Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-78 pada tanggal 17 Agustus 2023, Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua, telah menggelar berbagai acara untuk meriahkan momen bersejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Salah satu acara yang terjadi pada tanggal 10 Agustus 2023 adalah Festival Budaya Nusantara. Festival ini melibatkan banyak pejabat daerah dan tokoh masyarakat, termasuk partisipasi aktif dari komunitas lokal dalam upaya bersama mendukung keberhasilan perayaan HUT RI-78 dan Sail Teluk Cendrawasih yang puncaknya pada bulan November nanti.
Festival ini menampilkan berbagai pertunjukan budaya dari seluruh nusantara, dengan ragam adat istiadat yang sangat unik: pakaian adat, tarian adat, musik daerah baik yang bersifat tradisional maupun modern, dan beragam ciri khas lainnya yang menggambarkan kekhasan dari masing-masing daerah.
Keberagaman menjadi refleksi penting bagi kita sebagai warga negara Indonesia, sesuai semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Artinya, di tengah perbedaan yang ada di Indonesia, kita harus mampu membangun persatuan dan kesatuan sebagai bangsa. Usaha untuk mencapai hal ini tidak dapat dilepaskan dari upaya menjaga dan menghormati keunikan setiap daerah yang menjadi bagian integral dari keberagaman kita.
Mengamati hal ini, filsafat telah membantu menggali makna yang lebih dalam dari keberagaman. Filsafat membuka jendela memahami nilai-nilai yang bisa dihayati dalam keberagaman. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah, apa makna sebenarnya dari keberagaman? Dan nilai-nilai apa yang bisa dihidupkan di tengah keberagaman tersebut? Bagaimana cara pandang yang seharusnya dimiliki terhadap keberagaman budaya? Pada skala lebih besar, bagaimana kita dmenjaga persatuan dan kesatuan sebagai anak bangsa?
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting untuk direfleksikan bersama agar momentum perayaan ini tidak hanya menjadi euforia semata, melainkan juga mengingatkan kita akan pentingnya menjaga persatuan.
Oleh karena itu, melalui filsafat, kita didorong berpikir kritis terhadap realitas budaya yang beragam. Daya kritis membantu menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila yang mungkin telah terlupakan atau terabaikan seiring berjalannya waktu. Namun, hal ini tidak hanya sebatas mengingat, tetapi juga merumuskan kembali makna dan relevansi nilai-nilai tersebut dalam konteks keberagaman yang semakin kompleks.
Dengan berpikir kritis, kita dapat menyumbangkan ide-ide berharga dan berarti bagi kemajuan budaya Indonesia. Momentum promosi pluralisme menjelang HUT RI ke-78, membantu kita merenung, merumuskan pandangan, dan mendorong pemikiran kreatif untuk menjaga dan memperkaya kekayaan budaya kita. Dengan begitu, kita dapat terus membangun persatuan yang kokoh dan mendorong perubahan positif dalam masyarakat.
Transformasi Kesadaran, pada tataran pemikir muda, Reza Watimena dapat dijadikan teropong kesadaran manusia sebagai makhluk berdbudaya. Bagi Reza, perlu disadari bahwa hidup berdampingan dengan masyarakat lain yang memiliki begitu banyak perbedaan. Dan salah satu dari perbedaan perbedaan itu adalah kebudayaan.
Reza menekankan inklusifitas dalam mana tidak ada pemaksaan atapun menyamakan segala sesuatu hanya karena persoalan mayoritas dan minoritas. Kenyataan banyak sekali kasus yang didasari akibat kurangnyaketerbukaan diri terhadap perbedaan. Fanatisme terhadap budaya sendiri dan merasa terusik dengan budaya lain. Sikap inilah yang berpotensi menimbulkan perpecahan bahkan dapat berakibat fatal.
Hampir setahun hidup dan tinggal di Papua, serentak mengubah pandangan tentang stigma orang luar tentang Papua pada umumnya. Diawali dengan pemikiran bahwa Papua ada pada wilayah konflik, penuh diskriminatif, terkenal dengan perjuangan kaum separatis dan pelbagai model konflik lain yang terkesn menakutkan. Pembauran interaksi dengan siapa saja yang dijumpai, pada akhirnya sirna semua jenis ketakutan yang menghantui.
