FRAMING POLITIK
Mengikuti dengan cermat “Program Paradox Papua” oleh Pastor Dr. Joshua Tewu dari episode pertama sampai episode ke tiga puluh sembilan, menggugah saya menulis sedikit terkait fenomena yang nampak dari berbagai pemikaran yang mucul pada setiap tema yang dipaparkan baik oleh para tokoh politik pengambil kebijakan negara, para tokoh sentral Papua entah mereka yang berseberangan dengan NKRI mapun yang pro-NKRI.
Framing Politik Penetapan Kelompok Separaatis Teroris Papua (KTSP), sebuah labelling bernada positif tetapi juga negasi bagi sebagian kelompok yang tidak menginginkan kehadiran TNI sebagai pelindung dan pengayom masyarakat terkait bagaimana menciptakan rasa aman dan nyaman bagi rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Tulisan ini merupakan bagian pertama dari tiga analisis terhadap fenomena interaksi yang dimunculkan pada “Program Paradox Papua” yang diharapkan menjadi sebuah gambaran faktual kondisi Papua sebelum reformasi 1998, sesudah reformasi, pemberlakuan UU No 21 Tahun 2021 dan kini memasuki pemberlakuan UU Nomor 2 Tahun 2021, sejauhmana pemberlakuan UU dimaksud berdampak pada “Rasa Memiliki” NKRI sebagai bagian dari seluruh masyarakat di Papua.
Situasi dan kondisi keamanan di Papua saat ini
Papua tidak sedang baik-baik saja. Pernyataan yang sejatinya memberikan gambaran bahwa Papua membutuhkan perhatian serius dari negara. Sejak integrasi sampai jatuhnya Soeharto, dari presiden ke presiden, kondisi keamanan di Papua tidak sedang baik-baik saja. TNI/ POLRI, ASN dan rakyat jelata teracam dengan perjuangan ideologi para pejuang untuk menggapai mimpi kemerkdekaan, berdaulat menjadi negera merdeka keluar dari NKRI. Korban kekerasan fisik, ancaman psikologis bahkan pembunuhan masyarakat sipil, TNI/ POLRI bukan rahasia umum bagi Negara bahkan dunia.
Ancaman terhadap TNI/ POLRI dan rakyat yang jatuh korban, pengrusakan berbagai infra struktur yang dibangun dengan milyaran rupiah bahkan trilyunan membuat ketakutan luar biasa dialami mereka yang berada di gunung, lembah, bukit, danau, sungai bahkan daerah-daerah terpencil di Papua.
Hal menarik dari kondisi para perjuang pro-merdeka bahwa kekerasan KKB atau KSTP adalah sebuah tindakan kolektif dilakukan oleh segerobolan orang, kumpulan orang terhadap TNI/ POLRI, masyarakat sipil dengan memukul, membunuh, memerkosa bahkan kekerasan sosiologis maupun psikologis. Dari episode ke episode Program Papua Paradox, semua komponen yang terlibat menyepakati bahwa tindakan kekerasan seperti ini tidak bisa diterima oleh siapa saja, bahkan oleh Negara yang wajib melaksanakan perlindungan terhadap warga negaranya.
Ancaman lebih dominan kepada TNI/Polri atau kepada masyarakat sipil?
Perjuangan idelogis tidak mengenal TNI/ POLRI atau masyarakat dalam upaya mencari perhatian dunia terhadap perjuangan menggapai kemerdekaan. Bahwa kehadiran TNI/ Polri selain bertugas, mereka juga melakukan bisnis di Papua untuk memperkaya diri.
Itu sebabnya dominasi ancaman sejatinya terhadap TNI/ Polri, juga kaum migran yang lebih banyak mengeruk kekayaan (uang) di Papua melalu berbagai bisnis memperkaya diri dan keluarga di Papua. Kebencian itu dikarenakan berbaggai kebijakan Negara tidak berpihak pada bagaimana Orang Papua maju dari berbagai persoalan kemiskinan dan keterbelakangan.
