Bebatuan yang tergali dari perbukitan di bukit Syawal tepat di depan gedung USAMA dan Mts Sirnarasa PPKN III

Oleh Deni Kusuma)*

Betul-betul sukar dibayangkan dan sukar pula untuk dituangkan dengan kata-kata karena medan khidmat di Kampus Universitas Saefulloh Maslul Sirnarasa PPKN III mempunyai banyak sekali kejutan. Dua hari yang lalu, sejak penulis telah memutuskan untuk berhenti menulis karena kehabisan ide gagasan mesti apalagi yang bisa dikemukakan dari kampus ini. Sedangkan dari sisi intelektualitas penulis betul-betul sangatlah terbatas. Hanyalah lulusan strata satu dari Departemen Ilmu Sejarah Univeritas Gadjah Mada.

Bongkahan bebatuan besar di area depan MASKAM UNIVERSITAS SAEFULLOH MASLUL SIRNARASA PPKN III

Percayakah teman-teman, sesungguhnya penulis sudah mandeg, kalau mungkin berlebihan untuk mengatakan kepentok intelektual. Dengan referensi yang terbatas, riyadhoh spiritualitas yang alakadarnya, sangatlah mustahil untuk menarasikan kampus ini dengan baik, apalagi dengan mencoba untuk menggali nilai-nilai spiritualitasnya. Harusnya, kampus ini dinarasikan oleh pakar-pakar dari bukan hanya berlatar belakang historis yang sentuhannya adalah kata-kata manusia dan tulisan-tulisannya, akan tetapi juga garapan geografi, ekonomi, antropologi dan juga arkeologi. Betapa pengapnya seandainya penulis seorang diri yang mencoba untuk menarasikan kampus ini hanya dari sisi historis belaka.

Apakah dari sejarah awal berdirinya kampus ini ataukah dari bagaimana perkembangan setiap harinya tahun demi tahunnya dengan rekapitulasi arsip yang demikian baik. Iya, sebagaimana penulis pernah belajar dan diperkenalkan dengan studi kearsipan ketika masih kuliah. Mengapa penulis begitu terkesan “ngambek” dengan mencoba mengusik, kemanakah pemikiran brilian dari sekitar kampus USAMA untuk sama-sama memberikan dukungan moral dan moril apalagi finansial. Pembangunan ini kalau boleh penulis katakan, tidaklah sekompak pembangunan yang pernah penulis lihat di kampus penulis dulu juga di sebagain pesantren di Indonesia yang begitu cepatnya.

Lantas penulis mencoba menggali nilai spiritualitasnya agar tidak semata-mata terkesan mengeluh, padahal pembangunan kampus ini, betul-betul memerlukan perhatian. Sebagaimana lembaga pendidikan yang lain seringkali memposting tentang pembangunannya dan menarik perhatian banyak orang. Hampir setiap saat. Tetapi kampus USAMA tidak demikian. Penulis bahkan sampai diberi dukungan oleh guru penulis dari Papua, Pak Paulus Laratmase, beliau dosen Filsafat di salah satu kampus di Papua. Sampai orang Papua yang belum pernah berkunjung ke kampus ungu ini, tetapi punya hati yang jernih. Ketika penulis sudah betul-betul merasa keruh sekali hati, dengan sampai hati marah-marah dan ngedumel, dengan mencoba mendesain diri sebagai sejarawan muslim, padahal hanyalah lulusan S1 yang tak ada nilai sama sekali pemikirannya.

Akan tetapi karena realitas ini betul-betul bukan sembarang realitas. Tetapi sebuah realitas untuk anak bangsa Indonesia yang sering terabaikan begitu saja. Tanpa ada yang peduli menggali makna dalam setiap galian-galian tanah yang sedang dikerjakan oleh beko dan juga bebatuan dengan berat berton-ton. Kemanakah teman-teman penulis dari Departemen Arkeologi. Baiklah karena kita mungkin sudah berbeda dunia dengan ketika kita setelah lulus kuliah. Penulis tetap bersyukur karena ilham yang bersentuhan dengan studi arkeologi ini, membuat penulis bisa sadar kembali setelah hilang kesadaran beberapa saat.