Transformasi Kesadaran menurut Reza, “Kelekatan adalah sumber penderitaan, kelekatan membuat kita seolah-olah tidak bisa hidup tanpa sesuatu atau objek di luar diri kita”. Dan kebebasan terhadap kelekatan pikiran masa lalu itu dimungkinkan dengan mengalami dan hidup berdampingan bersama mereka.Dan inklusifitas hidup di Papua, semua Orang Asli Papua bahkan siapa saja telah menjadi model harmoni hidup dalam kesadaran berbudaya dalam pluralitas.
Kebudayaan
Ralph Linton, dalam bukunya The Cultural Background of Personality, mendefiniskan Kebudayaan sebagai seluruh cara kehidupan dari masyarakat manapun dan tidak mengenai sebagian dari cara hidup yaitu bagian yang dianggap oleh masyarakat lebih tinggi atau lebih diinginkan. Transformasi kesadaran pada term Reza Watimena, menjelaskan bahwa, hal-hal di luar diri kita adalah suatu bentuk “kelekatan” dan manusia terdorong untuk melekat pada sesuatu di luar dirinya”. Artinya manusia dan kebudayaan merupakan kompleksitas tindakan dan aktivitas manusia dalam masyarakat, seperti halnya pendapat Sosiologi Talcott Parsons dan ahli Antropoligi A.L Kroeber. Demikian Koentjarangrat mengonsepkan kebudayan pada keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.
Hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena hanya sebagian kecil dari tindakan manusia yang tidak dibiasakan dengan belajar seperti naluri, refleks, atau tindakan yang dilakukan akibat sesuatu proses fisiologis. Bahkan beberapa tindakan yang didasari atas naluri (makan, minum, dan berjalan) sudah dapat banyak dikembangakan manusia sehingga menjadi suatu tindakan yang berkebudayaan.
Kesadaran Berbudaya
Secara harafiah “kesadaran” berasal dari kata “sadar” yang berarti merasa, tahu, dan mengerti. Cambridge International Dictionary of English (1995) mengonsep kesadaran sebagai kondisi terjaga atau mampu mengerti apa yang sedang terjadi (The condition of being awake or able to understand what is happening).
Transformasi Kesadaran menurut Reza, ”merupakan sebuah pengalaman atau pengalaman sadar (conscious experience), atau pengalaman kehidupan (living experience)”. Lebih lanjut, Reza mereduksi kesadaran ke dalam 5 bentuk yaitu kesadaran distingtif, immersif, holistik-kosmik, meditatif, kekosongan.
Kelima tingkatan kesadaran itu, yang paling rendah adalah tingkat pertama dan yang paling tinggi dan murni adalah tingkat kelima. Kesadaran pada tingkat ke lima inilah yang seharusnya menjadi usaha bersama untuk diwujudkan karena kesadaran immersif, meditatif yang terarah pada kekosongan maka, memurut Reza keadilan dan perdamaian akan secara alami tercipta.
Bagaimana kesadaran nyata dalam perbauran hidup di Biak, Papaua?
Penerapan tahap-tahap kesadaran ditentukan oleh tingkat kesadaran sebuah komunitas kelompok manusia dalam dan melalui interaksinya. Sejauh mana kesadaran masyarakat berpijak disitulah kualitas masyarakat mengalami perkembangan. Secara fenomenologi, kita bisa men-generalisasi bahwa Indonesia dan dunia secara umum masih berada di tingkat kesadaran distingtif, sehingga konflik dan krisis terjadi berulang kali. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa perkecualian selalu ada. Kendati dunia secara global diliputi konflik, di belahan dunia lain tentu selalu ada manusia-manusia yang memiliki tingkat kesadaran yang tinggi. Optimisme itulah yang mesti bersemayam dalam hati dan pikiran masyarakat Kabupaten Biak Numfor untuk terbuka terhadap kemungkinan tumbuh dan berkembangnya kesadaran yang dimaksud (immersif, meditatif, kesadaran kekosongan), di mana pada level ini orang saling menghargai, memahami dan mengerti aneka bentuk perbedaan budaya sebagai satu kenyataan tanpa justifikasi. Karena itu yang mesti diupayakan adalah kehadiran orang-orang dengan tingkat kesadaran yang tinggi itu semakin bertambah agar tingkat kesadaran manusia juga bisa ditingkatkan secara global.
