Antologi Puisi Cinta Romantis

Oleh: Rizal Tanjung

I — Rindu yang Membeku di Dada Langit

aku duduk di pangkal sepi,
di punggung malam yang menua tanpa salam.
jaket jingga ini bukan lagi pelindung tubuh,
melainkan warna luka yang kutenun
dari sisa rindumu yang tak pernah kembali.

bulan tergantung di ujung dadaku,
menggigil oleh kenangan yang tak selesai.
aku ingin memanggil namamu,
tapi suara tak punya jalan ke telingamu—
ia tersesat di antara doa dan dendam.

malam menatapku dengan mata air kesepian,
menyulap bayanganmu menjadi mantra yang berat,
dan setiap helai angin
adalah kalimat yang tak pernah kau balas.

aku, penyair kecil di padang waktu,
menulis rindumu di dada langit
sampai hujan turun
membasuh maknanya satu per satu.

II — Surat yang Tak Pernah Dikirim

aku menulis surat
pada kertas yang terbuat dari cahaya matamu.
setiap huruf adalah debu,
setiap titik adalah air mata yang lupa jatuh.

aku tahu, kau takkan membaca—
tapi aku tetap menulis,
karena cinta, pada akhirnya,
adalah kesetiaan kepada yang tak kembali.

di ujung pena,
ada jejak jemarimu yang dulu memelukku
tanpa janji, tanpa waktu.
dan kini, tinta menjadi saksi:
bahwa rindu bisa hidup
tanpa perlu dibalas.

III — Di Gerbang Hujan

ketika hujan datang,
aku menatap langit seperti menatapmu—
basah, dingin, namun penuh pengharapan.
tiap tetes adalah surat yang jatuh
tanpa perangko, tanpa alamat.

aku ingin menjadi payung
yang meneduhkan langkahmu,
tapi aku hanya jadi genangan
tempat bayangmu menatap ke dalamku.

di gerbang hujan,
aku menunggu seperti batu menunggu lumut—
lambat, pasti,
dan terlalu setia untuk menyerah.

IV — Cinta yang Tak Pernah Usai

cinta, katamu,
adalah pertemuan dua kesunyian
yang saling belajar bernapas.
namun kita, barangkali,
adalah dua langit yang tak sempat bertemu
karena waktu takut kita terlalu indah.

aku masih menulis namamu di udara,
meski angin selalu menghapusnya.
karena yang hilang dari mata
tak selalu hilang dari doa.

di antara bintang yang redup,
aku tahu:
kau masih bersembunyi di lipatan rindu
yang menua dalam dadaku.

V — Di Ujung Malam

malam menua di jendela kamarku,
menatapku seperti ibu yang kehabisan doa.
aku menghitung waktu
dengan denyut kenangan.

setiap menit,
adalah langkahmu yang menjauh dari suara.
setiap detik,
adalah isyarat kecil bahwa cinta
tak selalu ingin dimiliki.

aku tak tidur—
karena setiap kali memejam,
aku melihatmu berjalan di arah yang tak kutahu.
dan pagi,
selalu datang terlalu cepat
untuk seseorang yang belum selesai mencintai.

VI — Bulan di Rambutmu

aku melihat bulan bersembunyi
di antara helai rambutmu yang tak lagi nyata.
cahaya itu melengkung seperti ingatan,
menerangi wajah yang hanya ada di langit batinku.

kau pernah berkata:
“jangan percayai bulan,
ia terlalu pandai menyembunyikan luka.”
tapi malam ini, aku tahu—
bulan pun menangis
melihat rinduku membeku di dadanya.

VII — Nama yang Hilang di Angin

aku memanggil namamu,
dan angin menjawab dengan diam.
barangkali ia tahu
bahwa suaramu kini hanya gema
yang tersesat di lembah takdir.

aku menulis lagi,
di atas bayangan sendiri:
bahwa setiap kehilangan
adalah upacara kesetiaan.
dan setiap doa
adalah rumah kecil bagi kenangan yang enggan mati.

VIII — Hujan di Punggung Doa

aku bersujud di bawah hujan,
memeluk udara yang pernah jadi tubuhmu.
setiap tetes jatuh bagai huruf yang berdoa,
menerjemahkan rinduku ke bahasa langit.

aku tahu,
Tuhan pun mungkin lelah
mendengar namamu kusebut terlalu sering.
tapi bagaimana berhenti,
jika cinta adalah ibadah
yang tak pernah selesai disempurnakan?

IX — Jarak dan Bayangan

jarak bukan lagi ukuran,
ia sudah menjadi agama.
aku menyembah arahmu
meski tak tahu kiblat hatimu di mana.

bayanganmu melintas di dadaku,
meninggalkan aroma yang tak bisa didefinisikan.
kadang aku berpikir:
mungkin cinta hanyalah cermin—
yang memantulkan wajah kita
sampai lupa siapa yang lebih terluka.

