Oleh Gunawan Trihantoro)*
–
Setiap tanggal 25 November, Indonesia merayakan Hari Guru Nasional. Sebuah momentum penting untuk merenungkan peran para pendidik dalam membentuk masa depan bangsa. Namun, di era algoritma ini, tantangan yang dihadapi para guru semakin kompleks. Kemajuan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mesin, telah mengubah cara manusia memperoleh, menyebarluaskan, dan memanfaatkan ilmu pengetahuan. Pertanyaannya kini adalah: bagaimana peran guru di tengah arus digitalisasi dan dominasi algoritma yang semakin kuat?
***
Era algoritma ditandai dengan kehadiran teknologi yang mampu memahami, memproses, dan bahkan menggantikan beberapa fungsi manusia. Platform pembelajaran daring seperti Google Classroom, Ruangguru, atau bahkan YouTube telah mengubah paradigma belajar dari tradisional menjadi digital. Anak-anak kini dapat mengakses informasi kapan saja dan di mana saja melalui perangkat elektronik mereka.
Namun, era ini bukan tanpa tantangan. Meskipun informasi tersedia melimpah, tidak semua informasi valid dan relevan. Algoritma sering kali memprioritaskan konten berdasarkan popularitas, bukan kualitas. Di sinilah peran guru menjadi semakin vital sebagai penyaring informasi. Guru tidak hanya dituntut untuk mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga kemampuan berpikir kritis kepada siswa agar mereka dapat memilah informasi yang benar di antara lautan data yang ada.
***
Di tengah derasnya arus teknologi, guru memegang peran sebagai penjaga nilai-nilai kemanusiaan. Algoritma mungkin bisa menjawab pertanyaan, tetapi tidak dapat membentuk karakter. AI mampu memberikan solusi matematika yang rumit, tetapi tidak bisa mengajarkan etika atau empati. Pendidikan bukan sekadar soal transfer ilmu, tetapi juga proses membentuk manusia yang berintegritas, beradab, dan bermoral.
Guru di era algoritma harus mampu menanamkan nilai-nilai tersebut kepada siswa. Ini bisa dilakukan melalui berbagai cara, seperti menciptakan suasana belajar yang inklusif, membangun diskusi yang mendalam, dan memberikan contoh nyata bagaimana bersikap dalam kehidupan sehari-hari.
***
Meskipun teknologi menawarkan banyak manfaat, tidak dapat dipungkiri bahwa ia juga menghadirkan tantangan baru bagi guru. Salah satu tantangan terbesar adalah kesenjangan digital. Tidak semua guru memiliki akses atau kemampuan untuk memanfaatkan teknologi dengan optimal. Sebuah survei menunjukkan bahwa banyak guru di daerah terpencil belum familiar dengan platform pembelajaran daring. Hal ini menciptakan ketimpangan dalam sistem pendidikan.
Selain itu, algoritma sering kali menggantikan peran guru dalam beberapa aspek. Misalnya, aplikasi pembelajaran AI yang mampu menilai kemampuan siswa secara instan atau memberikan rekomendasi pembelajaran yang dipersonalisasi. Meskipun teknologi ini efektif, ada kekhawatiran bahwa kehadiran guru bisa dianggap kurang relevan jika tidak mampu beradaptasi.
***
Daripada melihat teknologi sebagai ancaman, guru harus memanfaatkannya sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Teknologi seharusnya menjadi mitra, bukan pengganti. Guru dapat menggunakan AI untuk menganalisis kebutuhan belajar siswa secara individual, sehingga dapat memberikan pendekatan yang lebih personal.
Namun, ini tidak berarti bahwa teknologi bisa berjalan tanpa kontrol. Guru harus tetap menjadi pusat dalam proses pendidikan, memberikan konteks, dan mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan nyata. Sebuah algoritma mungkin bisa memberi tahu siswa apa yang harus dipelajari, tetapi hanya guru yang bisa memberi tahu mereka mengapa hal itu penting.
***
Di tengah hiruk-pikuk digitalisasi, penting untuk mengingat hakikat pendidikan. Pendidikan adalah proses membangun manusia seutuhnya, bukan hanya sekadar mencetak individu yang kompeten secara teknis. Di era algoritma ini, ada risiko bahwa manusia hanya akan menjadi roda dalam mesin besar tanpa memahami makna keberadaannya.
Guru, sebagai pendidik, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa siswa tidak hanya mahir menggunakan teknologi, tetapi juga memahami dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan. Nilai-nilai seperti keadilan, kesetaraan, dan keberlanjutan harus menjadi bagian dari kurikulum di era modern ini.
Pentup
Hari Guru di era algoritma bukan hanya momen untuk mengapresiasi dedikasi para pendidik, tetapi juga refleksi tentang masa depan pendidikan. Di tengah arus digitalisasi, guru harus menjadi pemimpin transformasi, membimbing siswa melewati kompleksitas dunia modern.
Dengan menggabungkan teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan, guru dapat menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijak. Generasi yang mampu menggunakan teknologi untuk kebaikan bersama, bukan sekadar memenuhi ambisi pribadi.
Maka, marilah kita jadikan Hari Guru ini sebagai momentum untuk memperkuat peran pendidik dalam menghadapi era algoritma. Karena, pada akhirnya, meskipun algoritma bisa mengubah dunia, hanya guru yang bisa menciptakan manusia yang benar-benar memahami dunia itu.
Gunawan Trihantoro)* Adalah Sekretaris FKEAI Provinsi Jawa Tengah