Oleh Deni Kusuma
(Sejarawan Muslim dari Departemen Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2018 dan Staf Berkhidmat di Universitas Saefulloh Maslul Sirnarasa PPKN III, 2025)
–
Keuangan dimanapun dan kapanpun akan selalu menjadi aspek yang sangat esensial. Malahan, sampai ada sebuah teori yang khusus menekankan tentang keuangan ini, namanya determinisme ekonomi. Artinya, ekonomilah yang menjadi faktor determinan. Determinan adalah faktor yang utama sama halnya dengan istilah pokok, prioritas atau pun i’timad (u’mdah) dalam bahasa Arabnya. Tanpa ada faktor dukungan ekonomi yang kuat maka aspek-aspek penting lainnya dalam kehidupan ini pun dapat melemah.

Bahkan, dalam sejarah awal kehadiran agama Islam yang dibawa oleh junjunan kita Nabi Muhammad shollallohu a’laihi wasallam, ekonomi atau pun keuangan telah dijadikan sorotan yang jelas sekali, dan Siti Khodijah Ra, istri baginda Nabi SAW adalah pemeran utamanya. Malahan, penulis pernah mendengar keterangan dari para a’lim u’lama yang berbunyi; “ma qomad diin illa bil maal”. Artinya; tidaklah tegak agama kecuali dengan harta. Bahkan, harta atau uang yang disedekahkan di jalan Alloh, dengan sebutan shodaqoh jariyah, dapat menjadi pahala yang tak akan ada putus-putusnya sampai setelah mati.
Sebagaimana yang sudah sering kita dengar dari baginda Nabi Muhammad shollallohu a’laihi wasallam bahwasannya ketika nanti anak Adam mati atau meninggal dunia, maka terputuslah semua amalannya kecuali hanya tiga perkara saja yakni shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan do’a anak yang sholeh. Dari khobar ini, malahan shodaqoh yang tentu dalam hal ini jelas kaitannya dengan finansial, karena pada narasinya shodaqoh ilmu pun dibedakan lagi dengan narasi ilmu yang bermanfaat, itu artinya shodaqoh yang bersifat finansial, betul-betul sangat diprioritaskan.
Bahkan dalam al-Qur’an ada ayat yang berbunyi; “shodaqotan tutohhiruhum wa tuzakkiihim”. Artinya, shodaqoh yang bersifat dapat membersihkan dan juga dapat mensucikan dosa-dosa mereka. Tak hanya itu, Gurunda kami Pangersa Tuan Syeikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul, malah sampai mengatakan yang itu juga ternyata dari guru beliau Tuan Syeikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin, bahwa “orang yang bersedekah meskipun itu hanyalah sepotong roti, maka itu dapat menghalangi tugas malaikat pencabut nyawa untuk menunaikan tugasnya”.
Oleh karenanya, maka guru kami di pesantren selain mengajarkan cara belajar dan bera’maliyah, tetapi juga memerintahkan kami untuk belajar mencari uang. Agar bisa bersedekah. Poinnya adalah belajar mencari uang yang banyak. Karena dalam konteks di atas, sedekah dengan sepotong roti pun ada nilai uangnya. Ini artinya, secara alam bawah sadar agama Islam mengajarkan kepada kita jangan menganggur dan jangan berpangku tangan. Artinya, harus punya penghasilan dari hasil keringan kita sendiri, meskipun nantinya cuma bisa beli roti.
Dalam konteks yang sama, malahan guru kami mengatakan; “kalau tidak dapat memudahkan urusan orang lain, maka jangan menjadi beban orang lain”. Maksudnya berarti jangan menyulitkan urusan orang lain. Dalam konteks ini, penulis membuat tulisan refleksi ini dalam rangka bersyukur telah berusia empat bulan berkhidmat di kampus Universitas Saefulloh Maslul Sirnarasa PPKN III sebagai staf cleaning service. Dan dengan bisyaroh Rp. 500.000 perbulan. Mungkin orang di zaman sekarang ini akan bilang, uang ini sangatlah kecil bilamana dibandingkan dengan penghasilan PNS misalnya atau pengusaha-pengusaha di tataran yang lingkup yang sudah besar omsetnya, tetapi kalau disyukuri, maka dengan nominal sebesar itu dapat menjadi bermakna.
Karena Tuhan Yang Maha Kuasa, terkadang tidak selalu melihat dari besar dari kecilnya saja, tetapi terkadang juga melihat dari jiwa kita yang bersyukur. Malahan ada keterangannya dalam kitab Majmu’atur Rosail; “man lam yaskur al-qolil lam yasykur al-katsir”. Artinya, seseorang yang tidak dapat berterima kasih kepada Alloh dengan pemberian ni’mat dari-Nya dalam jumlah nominal yang sedikit, maka ia pun tidak dapat pula mensyukuri ni’mat dari-Nya dalam jumlah nominal yang banyak. Ternyata, angka Rp. 500.000 ribu itu akan tampak kecil bilamana cara menghitungnya terpisah. Hanya dalam bulan ini saja, tidak dihitung dengan cara perspektif historis (holistik).
