Oleh Yusuf Achmad

Atas nama ibadah kau terlena. Seperti si kecil dengan boneka. Bagai sarang laba-laba. Bila si kecil ditinggal boneka.

Kau kibarkan bendera bergambar boneka. Di tengahnya bersarang laba-laba. Sarang mengikat pencari ketenangan jiwa. Berkibar bendera, kau gembira.

Di hati para pemula pencari sejuk jiwa. Seolah sah-sah saja. Kau salahkan keberagamaan juga. Mereka tak bergambar boneka atau laba-laba.

Kau lupa dan lengah. Sarang laba-laba dibandingkan benang baju boneka. Benang boneka lebih kokoh menancap di dada. Mengikat rasa, menyambung mesra. Tiada bendera yang ada rasa.

Rasa nasi kabuli, biryani atau putih biasa. Rasa bakso, pecel, martabak, terang bulan, bisa. Serasa kasih nabi tercinta. Mereka berbeda tapi sama.

Pemuas lapar di pesta merasuk sukma. Sering pesta ritualmu mengalahkan segala. Kau paksakan nasi kebuli atau biryani saja. Kau kalahkan selera mereka.

Kau lupakan si kecil terkungkung dekapan boneka. Sering asyikmu abai mana boneka mana manusia. Atas nama ibadah kau buta. Mana sarang, mana benang perkasa.
Mana hikmah atau menang, memaksa. Bukankah sarang itu lemah? Bukankah benang itu kuat lekat di badan boneka.