Oleh: Lasan Silverius Bataona

Publik kaget dan bereaksi keras ketika di media-media online memberitakan tentang aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat. Reaksi yang luas datang dari berbagai pihak membuktikan bahwa masalah Raja Ampat bukan hanya suara dan perjuangan anak-anak negeri Papua, tetapi suara anak-anak negeri nusantara. Raja Ampat bukan hanya surga pariwisata anak-anak Papua, tetapi juga anak-anak nusantara, bahkan mancanegara.

Dalam konteks pertambangan di Raja Ampat, jika rakyat Papua di seputaran areal pertambangan melakukan perlawanan, maka itu adalah hak mereka mempertahankan—bukan sekedar alam tetapi terutama hidupnya sebagai manusia Papua. Hak ini telah dijamin oleh konstitusi negara Republik Indonesia. Dalam hal ini, perlawanan adalah pembelaan diri dan tidak bisa dengan gampang begitu saja diberi cap sebagai pembangkangan atau pemberontakan terhadap negara. Jika negara melalui kementerian terkait melanggar konstitusi karena melalui izin operasional tambang mengancam hidup rakyat, siapakah yang salah? Siapakah yang melanggar konstitusi?

Pernyataan seorang menteri bahwa lokasi pertambangan berjarak 30–40 kilometer dari pemukiman warga (karena itu tidak ada masalah?), justru semakin memperjelas adanya ancaman kerusakan alam dan kehidupan manusia di seputaran areal tambang.

Persoalan pertambangan di Raja Ampat Papua bukan hanya soal rusaknya habitat tumbuhan dan makhluk hidup, bukan hanya soal terancamnya kelestarian lingkungan, tetapi terutama adalah terancamnya kelangsungan hidup manusia Papua di tanah mereka sendiri. Pasal 28A UUD 1945 menegaskan: “Setiap orang berhak untuk hidup, serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Di pihak lain, situs Equality and Human Rights Commission menegaskan pula bahwa: Hak hidup atau Right to Life adalah hak dasar yang dimiliki setiap manusia. Tak seorang pun, termasuk pemerintah, yang dapat mencabut atau mengakhiri kepemilikan hak ini. Termasuk hak hidup adalah hak untuk bebas dari segala bentuk ancaman yang dapat membahayakan atau menghilangkan hidupnya.

Pada tanggal 18 Juni 2015, Paus Fransiskus mengeluarkan sebuah ensiklik (surat edaran Paus), dalam bahasa Italia berjudul Laudato Si, Mi Signore (Terpujilah Engkau, Tuhanku). Lebih umum dikenal dengan nama Laudato Si. Subjudulnya menggambarkan dengan jelas isi ensiklik tersebut: On the Care of Our Common Home (Dalam kepedulian untuk rumah kita bersama). Dalam ensiklik ini, Paus menyebutkan sejumlah krisis yang perlu segera diatasi yakni: polusi dan perubahan iklim, masalah air khususnya ketersediaan air bersih dan penyakit-penyakit akibat turunnya kualitas air, hilangnya keanekaragaman hayati, dan penurunan kualitas hidup.

Namun point penting yang menjadi kritik Paus Fransiskus adalah konsumerisme dan pembangunan yang tidak terkendali. Ensiklik ini menjadi sangat penting karena berkaitan erat dengan kemanusiaan, alam semesta, dan pencipta.

Seperti biasa, ketika masalah pertambangan nikel di Raja Ampat terekspose media-media online dan menjadi wacana debat publik, terjadi saling tuding, saling melempar tanggung jawab, dan cuci tangan. Dalam setiap bisnis berskala raksasa dengan modal triliunan, tidak pernah investor bergerak sendirian. Semua pihak dalam oligarki besar sudah dirangkul dan dibekali untuk mengamankan bisnis tersebut.

Untuk kasus pertambangan nikel di Raja Ampat, tanggung jawab utama bukan pada investor, tetapi pada pemerintah sebagai pemberi izin legalitas beroperasinya pertambangan tersebut. Ketika rakyat asli Papua semakin tergusur di tanah mereka sendiri, maka jangan salahkan mereka jika mereka mudah tergoda rayuan gerakan separatisme.

Di Flores, NTT, eksplorasi pertambangan geothermal (panas bumi) pernah sangat meresahkan warga. Tak tinggal diam, Uskup Agung Ende Mgr. Dr. Paulus Budi Kleden SVD bersama para uskup menolak keberadaan pertambangan tersebut. Gubernur NTT, Melki Lakalena, sejalan dengan Mgr. Kleden. Dan pertambangan itu pun berhenti.

Di Papua, diharapkan gereja bersama lembaga adat dan pemerintah bisa bersuara, menunjukkan sikap yang jelas dan tegas. Intinya adalah agar pertambangan jangan mengancam hak hidup manusia Papua.