Dalam gambar tersebut, terlihat sekelompok anak muda yang sedang menikmati waktu mereka di sebuah tempat mewah, mungkin seperti rooftop bar atau klub elit. Mereka mengenakan pakaian yang mahal dan trendi, sambil memegang minuman beralkohol, menunjukkan kebahagiaan dan kesenangan dalam momen tersebut.

Oleh: Fenan Ngoranmele

Fenomena yang saya saksikan di kalangan anak muda saat ini sungguh memprihatinkan. Mereka tampaknya terjebak dalam lingkaran hedonisme: berlibur ke tempat-tempat eksotis, mengenakan pakaian bermerek yang harganya selangit, nongkrong di kafe dan bar mahal, lalu memamerkan semua itu di media sosial seolah-olah itulah puncak kehidupan. Namun, ada pertanyaan mendesak yang tak bisa saya abaikan: Dari mana uang itu mereka dapatkan? Bagaimana latar belakang mereka? Apakah mungkin uang sebanyak itu diperoleh dengan cara yang benar dan halal, jika hanya untuk dihamburkan pada gaya hidup yang kosong?

Secara logis, hanya ada beberapa kemungkinan. Mungkin ada yang berasal dari keluarga kaya raya, yang orang tuanya mampu mendanai gaya hidup mewah ini. Tetapi bagaimana dengan mereka yang tidak berasal dari latar belakang seperti itu? Apakah mereka bekerja di industri yang menawarkan penghasilan besar dalam waktu singkat, seperti menjadi influencer atau artis? Jika ya, sampai kapan mereka bisa terus hidup dalam fatamorgana ini?

Yang lebih mengganggu saya bukan hanya dari mana asal uang tersebut, tetapi tujuan hidup dan nilai-nilai apa yang sebenarnya mereka perjuangkan. Gaya hidup hedonis yang saya amati ini tampaknya hanya berfokus pada kenikmatan instan dan pencitraan diri di media sosial. Ini bukan hedonisme sejati, melainkan “hedonisme palsu” yang dangkal. Kebahagiaan sejati bukanlah pencapaian material yang remeh, melainkan ketenangan batin dan makna hidup yang lebih dalam.

Epikurus, seorang filsuf Yunani, mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada ketenangan batin dan kebebasan dari rasa sakit, bukan pada pengejaran kenikmatan material yang berlebihan. Namun, apa yang kita lihat sekarang hanyalah kebahagiaan superfisial, kenikmatan sesaat yang tak memberikan kepuasan jangka panjang. Anak muda kebanyakan tampaknya hidup dalam ilusi, tertipu oleh kilau media sosial yang membuat mereka percaya bahwa hidup hanya soal menumpuk kenikmatan yang dangkal dan sementara.

Jika hidup mereka hanya berfokus pada pengejaran kenikmatan sesaat tanpa memperhatikan nilai-nilai yang lebih dalam, seperti tanggung jawab kepada keluarga, kontribusi bagi masyarakat, atau pencapaian pribadi yang bermakna, maka mereka sedang membangun hidup di atas fondasi yang rapuh. Mereka menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa kenikmatan material adalah tujuan akhir, padahal kenyataannya, itu hanyalah bayangan yang cepat menghilang.

Gaya hidup hedonis yang hanya berpusat pada citra dan konsumsi adalah bentuk pelarian dari realitas yang lebih dalam. Alih-alih mencari kebahagiaan sejati, mereka justru terjebak dalam siklus tanpa akhir untuk mempertahankan citra yang kosong dan tidak memiliki substansi. Ini bukan hanya salah arah, tapi juga penghancuran nilai-nilai kehidupan yang sebenarnya penting.

Pertanyaan besar yang harus mereka jawab adalah: Apa yang sebenarnya mereka perjuangkan? Apakah mereka benar-benar mencari kebahagiaan sejati, atau hanya memuaskan ekspektasi sosial yang dangkal? Saya melihat bahwa mereka mengabaikan nilai-nilai yang lebih besar, seperti tanggung jawab terhadap keluarga atau masyarakat, demi pengejaran kenikmatan yang tidak bermakna.

Pada akhirnya, hidup yang diisi dengan kenikmatan sesaat mungkin terlihat menarik, tetapi hidup seperti itu tidak akan memberikan makna atau kepuasan yang mendalam. Saya tidak bisa berhenti bertanya: Apakah mereka benar-benar hidup dalam realitas, atau hanya terperangkap dalam bayang-bayang kenikmatan semu yang cepat berlalu?