Berbagai literatur dipakai dalam uraian ini, kiranya membantu kita dalam usaha memahami hakikat kebudayaan dan kesadaran berbudaya sebagai fondasi pengetahuan dalam hidup bermasyarakat dan berbudaya. Dengan demikian, sampai pada sebuah konklusi bahwa melalui teori “Transformasi Kesadaran”, “kesadaran tertinggi” yang melekat pada diri sendiri dapat mendorong setiap orang untuk bertindak dalam batas-batas tertentu searah dengan nilai-nilai luhur adat istiadat yang mesti dilestarikan.
Dengan demikian kontribusi pemikiran ini kiranya menjadi sumbangan pengetahuan yang dapat disadari oleh masyarakat Papua khususnya warga masyarakat di Kabupaten Biak Numfor untuk senantiasa bertindak sadar dalam hidup berbudaya. Kesadaran macam apa yang mesti ditumbuhkan yaitu: kesadaran perihal menanamkan sikap multikulturalisme. Hemat saya sikap toleransi untuk saling menghargai antar budaya di Kabupaten Biak Numfor cukup bertumbuh baik. Tidak hanya budaya, sikap toleran terhadap perbedaan agama pun sangat kental dirasakan mengingat agama dan budaya adalah sesuatu yang berdampingan. Bahkan menurut para perintis, pendahulu atau mereka yang dituakan di Kabupaten ini beberapa diantaranya mengatakan:”Kabupaten Biak Numfor” termasuk kabupaten yang aman, jarang bermunculan konflik-konflik ekstrem yang memecah belah warga. Dengan ini saya yakin founding fathers kita di kabupaten ini telah banyak menanamkan fondasi nilai-nilai budaya yang begitu kuat sehingga diharapakan para milenial penerus generasi mendatang dapat mengintegrasikan semangat yang sama untuk kemajuan bangsa lebih khusus di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua.
Selain itu, adanya sosialisasi budaya melalui lembaga pendidikan. Hal demikian sudah teraplikasi dengan baik dalam kurikulum satuan pendidikan kita yaitu dalam bentuk muatan lokal. Bagi saya adalah sebuah langkah bijak untuk tetap menjaga eksistensi budaya lokal melalui lembaga pendidikan formal, di mana kesadaran akan kebudayaan selalu ditumbuhkan dan diperkenalkan sebab merupakan asset kekayaan budaya yang mesti diketahui banyak orang dan dilestarikan.
Adapun yang mesti ditumbuhkan adalah kebudayaan terus ditampilkan lewat berbagai pentas seni dan budaya. Dalam hal ini Kabupaten Biak Numfor telah menjadikannya sebagai rutinitas tahunan. Pentas seni dan budaya sudah selalu ada dalam berbagai event daerah dan baru-baru ini Pemerintah Kabupaten Biak Numfor menggelar rangkaian kegiatan menyongsong HUT RI-78 yang tak luput juga dari kegiatan berbudaya yakni Festival Budaya Nusantara: dan menuju acara puncak kebudayaan “Sail Teluk Cenderawasih” pada November mendatang. Apresiasi untuk semua stakeholder dan keterlibatan masyarakat setempat dalam menyukseskan kegiatan tersebut sebab hal demikian merupakan satu cara untuk tetap menumbuhkan kesadaran berbudaya. Terlebih senantiasa mencintai dan menjaga budaya sendiri. Sebab tanpa rasa cinta dan peduli terhadap kebudayaan, mustahil bagi kita untuk menjaga eksistensi budaya yang kita miliki.
Fenan Ngoranmele