Suara Anak Negeri menghubungi Dr. Petrus Irianto, SH.,M.Pd.,MH, melalui telpon seluler. Akademisi Universitas Cendrawasih ini dimintai tanggapan terkait kondisi MRP Papua Tengah Periode 2023-2028 Pokja Utusan Agama Katolik. Kesimpangsiuran informasi yang berdampak psikologis pada 2 (dua) orang Calon Anggota MPRP terpilih Pokja Agama Katolik perlu mendapat pencerahan sedemikian rupa sehingga hak-hak sipil mereka wajib dipenuhi oleh negara.
Peraturan Gubernur Papua Tengah Bertentangan dengan Peraturan Yang Lebih Tinggi
Menurut Dr. Petrus Irianto, SH.,M.Pd.,MH, “Dasar yuridis formal yang menjadi acuan Timsel Calon MRP Papua Tengah adalah Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Pemilihan Anggota Majelis Rakyat Papua Pasal 5 ayat (2) huruf e menyebutkan bahwa “mendapat mandat dari kelompok masyarakat adat dan kelompok masyarakat perempuan tingkat kabupaten/kota serta lembaga keagamaan tingkat provinsi untuk pemilihan wakil adat, wakil perempuan dan wakil agama”.
Dr. Petrus Irianto, SH.,M.Pd.,MH, menjelaskan, “Peraturan Gubernur Provinsi Papua Tengah mempunyai arti bias tentang istilah “agama” dan istilah “lembaga keagamaan”, yang pada akhirnya disimpulkan bahwa ada Agama Katolik dan agama Protestan yang terdiri dari berbagai denominasi gereja dengan mengacu pada Peraturan Gubernur Papua Tengah No 9 Tahun 2023 dan Surat Mendagri Nomor :100.2.2.6/1314/OTDA Tanggal 27 Februari 2023”.
“Pasal 1 UU PNPS No 1 Tahun 1965 menyatakan bahwa “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu/Confusius” dengan demikian Perdasus Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2010, Peraturan Gubernur Papua No 9 Tahun 2023, Surat Mendagri Nomor :100.2.2.6/1314/OTDA Tanggal 27 Februari 2023 bertentangan dengan Pasal 1 UU PNPS No 1 Tahun 1965” tegas Dr. Petrus Irianto.
Perjuangan Pastor Yuvensius Tekege, Pr Selaku Utusan Pihak Keuskupan Timika
Dr. Petrus Irianto menegaskan, pemahaman istilah “kelembagaan” yang diakomodir dalam Peraturan Gubernur, harus mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama RI No. 138 Tahun 2017 Tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Baru dan Pendaftaran Ulang Induk Organisasi Gereja/ Sinode pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama RI, Pasal 2 yang berbunyi, “Setiap induk organisasi gereja/ sinode wajib mendaftarkan keberadaannya pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen”, maka berbagai denominasi gereja yang disebut secara komunal sebagai Gereja Protestan berhak memiliki keterwakilan dalam lembaga MRP Papua Tengah dari Pokja Agama.
Konsekuensi dari Keputusan Dirjen Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama RI, maka agama katolik berhak mendapatkan hak 7 kursi pada keterwakilan MRP Papua Tengah dari Pokja Agama.
Pada tataran itu, 1/3 dari total kursi 42 maka 14 orang harus dibagi dua agama yang ada di Provinsi Papua Tengah, maka hak keterwakilan “Umat Katolik” sebanyak 7 orang.
Jika mau dibagi denominasi gereja maka 7 kursi hak umat protestan dapat dibagi berdasarkan denominasi gereja yang ada berdasarkan definisi “Kelembagaan,” demikian Petrus Irianto menegaskan makna perjuangan Pastor Yuvensius Tekege, Pr merujuk Pasal 2 Keputusan Dirjen Bimbingan Masyarakat Kristen RI No. 138 Tahun 2017 Tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Baru dan Pendaftaran Ulang Induk Organisasi Gereja atau Sinode pada Direktorak Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama RI.
Keuskupan Timika Perlu Menghargai Perjuangan 2 Orang Calon MRP dari Pokja Agama Katolik
“Keputusan Administrator Keuskupan Timika yang telah dinyatakan di hadapan Tim Pemerintah Provinsi Papua Tengah dan Tim Pansel MRP Papua Tengah dan telah dirilis oleh berbagai media, sejatinya “SANGAT MERUGIKAN” dua umat yang telah dimeteraikan dalam gereja katolik yang telah berkorban entah itu tenaga, pikiran bahkan pengorabanan finansial selama proses seleksi berlangsung”, tegas Dr. Petrus Irianto.
Dr. Petrus Irianto merekomendasikan beberapa hal yang menjadi perhatian Gereja Katolik Keuskupan Timika, Keuskupan Jayapura, Keuskupan Sorong, Keuskupan Agats dan Keuskupan Agung Merauke sebagai berikut:
Pertama yang perlu diperhatikan adalah gereja perlu menghargai apa yang telah diupayakan oleh negara melalui Tim Pansel MRP Papua Tengah yang dengan segala keterbatasannya, telah mencapai keputusan final berdasarkan regulasi yang menjadi rujukan Timsel Calon MRP Papua Tengah bekerja sesuai SOP.
Bahwa keputusan Timsel Calon MRP berdampak negatif terhadap Agama Katolik itu benar. Namun kesalahan mereka didasarkan pada regulasi yang mengikat.
Kedua, Gereja harus berbesar hati menyerahkan 2 (dua) umat terpilih dari 6 (enam) rekomendasi yang dikeluarkan Bapak Administrator Keuskupan Timika untuk dilantik menjadi Anggota MRP Papua Tengah wakil dari Agama Katolik di Provinsi Papua Tengah.
Dengan demikian negara memandang perlu untuk melakukan kajian terhadap kondisi objektif berbagai regulasi yang mengatur keanggotaan MRP di masa mendatang berdasarkan usulan-usulan dengan latarbelakang sosio-antropologis eksistensi Agama Katolik di Provinsi Papua Tengah.
Ketiga, Gereja katolik memiliki legal standing dalam memperjuangkan keadilan dalam perolehan kursi MRP Pokja Agama di 6 Provinsi di Papua dalam melakukan Judicial Review terhadap Perdasus Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2010, Peraturan Gubernur Papua Tengah Nomor 9 Tahun 2023 dan Peraturan Gubernur di enam provinsi di Papua yang mengatur tentang “Keterwakilan Agama Katolik” dalam Lembaga MRP di enam provinsi di Papua.
Keempat, Perjuangan 7 Kursi keanggotaan MRP Pokja Agama dari Agama Katolik untuk periode 2028-2033 akan terpenuhi dengan aturan yuridis formal yang berlaku untuk 6 Provinsi jika pihak Keuskupan baik itu Keuskupan Timika, Keukupan Jayapura, Keuskupan Sorong, Keuskupan Agats dan Keukupan Merauke sebagai Keukupan Agung dapat menempuh jalur hukum karena hanya melalui keputusan pengadilan, perjuangan Pastor Yuvensius Tekege, Pr dapat meraih hasil melalui keputusan pengadilan yang mengikat.
Paulus Laratmase