Apalah artinya guratan emas jika itu ditorehkan di tanah-tanah yang suram? Sekalipun dia emas, tak ada lagi keindahan kilaunya. Orang nyaris hanya melihat suramnya. Disayangkan bukan?

Apa jadinya jika tinta emas kita tuliskan di atas tanah-tanah yang suram? Orang akan melihatnya sebagai kotoran tak bernilai. Sekalipun dia emas, kesuraman saja yang tampak di mata orang. Miris bukan?

Coretan-coretan tinta emas itu adalah analogi saya pada catatan perjalanan orang Papua selama ini. Saya mau mengajak Anda semua merefleksikan perjalanan panjang kita selama ini.

Memang bukan perjalanan-perjalanan yang penuh kegemilangan. Bisa jadi itu perjalanan-perjalanan yang menyedihkan. Tapi, yakinlah setiap jejak langkah dalam perjalanan kita, saya percaya kita menorehkan catatan-catatan yang bertintakan emas. Karena percaya bahwa kita adalah emas.

Lantas kenapa di Tanah yang suram? Bukankah tanah Papua adalah tanah yang kaya. Dunia mengakui itu. Lantas mengapa perjalanan yang suram jika tinta yang digoreskan adalah emas?

Perjalanan panjang mengambil kembali hak tanah rakyat

Beralihnya status-status kepemilikan tanah warga yang tidak sesuai prosedur dan legalitas mencatatkan banyak kisah suram di tanah Papua. Mungkin ini yang membuat tanah kita menjadi suram.

Kita tidak akan merebut secara paksa. Kita hanya akan berjuang untuk meninjau kembali semua kepemilikan tanah yang illegal.

Banyak pihak  memanfaatkan keluguan masyarakat desa yang tak berani berkata tidak dan akhirnya mengakui itu sebagai miliknya. Legalitas suratnya pun dipertanyakan.

Biar bagaimanapun rakyat Papua adalah tuan tanah atas tanah Papua. Ini saatnya catatan tinta emas kita berkilau kembali di tanah kita sendiri.

Perjalanan suram pendidikan rakyat Papua

Stigma “bodoh dan terbelakang” membuat catatan tinta emas anak-anak Papua tak ada lagi kilaunya. Suram saja yang tampak.

Fasilitas pendidikan yang tidak memadai. Akses mendapatkan pendidikan yang berkualitas terlalu terjal jalannya.

Infrastruktur dan system pendidikan yang tak kunjung dibenahi sampai muncul kesan ada pembiaran yang berlarut terhadap kebodohan di masyarakat agar mudah mengeksploitasi kekayaan alam mereka.

Semoga ini hanya sekedar praduga tak berdasar. Namun jika iya, hanya dengan menjadi pintar lah kita dapat mengatasi pembiaran itu.

Kita harus merubah stigma ini sekarang. Tak boleh ada lagi pembiaran kebodohan di masyarakat kita hingga pelosok sekalipun.

Perjalanan melelahkan dalam kemiskinan rakyat

Ketidaktahuan (baca: kebodohan) adalah sumber dari kemiskinan yang mendera masyarakat kita. Dari kesan dibodohi sampai dieksploitasi mewarnai perjalanan kemiskinan rakyat.

Karena itu menyediakan fasilitas dan akses pendidikan yang sebanyak-banyaknya bagi masyarakat Papua adalah sebuah keniscayaan untuk memerangi kemiskinan ini.

Miskin di tanah yang kaya adalah menggenaskan. Rakyat Papua sudah berjalan jauh dalam perjuangan hidup layak, tapi hanya kelelahan yang didapat. Itulah sebabnya wajah-wajah suram mewarnai anak-anak kita.

Perekonomian rakyat harus kembali digalakkan supaya masyarakat kecil dapat menikmati keuntungan yang mensejahterakan keluarganya.

Perjalanan ketidakadilan dalam berdemokrasi

Tidak banyak anak Papua yang menjadi pemimpin di negeri ini. Kedudukan-kedudukan strategis banyak dipegang oleh para pendatang.

Tidak menjadi masalah jika hak anak negeri dalam hal pendidikan, kesejahteraan dipenuhi. Menjadi suram jika anak-anak Papua cenderung dinomor duakan dalam kepemimpinan demokrasi di tanahnya sendiri. Itulah perjalanan suram dalam demokrasi tanah Papua.

Tinta emas di tanah yang suram; sebuah misperspektif

Semua perjalanan itu benar-benar melelahkan. Hamparan alam yang indahpun jadi suram dalam pandangan orang-orang yang lelah.

Ternyata bukan de facto kesuraman tanah Papua, melainkan suramnya perjalanan-perjalanan kita selama ini seolah tanpa arah. Ditambah kelelahan yang teramat sangat sampai-sampai tak mampu lagi melihat kilauan emas coretan perjalanan kita selama ini.

Tugas kita sekarang adalah mengubah kesuraman menjadi kilauan. Berpikir lebih  panjang, kita dianungrahi tanah yang subur dan kaya, lautan luas penuh dengan kekayaan ikannya. Mengapa tanah yang suram?

Aha, ada yang salah dengan penglihatan kita. Ada yang keliru dengan indera kita. Kesuraman itu ternyata fatamorgana hasil bias mata yang belum tercerahkan.

Masih ada harapan terbentang jelas di depan.

Ada yang salah dalam kita memandang.

Ubah misperspektif yang selama ini menemani perjalanan kita dalam mengentaskan kemiskinan, mendapatkan hak pendidikan, keadilan dalam demokrasi, kekuasaan atas tanah yang legal.

Mari kita melihat kembali cara kita melihat. Inilah sebuah perspektif baru dengan paradigma baru untuk melihat bahwa selama ini yang kita jalani adalah perjalanan emas di tanah yang kaya. Guratan tinta emas dalam setiap perjalanan kita begitu berharga dan indah.

Percayalah ke depan kita akan melihat kilauan tinta emas yang sudah kita torehkan selama bertahun-tahun, bukan lagi di tanah yang suram, tapi di atas tanah Papua yang kaya.🙏

 

Paulus Laratmase