobil, tidak memiliki pasukan pengawal, bahkan tidak mempunyai pembantu! Swedia adalah negara kaya dimana para pejabatnya dikenal hati hati menggunakan dana rakyat.
Pemimpin dunia lain yang terkenal karena kesederhanaannya hidupnya adalah Joce Mujica yang dikenal sebagai presiden termiskin dunia dari Uruguay. Ia memilih tinggal di rumahnya yang sederhana. Pekarangan rumahnya ditumbuhi ilalang. Kata Mujica “ Saya disebut sebagai presiden termiskin di dunia, tetapi saya tidak merasa miskin. Orang miskin adalah mereka bekerja hanya untuk mempertahankan gaya hidup yang mahal dan selalu menginginkan lebih banyak”
###
Di Eropa seperti negara kaya raya Swedia para pemimpin pulang naik transportasi publik itu biasa saja. Para menteri dan anggota parlemen bepergian dengan bus dan kereta, sama seperti warga yang mereka wakili. Tak ada mobil dinas atau supir pribadi. Ketika turun dari jabatan, juga biasa saja. Tidak ada upaya cawe cawe untuk memperpanjangan kekuasaan. Kehilangan jabatan bukan sesuatu yang menyakitkan. Jabatan bukanlah hal yang keramat yang harus dipertahankan, apa lagi dengan segala acara.
Beda memang dengan di negeri ini. Disini jika ada pejabat naik transportasi publik, apa lagi tanpa pengawalan, akan jadi berita besar. Disini para pemimpin pulang pergi terbiasa dikawal dengan banyak petugas, memakai mobil mewah dengan sirine yang memaksa siapapun untuk minggir di jalan raya. Mereka terbiasa dimanjakan dengan fasilitas yang didapat dari negara.
Menarik untuk dikaji mengapa pejabat di negeri ini bangga hidup mewah. Padahal, Indonesia adalah salah satu negara di mana para pemimpinnya dulu hidup sederhana.
Beberapa tokoh besar Indonesia seperti Mohammad Hatta, Jenderal Hoegeng, dan Jenderal Soekanto, Kapolri pertama Indonesia, terkenal dengan gaya hidup sederhana dan jauh dari kesan hedonisme. Mereka dihormati karena menjadi teladan dalam menjalani kehidupan yang sederhana. Bahkan Bung Hatta, meskipun pernah mengalami kesulitan dalam kehidupan sehari-hari seperti membayar tagihan listrik, tetap mempertahankan sikap rendah hati dan tidak pernah mengeluh.
Ketika Bung Hatta mantu, beliau mengadakan walimah perkawinan puteri pertama beliau. Karena yang diundang cukup banyak, Lalu ada yang berinisiatif meminta polisi agar jalan Diponegoro, di depan rumah Bung Hatta ditutup sementara acara walimah berlangsung. Ketika Bung Hatta tahu jalan di depan rumah beliau ditutup, beliau serta-merta menyuruh agar tanda larangan melalui jalan Diponegoro di depan rumah beliau disingkirkan. Bung Hatta menegaskan bahwa walimah adalah acara keluarga dan tidak pantas lalu mengorbankan kepentingan rakyat banyak
Hasyim Ning dalam biografinya menulis bahwa suatu ketika Bung Hatta yang saat itu memangku jabatan Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat rindu dengan ibunya. Beliau meminta Hasyim Ning menjemput ibunya datang ke Jakarta. Hasyim Ning menyarankan pada Bung Hatta untuk mengirim mobil dinasnya ke Bandara Kemayoran menjemput ibu Bung Hatta. Kontan Bung Hatta kontan menolak saran Hasyim Ning dan mengatakan bahwa mobil yang beliau pergunakan bukan mobil pribadi Bung Hatta tapi mobil milik negara.
Prof. George Kahin dalam sumbangan tulisannya untuk buku 70 tahun Natsir, tersentuh ketika ia diterima Natsir dengan memakai baju yang ditambal. Sebuah pengalaman yang menurut Prof. Kahin tak pernah ia dapatkan saat mewawancarai pemimpin sebuah bangsa.
HOS Tjokroaminoto kalau berpergian selalu naik kereta api kelas tiga, membawa bangku lipat. Kalau tak dapat tempat duduk, beliau bisa duduk dibangku yang beliau bawa. Tjokroaaminoto tidak mau mengganggu kenyamanan orang lain yang pasti dengan senang hati akan memberikan tempat duduknya untuk orang terkenal seperti dirinya
H. Agus Salim selalu naik kereta api kelas tiga kalau bepergian. Suatu ketika beliau ditanya oleh seseorang yang mengenalnya, mengapa sebagai seorang pemimpin sebuah bangsa yang besar beliau mau berjejal-jejal naik kereta api kelas tiga. Dengan enteng H. Agus Salim menjawab: “Karena tidak ada kereta api kelas empat”.