Justeru, setiap kapal putih milik PT. Pelni memasuki berbagai pelabuhan di Papua, sudah pasti ribuan bahkan jutaan manusia migran datang dan mendominasi ekonomi di Papua, merebut dunia birokrasi, politik bahkan hampir seluruh ASN di Papua didominasi oleh kaum migran di luar Papua. Artinya pada tataran ini, Ancaman bukan hanya untuk TNI/ Polri, tetapi seluruh migran di luar Papua yang hidup dan tinggal di Papua. Jika tidak mampu bersosialisasi diri dengan orang Papua, justeru secara fisik dan psikologis terancam.
Dampak penyebutan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) menjadi Kelompok Sepratis Teroris Papua (KSTP)
Perubahan labelling apapun, tidak memengaruhi daya juang mereka. Ideologi artinya, Orang Papua meyakini bahwa Indonesia berpura-pura mengonsepkan ide tentang, “Papua adalah Bagian Utuh dari NKRI” namun dalam prakteknya, sebutan itu hanya karena “MAU MERAMPAS KEKAYAAN PAPUA” bukan mencintai Orang Papua dengan seluruh eksistensinya.
Orang Papua tidak akan menjadi pejabat di daerah lain, kecuali orang di luar Papua bisa menjadi pejabat di Papua, gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota/ wakil wali kota, bahkan DPRD didominasi orang luar Papua. Orang Papua tidak bisa menjadi guru, dosen, PNS, Polisi, tentara, DPRD, bupati, wali kota bahkan gubernur di daerah lain. Papua hanya menjadi boneka Negara dalam berbagai regulasi, karena hanya mencintai sumber daya alamnya bukan manusianya. Artinya, labelling apapun formulasinya, perjuangan merdeka adalah tujuan akhir dan tidak terpengaruh dengan perubahan KKB menjadi KSTP. Justeru perubahan penyebutan berdampak pada militansi menggapai visi mereka.
Motif substantif di balik perubahan label dari KKB menjadi KSTP oleh Menkopolhukam
Menkopolhukam kurang memahami kondisi Papua. Rasionalisasi dari KKB menjadi KSTP tidak menyelesaikan persoalan. Perubahan apapun formulasi pergerakan di Papua tidak akan melunturkan perjuangan menggapai kemerdekaan.
Apapun resikonya, sampai kapanpun kematian mereka, anak cucu mereka akan berjuang menggapai visi/ mimpi Papua Merdeka. Otonomi Khusus berjilid-jilid sekalipun tidak menjadi solusi bagi perjuangan mereka kecuali Negara menggunakan strategi lain.
Bahwa putusan Menkopolhukam sangat tepat. Pasalnya dengan keputusan ini alat Negara seperti TNI oleh regulasi dapat mengintervensi kondisi chaos di Papua. Istilah KKB hanya memberi ruang bagi Polri di mana tindakan mereka hanya sebatas perbuatan pidana yang bisa di bawa ke pengadilan bagi para pemberontak.
Justeru perubahan labelling ke KSTP maka sorotan dunia internasional semakin kuat terhadap intervensi Negara. Jaringan teroris yang dikenakan memiliki fasilitas komunikasi yang canggih di mana seperistiwa sekecil apapun seketika itu juga dunia internasional tahu. Harus diingat bahwa fasilitas komunukasi tidak dimanfatkan internet dari sateli Indonesia, justeru separatis memiliki jaringan sendiri yang disinyalir akses itu diberikan oleh negara-negara yang secara tidak langsung contra terhadap kebijakan negara Indonesia terhadap Papua.
Bahwa perubahan labelling, sebenarnya TNI sejak dulu telah diterjunkan membantu Polri sesuai regulasi negara menjaga keamanan dan kenyamanan masyarakat sipil. TNI/ POLRI sangat humanis terhadap separatis. Sebagai alat negara justeru mereka tidak semena-mena memanfaatkan senjata untuk menembak separatis. Hanya jika nyawa mereka terancam barulah tindakan itu dilakukan. Bukti bahwa sudah banyak korban di Papua baik TNI/ POLRI, sejatinya dunia internasional menyadari betapa alat Negara tidak brutal menghadapi separatis. Tujuan pertama dan utama adalah menjaga keamanan dan kenyamanan warga sipil yang tidak tahu-menahu terkait perjuangan separatis.
Bersambung…