Jujur saja, setelah kita menyebrang ke studi yang lain dalam arti ke studi arkeologi, dengan berkahnya penulis pernah bergaul dengan teman-teman arkeologi ketika masih kuliah. Setidaknya, penulis dapat memberikan pandangan yang jernih ketika melihat kampus ini, yang bilamana penulis hanya mengandalkan antropologi dan historis saja, maka penulis sudah pasti out dan putus asa. Tidak kebetulan ketika penulis…
[20.35, 28/1/2025] Deni Kusuma Dosen: Awalnya sangatlah berat sekali kalau penulis hanya memandang kampus ini dari perspektif historis saja, bahkan banyak sekali sejarawan baik dari dalam dan luar negeri yang ketika hendak menemukan suatu pencerahan, mereka juga melibatkan arkeologi, geologi, teknik geodisi ataupun geografi tanpa mengesampingkan aspek psikologi dan ekonomi. Semuanya itu merupakan satu kesatuan dan kemudian melahirkan pendekatan multidisipliner atau multidimensional kata guru kami Prof Sartono Kartodirdjo. Bayangkan bilamana kita menggunakan hanya sebatas pendekatan historis saja, atau ekonomi dan psikologi saja, maka bagaimana dengan puing-puing bebatuan yang beratnya berton-ton itu. Apakah kita beranggapan semuanya itu bisu?

Tidakkah kita membayangkan kalau dia bergerak seperti halnya tanah longsor menjadi natural disaster seperti Gunung Krakatau pada masa Kolonial Belanda, yang itu dapat menghantam pemukiman penduduk, bahkan mahasiswa dan karyawan yang sedang asyik mengajar pun, juga siswa-siswa dapat terkena dampaknya. Bukankah hampir sekarang ini setiap kejadian seringkali alam yang bertindak. Tanpa kita sadari, alam memberikan hukumannya entah karena dasar apa? Tetapi ketika penulis kembali sadar dan merefleksikan diri setelah perasaan yang berat ketika melihat realitas dalam lingkungan sekitar, lalu setelah selesai melaksanakan sholat Ashar, penulis dengan izin Alloh, menelisik ke area pembangunan dengan banyak sekali bebatuan besar dan bongkahan batu-batu yang siap dijadikan pondasi.

Awalnya penulis hendak berpaling dari realitas ini. Akan tetapi penulis tertegun sejenak, seolah-olah ada intuisi dari lorong sejarah di masa lalu ketika penulis sempat berguru kepada seorang teman arkeologi waktu di kampus. Beliau menyampaikan; “Den, ilmu arkeologi ini seringkali dipandang sebelah mata, karena kajiannya seringkali artefak-artefak yang tak bernyawa, tetapi ilmu inilah nanti yang dapat menjelaskan hakikatnya”. Waktu itu, penulis belum mengerti, karena memang penulis bersama teman penulis ini sama-sama sedang berada di sekitar tiga puluh jurusan, bergaul dengan teman-teman untuk sebuah riset bergengsi anak mapala kala itu. Dan perspektif arkeologi seringkali berada di opsi yang terakhir dan manut-manut saja.

Tetapi pada realitasnya, dosen-dosen penulis pun tetap menjunjung tinggi pendekatan multidimensional ini. Artinya tidak hanya memandang dari satu perspektif saja. Anehnya, refleksi ini baru muncul setelah penulis tiba di madrasah Tuan Syeikh. Kenapa tidak muncul ketika penulis di luar sana yang hampir-hampir penulis celaka dengan keradikalan penulis yang tertekan oleh realitas. Iya, realitas yang seringkali diabaikan narasi baiknya, sehingga terbawa arus oleh narasi buruk dari vibrasi-vibrasi intelektual yang seringkali negatif, bukan madzhab positivisme dan konstruktivisme; sedangkan dalam realitas yang tengah kita jalani bersama, atau pun di manapun yang sedang dalam pembangunan, maka madzhab kontruktuvisme ini menjadi aspek yang penting. Tanpa ada gairah, maka hancurlah sudah.

Tanpa positivisme, apalagi hanya narsisme, sinisme, maka narasi spiritualitas pembangunan ini dapat terlewatkan begitu saja, bagaikan anak tanpa perhatian yang baik dari lingkungan sekitarnya. Apalagi sampai membulinya. Sungguh sikap yang tidak berakhlak mulia. Padahal post-strukturalisme sekalipun mau tidak mau akan tetap ada, kendatipun dunia ini sudah banyak mengabtraksinya. Karena wifi yang dijadikan lahan untuk berselancar ke berbagai macam aspek informasi, harus dipasang didinding, tidak mengapung di udara, juga setiap mahasiswa dan dosen harus menapak kakinya di bumi dan di lantai-lantainya dan semua itu berpijak dari babatuan besar yang dicor hingga menguat dan dapat dijadikan sandaran kita mengais rejeki. Akankah kita bersyukur? Pantas guru seringkali mengisyaratkan kemarahannya, pada kenyataannya, diri kitalah yang terperdaya oleh pesimistis. Semoga kita diberikan kesabaran oleh Alloh sampai agenda pembangunan kampus ini selesai.

)* Clening Service di Universitas Saefulloh Maslul Sirnarasa PPKN III, Ciamis & Alumni dari Departemen Ilmu Sejarah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)