Prof Schermerhorn, Perdana Menteri Belanda yang memimpin delegasi Belanda dalam Perundingan Linggarjati menulis dalam catatan hariannya tentang Agus Salim “Orang tua yang sangat pandai ini, seorang genius dalam bidang bahasa, mampu berbicara dan menulis dengan sempurna dalam paling kurang sembilan bahasa, mempunyai hanya satu kelemahan, yaitu selamanya hidup menderita. Hidupnya terlalu sederhana”
#####
Meskipun langka, masih ada pemimpin sederhana yang dapat dijadikan tauladan di negeri ini.
Belum lama berselang, Ketua Umum Muhammadiyah, Haedar Nashir, tertangkap kamera sedang duduk sendiri di sebuah stasiun dengan membawa banyak barang belanjaan yang baru saja dibelinya. Tanpa didampingi siapapun, padahal barang bawaannya cukup banyak.
Buya Syafii Ma’arif juga sering tertangkap kamera dalam perjalanan kereta api Jakarta Yogyakarta, duduk dengan tenang sambil memegang tongkat. Di Yogyakarta, Buya sering menggunakan sepeda untuk menjelajahi berbagai tempat.
Suatu kali, Buya Syafii datang ke rumah sakit Muhammadiyah untuk berobat. Buya mendaftar seperti pasien lainnya. Pegawai rumah sakit yang melihatnya kemudian mendatangi Buya tergopoh menawarkan fasilitas cepat, tanpa perlu antri. Tapi Buya menolak. Buya memilih antri seperti pasien lain, meski harus menunggu sampai dua jam lebih. Padahal rumah sakit tersebut didirikan atas insiatif buya saat jadi ketum Muhammadiyah.
Baik Haedar Nashir maupun Buya adalah ketua Umum Muhammadiyah, organisasi dengan kekayaan ratusan trilyun rupiah.
Jika mau keduanya bisa memanfaatkan fasilitas Muhammadiyah untuk membantu mereka jika pergi ke sebuah tempat karena Muhamamadiyah punya fasilitas itu di seluruh penjuru tanah air. Tapi mereka dengan sadar memilih tidak melakukannya.
Mereka memilih menjalani kehidupan sehari-hari dengan kesederhanaan. Meskipun memiliki akses untuk menggunakan fasilitas mewah atau transportasi pribadi, mereka lebih memilih untuk naik transportasi publik dan bergerak tanpa pengawalan khusus.
Kesederhanaan bukanlah sekadar gaya hidup, tetapi juga cerminan dari nilai-nilai kehidupan yang mereka anut dan amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka memilih untuk fokus pada pengabdian kepada masyarakat dan pembangunan umat, daripada terjebak dalam kemewahan duniawi yang sesaat.
Kekuatan sejati seorang pemimpin tidak hanya terletak pada jabatan atau kekayaan materi, tetapi pada kemampuannya untuk menjaga kesederhanaan hati dan tindakan. Dengan sikap yang tulus dan rendah hati, mereka mampu menjembatani kesenjangan dan memperkuat ikatan antara pemimpin dan anggota organisasi yang dipimpinnya.
#####
Sangat disayangkan bahwa negeri ini semakin sulit menemukan pejabat publik atau tokoh yang menjalani hidup sederhana. Sebaliknya, banyak dari mereka yang terlihat mengadopsi gaya hidup mewah dan terperangkap dalam perilaku pamer yang tidak hanya merugikan negara, tetapi juga menciptakan kesenjangan sosial yang semakin dalam di masyarakat.
Jabatan publik sering kali menjadi ajang untuk menunjukkan kekayaan dan status sosial yang berlebihan. Fenomena ini bukan hanya menciptakan ketidakseimbangan dalam distribusi kekayaan, tetapi juga merusak integritas dan kepercayaan publik terhadap para pemimpin.
Untuk menghormati semangat dan dedikasi para pemimpin masa lalu, penting bagi kita untuk menggalakkan gerakan hidup sederhana di kalangan pejabat publik. Hidup sederhana bukan hanya sekadar gaya atau penampilan, tetapi merupakan sikap mental dan moral yang mendasari pelayanan publik yang sejati.
Pondok Cabe Udik 7 Juli 2024