Oleh: Amelia Fitriani
CEO XYZ+ Agency, Anggota Satupena, Anggota Creator Club

Ketika putri kami yang masih balita menyaksikan adegan Bapaknya menyiksaku, tiba-tiba Bapaknya teriak: “Sini, Sayang! Ayo pukul Mama! Pukul Mama!”

Maka, putri kami pun melakukan permintaan bapaknya.

Fragmen kisah itu terasa menyayat sudut hati saya, ketika saya mendengarkannya dibacakan oleh penyair kawakan Nuyang Jaimee di PDS H.B. Jassin pada Selasa siang (30 Juli 2024). Nguyen dengan apik menempatkan emosi saat membacakan salah satu bab dalam buku “Menyisir Luka Hati” yang diluncurkan dan didiskusikan pada kesempatan itu. Tak pelak, puluhan audiens yang hadir ikut terbawa emosi. Beberapa di antaranya bahkan menitikkan air mata.

Hari itu saya hadir menjadi salah satu audiens di sana. Selain karena undangan dari penyunting buku itu, Pipiet Senja, alasan saya hadir ke acara tersebut juga adalah karena saya tertarik dengan buku yang mengangkat kisah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) itu.

Beberapa hari sebelumnya, saya berjumpa dengan Teh Pipiet, begitu saya biasa menyapanya. Ia bercerita mengenai buku terbaru yang ia sunting. Saya sempat mengerutkan kening saat itu, karena judul besar buku itu “Menyisir Luka Hati”, tapi subjudulnya adalah “Melakukan KDRT dengan Bahagia”. Saya protes saat itu juga ke Teh Pipiet, apa maksud judul itu? Kok jadi kesannya jadi semacam tutorial “how to”.

Teh Pipiet menjelaskan bahwa judul itu ia pilih karena tokoh laki-laki yang diangkat ke dalam buku itu kerap melakukan KDRT untuk kesenangannya. Tidak jarang ia tertawa terbahak-bahak ketika menyaksikan istrinya meringis dan merintih kesakitan usai dipukul, ditendang bahkan dilecehkan.

Dengan berapi-api, Teh Pipiet bercerita bahwa dia menyunting buku itu dengan penuh emosi. Seakan kembali mengorek luka lama yang berupaya dia kubur dalam-dalam. Dia juga pernah mengalami situasi serupa di masa lalunya.

Salah Duga

Pada kesempatan yang sama, Teh Pipiet memperkenalkan saya dengan Jeeta, nama pena dari seorang wanita yang merupakan penulis dan narasumber dari buku “Menyisir Luka Hati” itu.

Jeeta adalah ibu dari korban KDRT itu, yakni Risty. Baik Jeeta maupun Risty merupakan nama pena, bukan nama aslinya.

Jeeta sedikit bercerita mengenai kisahnya. Tampak jelas penyesalan mendalam dari air mukanya. Jeeta mengaku menyesali mengapa ia bisa terkena tipu daya seorang laki-laki yang disebut dalam buku itu bernama Dino.

Ia begitu kagum pada Dino, mulanya. Bukan tanpa alasan, Dino sekilas memenuhi semua syarat untuk menjadi menantu idaman. Dari segi fisik, di buku itu, Jeeta menggambarkan Dino sebagai sosok yang pembawaannya gagah dan wajah bersih.

Dari segi pendidikan, Dino juga merupakan lulusan Al Azhar Mesir dan sudah memiliki pekerjaan sebagai dosen di Sentul. Sedangkan dari segi adab, di buku itu, Jeeta menggambarkan Dino bersikap santun, lembut dan memiliki tutur bahasa yang baik.

Barangkali saat bertemu Dino untuk taaruf dengan putrinya, Risty, Jeeta membayangkan sosok Azzam dari film dan novel “Ketika Cinta Bertasbih”.

Namun di balik “ilusi” menantu idaman itu, Dino rupanya merupakan sosok menantu biadab. Betapa tidak, usai menikah, alih-alih menemukan kebahagiaan, Risty justru seakan terperangkap dalam “penjara” rumah tangga.

Tidak terhitung berapa pukulan, cubitan, tendangan dan pelecehan yang ia terima dari Dino. Dengan dalih bercanda, Dino melakukan beragam bentuk kekerasan itu dengan bahagia dan tidak jarang tertawa terbahak-bahak.

Bahkan hal terpahit yang harus dihadapi oleh Risty adalah saat Dino mengajak putrinya yang masih balita untuk ikut menyiksa ibunya, seakan-akan itu adalah sebuah kegiatan yang menyenangkan.

Saya bahkan kehabisan kata-kata saat mendengar kisah itu.

Siklus Kekerasan

Pada kegiatan peluncuran buku “Menyisir Luka Hati” di PDS HB Jassin, ikut hadir sebagai pembicara adalah Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi.

Dia memaparkan data yang menunjukkan bahwa kasus Kekerasan Terhadap Istri (KTI) selalu menempati urutan pertama dari keseluruhan kasus KDRT. Angkanya selalu berada di atas 70 persen.

Pola yang dihadapi kerap serupa. Perempuan yang terjebak pada siklus kekerasan umumnya akan sangat sulit membuat keputusan. Karena ia kerap memiliki banyak pertimbangan; apakah ia akan didengarkan, bagaimana dengan anak-anaknya, bagaimana dengan nama baik keluarganya dan semacamnya.

Oleh karena itu, jika ada perempuan korban KDRT pada akhirnya memutuskan untuk melaporkan atau buka suara, perlu mendapat dukungan. Karena untuk sampai pada keberanian itu, ia pasti sudah melalui pergolakan batin yang luar biasa hebat.

Saya kemudian berkaca pada diri saya sendiri. Saya tidak pernah mengalami KDRT, namun saya pernah mengalami pelecehan seksual saat duduk di bangku SMP. Seorang pria meraba alat vital saya saat berada di dalam angkot. Beruntung saya berhasil melarikan diri dengan segera, meski dengan kaki dan tangan yang gemetar hebat. Saya bahkan begitu trauma dan malu, hingga enggan menceritakan kejadian itu pada siapapun.

Tidak terbayangkan oleh saya bagaimana pergolakan batin yang dialami oleh Risty hingga akhirnya berani untuk buka suara dan bahkan menuliskannya ke dalam buku. Berapa kali ia harus mengendalikan diri saat kaki dan tangannya bergetar mengingat kekerasan yang ia alami.

Buku “Menyisir Luka Hati” seakan membawa saya untuk membaca luka korban KDRT. Tentu bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memberikan kekuatan pada sesama perempuan untuk berani mengambil keputusan ketika menghadapi situasi serupa. Buku ini membawa kesadaran bahwa perempuan, sebagaimana laki-laki, merupakan makhluk yang berharga dan tidak layak mendapat kekerasan.

Saya jatuh hati dengan penggalan puisi dari penyair Fanny Jonathans Poyk, yang ia bacakan pada acara peluncuran buku “Menyisir Luka Hati” itu.

Aku perempuan itu
Melenggang perkasa di ranah waktu
Kuselesaikan semua kisah pedih kemanusiaan
Aku tak hendak mati sia sia
Karena aku berharga untuk diriku *