Opini oleh: Paulus Laratmase
–
Untuk menjadi mahasiswa pada Fakultas Hukum program strata 1 tahun akademik 2024/2025, para calon mahasiswa diminta menulis dua tulisan berbentuk opini terkait keterkaitan hukum dengan pekerjaan calon mahasiswa dan bagaimana pendapat calon mahasiswa terkait penegakkan hukum di Indonesia sekarang.
Judul di atas merupakan bagian pertama dari permintaan Panitia Seleksi Calon Mahasiswa pada latar belakang pekerjaan dan korelasinya dengan pilihan prodi hukum pada Universitas Pelita Harapan.
Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menghadirkan Prof. Franz Magnis-Suseno, ahli filsafat dari STF Diryakara sebagai saksi ahli yang diajukan oleh kubu Ganjar-Mahfud pada Selasa 2 April 2024.
Sebagai seorang guru/pendidik melihat kehadiran Prof. Magniz-Suseno sebagai tokoh dalam mana tidak terpengaruh dengan hiruk-pikuk politik yang dapat menggoyahkan prinsip-prinsip moral yang secara khasat mata oleh manusia kebanyakan, kesaksian ahli moral menjadi anti thesa bagi pemberlakuan hukum positif yang mendominasi pendapat pengacara-pengacara dari kubu Prabowo-Gibran.
Prof. Yohanis Ohoitimur, Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng Manado, Sulawesi Utara berpendapat, perlu membedakan saksi ahli, saksi pelapor atau keterangan saksi. Dengan demikian fungsi mereka harus ditempatkan pada proporsi totalitas dalam pemberian kesaksian di depan Mahkamah Konstitusi terutama pada saat memberikan resultate terhadap subtansi persoalan.
Saksi ahli menurut Prof. Yohanis Ohoitimur, memberikan keterangan sesuai keahlian khusus untuk mendukung dalil-dalil dari pihak yang menghadirkannya bisa memberikan bahan baru bagi hakim dalam mempertimbangkan perkara. Saksi pelapor (whistle blower) memberikan keterangan tentang fakta yaitu apa yang didengar, dilihat atau dialami terkait pokok sengketa. Dengan kata lain, saksi pelapor adalah saksi fakta. Pada momentum ini, saksi ahli bersifat otonom namun dapat mendukung alat bukti yang diberikan saksi pelapor.
Sebagai saksi ahli, Prof. Magnis-Suseno menyampaikan keterangan sesui keahliannya dalam bidang filsafat moral atau ilmu etika. Ia mulai dengan beberapa pengertian dasar tentang apa itu etika, apa itu hukum, apa itu etika dan hukum, apa itu penguasa, apa itu etika dan presiden bahkan etika dan pemilu. Dari situlah Prof. Magnis menunjukkan kemungkinan terjadinya pelanggaran etika pada kasus-kasus seperti pendaftaran calon wakil presiden 02, abuse of power, nepotisme, bansos dan manipulasi dalam Pemilu.
Dari gambaram Prof Magnis-Suseno, dapat dilihat hubungan antara etika dan hukum pada tataran hirarkinya. Etika menuntut manusia harus barlaku hidup sebagaimana layaknya manusia. Dengan kata lain, prinsip-prinsip moral dasar adalah nilai-nilai moral tentang kualitas hidup manusia sebagai manusia. Norma moral merupakan peraturan moral yang diundangkan, code of ethics, code of conduct dan norma-norma tidak tertulis. Sedangkan filsafat moral adalah kajian kritis teradap moralitas, nilai, pandangan moral, perilaku manusia. Hirarki hukum yang pertama adalah etika yaitu prinsip dan nilai, kedua norma moral yaitu undang-undang dan sumber tidak tertulis/ lisan dan yang ketiga adalah norma hukum.
Konsep hukum dengan bertolak dari teori hukum kodrat dengan para filsuf Sophokles, Stoisisme, Thomas Aquina dengan hukum continental, maka hukum positif bersumber dari hukum kodrat yaitu hubungan akal budi manusia dengan Pencipta. Nilai-nilai moral: Ius dan Lex. Pada momentum ini sebuah Keputusan positif dinilai cacat in se jika bertentangan dengan nilai dan norma moral.
Teori hukum positif dengan tokoh Austin, Hart, Kelsen melihat bahwa hukum sama dengan UU di mana bentuk formal norma hukum bersifat murni terlepas dari semua aspek non hukum termasuk moralitas. Pada momentum ini, apa yang ditetapkan atas dasar hukum positif berkekuatan hukum tetap, menjadi fakta hukum walaupun Keputusan itu mengabaikan moralitas.
Bertolak dari konsep hukum positif, maka pembagian sembako oleh Presiden RI Joko Widodo dianggap sah oleh para pengacara Capres dan Cawapres 02 dengan menegaskan bahwa eksekutif dan legislatif telah menyetujui Rancangan Undang Undang APBN 2024 di mana semua pos-pos anggaran di bawah Sekretariat Negara disahkan melalui ketukan palu pimpinan DPR RI medio Agustus 2023 lalu.
Bertolak dari hukum positif, UUD 1945 menegaskan bahwa yang mencalonkan diri menjadi presiden dan wakil presiden adalah warga negara Indonesia yang telah berumur 40 tahun. Dan ketika Mahkamah Konstitusi mengabaikannya melalui putusaan MK yang mengabulkan pemohon dengan menyederhanakan bahasa bahwa “Seorang warga negara bisa mencalonkan diri menjadi capres atau cawapres RI bisa berumur di bawah 40 tahun asalkan pernah atau sedang menduduki jabatan politik seperti walikota, bupati atau gubernur,” maka apa pun ergumentasi etis di hadapan Mahkamah Konstitusi, tidak akan menjadi bahan pertimbangan hakim dalam memutuskan sebuah keadilan dalam dan melalui ketokan palunya.
Bertolak dari hukum positif itulah, Presiden membagi-bagi sembako, presiden membagi-bagi Bantuan Langsung Tunai (BLT) tidak melanggar etika, biarpun di saat kampanye cawapres yang anak seorang presiden yang mengabaikan penilaian etis publik bahwa “sangat tidak etis seorang presiden membagi-bagi langsung sembako dan BLT” bernada negasi.
Bertolak dari hukum positif, maka sebuah Keputusan hukum Tidak Boleh Dipisahkan dari Moralitas. Namun fakta bahwa Senin 22 April 2024, Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo menerbitkan Keputusan No 1/PHPU.PRES.XXII/2024 menyatakan menolak seluruhnya permohonan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Keputusan Nomor 2/PHPU.PRES.XXII/2024 menyatakan menolak seluruhnya permohonan Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Demikian dua Keputusan itu telah membuktikan bahwa di Indonesia kekuatan ketetapan hukum positif bisa mengalahkan pertimbangan moral (etika) atau kebenaran moral dikalahkan oleh kekuatan hukum.