X — Sepotong Waktu di Tanganmu

ada sepotong waktu
yang pernah kita genggam bersama,
lalu retak,
dan menetes jadi kenangan.

aku masih mengumpulkan serpihnya,
menjahitnya dengan puisi,
agar luka ini tak sia-sia.
sebab cinta, seperti kaca,
tetap memantulkan cahaya
meski telah pecah.

XI — Matahari yang Tak Pulang

pagi datang tanpa wajahmu.
matahari naik,
tapi hangatnya tak sampai di dadaku.

aku berjalan di lorong hari
yang tak mengenal arah,
mencari bayanganmu
di antara langkah-langkah yang tak punya nama.

barangkali rindu ini
adalah matahari yang tak pernah pulang—
selalu terbit, tapi tak pernah kembali ke timur hatimu.

XII — Doa di Ujung Senja

senja datang seperti ziarah.
aku membawa bunga rindu,
meletakkannya di altar langit.

warna jingga itu—
adalah darah cinta yang masih mengalir
meski tak punya tubuh.

aku berdoa,
agar kau bahagia di seberang luka,
meski aku sendiri
masih duduk di sini,
menghafal sunyi demi sunyi.

XIII — Nyanyian Batu di Sungai Sepi

aku mendengar batu bernyanyi,
dan setiap nadanya memanggil namamu.
di dasar sungai,
air mengalir seperti kalimat yang tak pernah selesai.

aku ingin ikut hanyut,
tapi rindu ini berat seperti janji
yang tak pernah ditepati.
maka aku diam—
menjadi batu,
agar tak lagi tenggelam.

XIV — Puisi yang Tak Jadi Surat

aku menulis lagi,
bukan untuk dikirim,
tapi untuk menenangkan badai di dadaku.
kata-kata ini,
tak butuh pembaca—
karena cinta sejati,
adalah bahasa yang kehilangan maknanya sendiri.

aku membiarkan puisiku terbang
seperti burung tanpa sayap,
karena aku tahu,
rindu pun bisa hidup
dari kehampaan.

XV — Di Dalam Mata Cermin

aku melihatmu di dalam cermin,
bukan sebagai wajah,
tapi gema yang menatapku balik.

mungkin aku telah mencintai
pantulan dari ilusi,
bukan manusia.
namun siapa peduli,
jika di setiap bayangan,
aku masih menemukanmu—
hidup sebagai cahaya yang menolak padam.

XVI — Kesetiaan yang Tidak Bernama

aku belajar setia
bukan pada seseorang,
tapi pada rasa yang tak mau mati.

aku tahu,
cinta bukan pertemuan,
melainkan kesediaan untuk menunggu
tanpa harapan.

maka aku diam,
membiarkan waktu lewat seperti angin
yang tak pernah menoleh ke arahku.

XVII — Langit yang Menyimpan Namamu

malam ini langit terlalu jujur.
ia menuliskan namamu
di antara gugusan bintang.

aku melihatnya dan tersenyum pahit—
karena bahkan kosmos pun tahu,
bahwa rindu tak bisa dimakamkan,
hanya bisa ditulis ulang
dalam bentuk cahaya.

XVIII — Perempuan di Ambang Doa

aku memanggilmu dalam sujud,
namun suara terpantul di dinding langit.
mungkin Tuhan tahu
aku tak sedang berdoa—
aku sedang mencintai
dengan cara yang terlalu manusiawi.

di ambang doa itu,
aku melihat wajahmu samar,
antara dosa dan pengampunan.
dan aku memilih diam,
karena mencintaimu
sudah cukup menyerupai ibadah.

XIX — Rindu yang Menjadi Batu

waktu mengeras di dadaku,
membentuk patung kecil dari kenanganmu.
aku tak ingin menghancurkannya,
meski tahu itu menyakitkan.

sebab di dalam batu itu,
ada suara kecil yang berbisik:
“cinta tak pernah pergi,
ia hanya belajar tidur lebih dalam.”

XX — Cinta yang Abadi di Dalam Sunyi

akhirnya aku paham,
bahwa cinta bukanlah tentang memiliki,
melainkan tentang keberanian
untuk tetap menatap langit
meski bintang tak lagi berpihak.

aku duduk di pangkal sepi,
menatap malam yang perlahan menua,
dan berkata pelan:
“di dadaku masih ada kamu,
tapi aku sudah tak menunggu.”

dan di atas sana,
bulan pun tahu—
yang paling setia bukan cinta,
melainkan rindu
yang tetap datang,
meski tak pernah diundang.


Sumatera Barat, Indonesia, 2025.