Oleh: Alif Yusuf Vicaussie
Tulisan ini akan mencoba secara ringkas membahas mengenai bagaimana pandemi Covid-19 yang kita alami sekarang mengungkapkan fenomena sakit kepada masyarakat dan kaitannya dengan pemikiran Martin Heidegger. Kemudian sedikit mengenai fenomena masa bayi, fenomena masa muda, fenomena masa tua, fenomena disabilitas, fenomena jender, dan fenomena cinta, serta mengenai jaringan sosial yang lebih luas dari yang dibahas Heidegger.
Fenomena Sakit
Sakit merupakan suatu fenomena yang cukup tersembunyi dari masyarakat. Tentu sekarang secara keilmuwan kita sudah sangat maju sehingga kita dapat mengontrol dan membuat vaksin untuk berbagai penyakit. Namun justru karena itu sakit menjadi suatu fenomena yang tersembunyi. Kebanyakan penyakit yang kita alami mudah disembuhkan dan dapat dihindari, tidaklah membahayakan. Kalaupun berbahaya penyakit tersebut tidaklah mudah terserbar dan oleh karenanya sakit menjadi fenomena yang tidak terlalu diperhatikan. Namun dengan pandemi Covid-19, masyarakat luas menjadi ‘tersadar’ dengan fenomena sakit. Tanpa adanya vaksin yang tersedia secara meluas, masyarakat berhadapan dengan suatu penyakit yang dapat menyebabkan berbagai macam gangguan yang bahkan dapat membahayakan tubuh. Masker yang awalnya digunakan hanya oleh beberapa orang saja yang ingin menghindari menularkan atau tertular penyakit – sadar bahwa fenomena sakit itu ada – menjadi suatu kewajiban. Menjaga jarak dan mencuci tangan juga menjadi suatu hal yang wajib dilaksanakan.
Pandemi ini mengungkapkan fenomena sakit kepada masyarakat – fenomena sakit ini mengungkapkan betapa ‘lemah’-nya tubuh manusia. Selain itu kesadaran akan fenomena sakit juga membawa di belakangnya kesadaran akan fenomena kematian. Sakit yang parah dapat menyebabkan kematian. Pandemi yang menyadarkan masyarakat terhadap fenomena sakit – dengan fenomena kematian yang mengikuti – membuat Dasein menjadi angst (cemas) terhadap dirinya dan mulai memproyeksikan dirinya ke depan. Dasein mulai merencanakan bagaimana ia harus hidup, mengarahkan diri ke kepenuhannya atau diri yang autentik.
Fenomena sakit tidaklah menjadi fokus dari pemikiran Heidegger, akan tetapi itulah yang menjadi masalah yang akan dibahas di bagian berikutnya.
Kritik Terhadap Pemikiran Heidegger
Havi Carel dan Fenomena Sakit
Pemikiran Heidegger mendapat kritik dari Havi Carel, profesor filsafat di universitas Bristol, di dalam bukunya Phenomenology of Illness. Carel menuliskan bahwa Heidegger mendefinisikan manusia sebagai ‘being able to be’ (Ada yang bisa menjadi) (PI 80).[1] Definisi tersebut bagi Carel bermasalah karena hanya menangkap bagian terbatas dari kehidupan manusia dan melupakan hal yang umum dialami manusia, yakni sakit. Carel memberikan kritiknya terhadap definisi tersebut dalam tiga bagian:
Pertama, definisi tersebut hanya menangkap tengah kehidupan manusia, tidak termasuk masa bayi, masa pertumbuhan, dan masa tua. Kedua, definisi tersebut hanya menangkap tipikal masa dewasa yang sehat dan otonom, di mana kemampuan menjadinya tidak terhambat penyakit atau disabilitas. Ketiga, definisi tersebut melupakan bagaimana pentingnya orang lain untuk keberadaan kita.
Heidegger mengabaikan dua sisi kehidupan manusia yaitu masa kecil dan masa tuanya, dan karenanya mengabaikan aspek penting dari kehidupan manusia: penurunan kemampuan, ketidakmampuan, dan kegagalan menjadi. Ketika sakit atau menua kita menjadi tidak dapat melakukan sesuatu. Sakit yang kronis, tulis Havi, bahkan dapat membuat kemampuan seseorang ‘menjadi’ berubah secara radikal atau bahkan tertutup. Untuk itu Havi mengusulkan agar definisi Heidegger tidaklah dipahami secara literal dan konsep ‘being able to be’ dimodifikasi untuk mengakomodasi orang sakit dan penyandang disabilitas. Usul Havi adalah sebagai berikut:
Pertama, gagasan ‘being able to be’ dilebarkan untuk memasukkan kemampuan yang berbeda-beda secara radikal. Kedua, ‘inability to be’ (ketidakmampuan menjadi)[2] perlu dijadikan sebagai cara mengada selain kematian.