Ternyata bilamana dihitung dengan perspektif historis, yang dalam hal ini penulis sudah menerima uang dengan sebesar itu sejak empat bulan yang lalu, maka jumlahnya berbeda yakni menjadi Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah) dalam rentang waktu 120 hari (4 bulan). Dan ternyata juga di alam bawah sadar seringnya menggunakan hitungan bulan lebih bersifat ijmal (umum) tidak berhitung dengan hitungan hari yang lebih bersifat tafshil (terperinci). Maka dari itu, penulis memaknai perolehan uang itu dari perspektif historis yang tafshil (terperinci). Dan ternyata dampaknya dapat membuat hati terkejut. Masya Alloh, ternyata dalam 120 hari ini, penulis sudah dapat dua juta rupiah.
Ternyata juga sistem pertumbuhan ekonomi di dalam sistem tabungan, seperti di tiktok, ig dan facebook juga sebagian besar media untuk meningkatkan kemajuan ekenomi, menggunakan perspektif historis tafshil (terperinci) dengan data kapan uang diperoleh dan ditabungkan untuk beberapa pekan sehingga ketika mengambilnya (withdraw) dapat ditarik dengan jumlah yang besar. Namun, seringkali kebiasaan berpikir di alam bawah sadar adalah seringnya ingin mendapatkan keuntungan yang besar itu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Padahal ternyata dalam realitas ekonomi, penghasilan yang besar itu terjadi karena faktor adanya proses akumulasi (pembekakan) keuangan. Sehingga sesuai dengan pepatah bijaksana dalam bahasa Indonesia; “sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit”.
Ternyata, betul sekali konsep syukur dalam kitab Majmu’atur Rosail yang tadi penulis sebutkan di atas, bahwa untuk mewujudkan rasa syukur kepada Alloh dalam diri kita memang mesti ada proses kesabaran terlebih dahulu dalam menerima yang jumlahnya sedikit, maka setelah ia berakumulasi menjadi jumlah nominal yang banyak, hati akan menerimanya dengan bahagia. Terkadang lain halnya ketika sudah menerima yang banyak secara langsung tanpa merasakan proses terjadinya akumulasi keuangan secara sadar, seringkali uang bisa sirna atau ludes saja secara tidak kita sadari. Maka kita pun menjadi tidak tahu semestinya buat apa uang ini.
Akhirnya uang itu terasa hilang selalu, bukan terasa selalu ada. Di situlah penulis rasa perlu juga menyikapi regulasi keuangan dari perspektif historis. Malahan, biasanya para pemerhati keuangan, akan melihat juga rekam jejak tabungan sejak dari tahun berapa ia menabung, untuk memberikan hadiah, meskipun bisa jadi uangnya yang ditabung sudah digunakan sebagia nya. Tetapi langganan bersyukurnya, artinya keistiqomahan dalam menjaga paradigma yang baik terhadap nilai uang, dapat menambah kepercayaan sang pemilik uang untuk memberikan uangnya lagi kepada kita. Jadi tidak dipersulit kesampaiannya pada diri kita.
Ternyata juga sistem pertumbuhan ekonomi di dalam sistem tabungan, seperti di tiktok, ig dan facebook juga sebagian besar media untuk meningkatkan kemajuan ekenomi, menggunakan perspektif historis tafshil (terperinci) dengan data kapan uang diperoleh dan ditabungkan untuk beberapa pekan sehingga ketika mengambilnya (withdraw) dapat ditarik dengan jumlah yang besar. Namun, seringkali kebiasaan berpikir di alam bawah sadar adalah seringnya ingin mendapatkan keuntungan yang besar itu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Padahal ternyata dalam realitas ekonomi, penghasilan yang besar itu terjadi karena faktor adanya proses akumulasi (pembekakan) keuangan. Sehingga sesuai dengan pepatah bijaksana dalam bahasa Indonesia; “sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit”.
Bahwa betul sekali konsep syukur dalam kitab Majmu’atur Rosail yang tadi penulis sebutkan di atas, untuk mewujudkan rasa syukur kepada Alloh dalam diri kita memang mesti ada proses kesabaran terlebih dahulu dalam menerima yang jumlahnya sedikit, maka setelah ia berakumulasi menjadi jumlah nominal yang banyak, hati akan menerimanya dengan bahagia. Terkadang lain halnya ketika sudah menerima yang banyak secara langsung tanpa merasakan proses terjadinya akumulasi keuangan secara sadar, seringkali uang bisa sirna atau ludes saja secara tidak kita sadari. Maka kita pun menjadi tidak tahu semestinya buat apa uang ini.
Akhirnya uang itu terasa hilang selalu, bukan terasa selalu ada. Di situlah penulis rasa perlu juga menyikapi regulasi keuangan dari perspektif historis. Malahan, biasanya para pemerhati keuangan, akan melihat juga rekam jejak tabungan sejak dari tahun berapa ia menabung, untuk memberikan hadiah, meskipun bisa jadi uangnya yang ditabung sudah digunakan sebagia nya. Tetapi langganan bersyukurnya, artinya keistiqomahan dalam menjaga paradigma yang baik terhadap nilai uang, dapat menambah kepercayaan sang pemilik uang untuk memberikan uangnya lagi kepada kita. Jadi tidak dipersulit kesampaiannya pada diri kita.