Oleh: Gunawan Trihantoro
–
Ada dusun kecil di Sumsel, tempat sunyi berbisik,
Di mana rahasia-rahasia melayang di balik tirai tipis.
Rumah-rumah bertumpu pada pondasi harapan,
Namun, ada tatapan yang menembus batas kesopanan.
Seorang ibu, dua anak menggenggam harinya,
Di antara riuhnya dapur dan tangis kecil di ruang lainnya.
Tetangga datang, tidak dengan kata,
Hanya mata yang tajam menelusuri celah tanpa sela.
Hari berganti dengan gelisah tak terungkap,
Dada tercekam oleh tatapan yang terasa mencekap.
Ada batas yang hilang di antara mereka,
Norma luruh dalam debu waktu yang terlupa.
Si ibu bicara kepada dindingnya sendiri,
Menggigil dalam marah yang tak terkendali.
“Apakah mata harus menjadi penghuni di rumahku?”
Begitu tanyanya pada bayangan di pintu.
Air keras, bukan solusi yang ia rencanakan,
Namun amarah meletup, hilang sudah pertimbangan.
Jerit membahana di pagi itu yang muram,
Wajah seorang tetangga kini membakar dalam diam.
Dusun gempar, berita menyebar seperti angin,
Seakan hukum alam terbalik, menjadi dingin.
“Siapa salah? Siapa benar?” orang bertanya,
Namun, keadilan bukan hanya milik logika.
Si ibu digiring menuju jeruji baja,
Anaknya menangis di pelukan yang tak ada.
Tetangga yang terluka membawa cerita lain,
Tentang mata yang hanya mengintip, tanpa tangan bermain.
Di persidangan, kata-kata menjadi senjata,
Namun hati siapa yang mampu membaca derita?
Hukum bicara dalam teks yang tegas,
Namun, apa arti keadilan di tengah manusia lemas?
Dusun itu kini menjadi panggung drama,
Di mana moral, norma, dan emosi saling menghujat tanpa tanda koma.
Si ibu berkata, “Aku hanya ingin dihormati,
Bukan dihantui oleh tatapan tanpa arti.”
Namun, apakah air keras jawabannya,
Atau ini hanyalah luka dari jiwa yang terluka?
Si tetangga terluka bukan hanya kulit,
Namun, dosa siapa yang sebenarnya sulit terpilit?
Dusun itu kini menjadi saksi bisu,
Ketika hukum dan nurani saling membisu.
Air keras mengalir seperti dosa dalam gelas,
Melunturkan hubungan yang pernah manis jadi tandas.
Dua anak itu kini terdiam di sudut rumah,
Menggenggam harapan yang remuk dalam gelisah.
Mereka bertanya pada langit di atas,
“Kapan ibu pulang, membawa senyum yang tulus?”
Namun, jawaban hanyalah sunyi yang melingkari,
Di antara pagar-pagar yang menyimpan rahasia duri.
Hukum bicara tentang kesalahan dan dosa,
Namun, di mana ruang bagi hati yang terluka?
Apakah tetangga itu hanya korban semata,
Atau keduanya menjadi pelaku di mata dunia?
Dusun kecil itu menjadi cermin manusia,
Ketika batas moral terhapus oleh luka.
Air keras bukan hanya melukai tubuh,
Namun memahat cerita pada jiwa yang sudah lusuh.
Dan ibu itu, di balik jeruji besi yang dingin,
Menghitung waktu, berharap pengampunan datang perlahan.
Tetangga itu, di balik luka yang membara,
Berusaha merajut kembali hidupnya yang berserakan di udara.
Kisah mereka adalah kisah kita semua,
Tentang bagaimana emosi bisa melumpuhkan logika.
Di balik pagar dusun, rahasia-rahasia berbisik,
Namun, semoga keadilan datang, meski tak pernah kilik.
Dusun itu mengajarkan satu pelajaran,
Bahwa penghormatan adalah hak yang tak bisa dilupakan.
Namun, dalam menghukum, janganlah lupa,
Ada dua sisi pada setiap cerita.
Hidup ini penuh pilihan yang rumit,
Namun kasih sayang selalu menjadi jalan yang paling legit.
Mungkin bukan hanya hukum yang harus bicara,
Namun juga hati nurani yang perlu bersuara.
Dan anak-anak itu, dua jiwa yang polos,
Berharap dunia ini kembali hangat dan tulus.
Dusun kecil di Sumsel itu, tempat rahasia melayang,
Kini menjadi monumen luka yang penuh bayang.
Namun, harapan tetap ada di antara reruntuhan,
Bahwa keadilan dan cinta akan kembali menemukan tujuan.
Blora, 2 Desember 2024
Catatan:
Puisi esai ini kisah fiksi yang terinspirasi dari kisah sebenarnya;
https://www.tempo.co/hukum/ibu-2-anak-di-sumsel-dipenjara-karena-siram-air-keras-ke-tetangga-yang-suka-mengintip–1168589