Maksud dari usul pertama Havi sejauh pembacaan saya adalah bahwa manusia pada kenyataannya memiliki kehidupan yang lebih luas daripada hanya kehidupan yang sehat dan otonom. Manusia dapat sakit dan menjadi tua, oleh karenanya kemampuan mengadanya juga berubah. Seperti yang telah saya ungkap sebelumnya, Havi telah menuliskan bahwa sakit kronis dapat mengubah secara radikal kemampuan ‘menjadi’ seseorang dalam definisi Heidegger. Orang sakit kronis tersebut tidak mungkin dapat mencapai keautentikan yang sama dengan orang yang sehat. Namun Havi di sini mengatakan bahwa kemampuan ‘menjadi’ dari orang yang sakit itu tidaklah mengurangi keautentikan orang tersebut. Mereka masih dapat menjadi autentik. Hanya cara ‘menjadi’ mereka saja yang berbeda.[3]
Sementara di usulan kedua, Havi ingin memperlihatkan bahwa selain kematian ada cara mengada lain di kehidupan yang dapat mengubah seseorang, yaitu fenomena sakit. Fenomena sakit membuat dasein tidak dapat ‘menjadi’, bahkan sebelum ia mengalami kematian. Sakit dapat memberikan suatu hambatan permanen bagi kemampuan ‘menjadi’, akan tetapi kematianlah yang menutup seluruh kemungkinan ‘menjadi’ tersebut.
Heidegger memang membahas bahwa kemungkinan yang dimiliki Dasein dibentuk oleh berbagai hal di dunia sebelum ia lahir, seperti kekayaan, situasi politik, agama, jender, dan lainnya (PI 82).Dasein terlempar ke dunia (RH 84).[4] Namun Heidegger tidak membahas mengenai cara mengada dalam batasan-batasan tersebut.
Havi kemudian mengkritik konsep angst Heidegger. Angst, atau kecemasan (anxiety) dicirikan Heidegger dengan hilangnya pemahaman Dasein terhadap dirinya sendiri (RH 116). Sementara Havi mengatakan bahwa anxiety adalah kondisi hilangnya makna (PI 94). Havi mengkritik konsep angst dengan menggunakan bodily doubt (keraguan tubuh), sebuah bentuk kecemasan di mana orang yang sakit menjadi ragu akan tubuhnya sendiri. Tubuh tampak sebagai pengkhianat, di mana biasanya orang tersebut dapat berjalan jauh sekarang ia bahkan tidak dapat meninggalkan tempat tidur. Bukan hanya gangguan secara fundamental yang dialami melainkan juga gangguan terhadap tubuh (PI 92).
Dalam rangka memperjelas maksud Havi tentang mampunya keraguan tersebut untuk dijelaskan dan diekspresikan, kita bisa mengambil contoh seseorang yang sakit sesak nafas kronis. Dirinya yang awalnya dapat beraktivitas dengan lancar menjadi tidak lagi bisa banyak melakukan apa-apa. Ia ragu akan tubuhnya. Akan tetapi keraguannya itu bisa dipahami sebagai suatu keadaan di mana kita masih tidak dapat menerima situasi tersebut. Selain itu kita juga dapat mengekspresikan dengan mudah perasaan kita terhadap keraguan tersebut, yang mana, tulis Havi, kita merasa dikhianati oleh tubuh. Dengan ini, Havi menunjukkan aspek kehidupan manusia yang diabaikan oleh pemikiran Heidegger.
Fenomena Yang Lainnya
Selain fenomena sakit, sebenarnya dari kritik Havi mengenai Heidegger yang mengabaikan cara ‘mengada’ lainnya, kita juga bisa mengambil fenomena lain tersebut sebagai contoh. Fenomena masa tua, fenomena masa bayi, fenomena masa kecil, dan fenomena disabilitas memang disinggung oleh Havi, meski bukan merupakan fokus pembahasannya.
Semua orang akan menjadi tua. Mungkin kemajuan teknologi medis akan menghentikan hal tersebut, tetapi untuk sekarang semua orang pasti akan menjadi tua. Penuaan membuat kita semakin melemah dan pada akhirnya menjadi sulit untuk melakukan berbagai hal, termasuk kemampuan menjadi kita. Dasein tidaklah seperti harapan Heidegger, yaitu ‘Being All Able’ [5] (Ada yang selalu bisa). Ketika Dasein menjadi tua, ia kehilangan kemampuannya untuk mencoba berbagai kemungkinan-kemungkinan yang bisa ia dapatkan ketika masih muda. Namun itu bukan berarti orang tua kurang autentik daripada orang muda. Orang tua memiliki cara ‘mengada’ yang berbeda dari orang muda, dan itulah yang harus disadari.
Fenomena masa kecil juga dialami semua orang. Apakah bayi dapat diharapkan menjadi autentik dengan definisi Dasein yang autentik Heidegger?[6] Tentu tidak, Heidegger dalam pemikirannya menaruh bayi sebagai manusia yang akan berkembang. Kemudian kelak ketika sudah memasuki usia pertengahan, ia mulai dapat menjadi manusia yang autentik. Manusia yang masih bayi maupun yang balita masihlah memiliki kemampuan yang terbatas, akan tetapi seperti yang sudah dikatakan itu bukan berarti mereka tidaklah autentik. Moda mengada mereka saja yang berbeda. Selain itu Heidegger melakukan suatu kesalahan krusial dengan definisi autentik dan fokusnya terhadap fenomena kematian, yaitu kenyataan bahwa manusia yang baru lahir dapat mati. Heidegger dengan konsep keterlemparan memang menjelaskan bahwa Dasein dalam setiap momen keberadaannya selalu dekat dengan akhir kehidupannya (RH 190); Dasein bahkan ketika masih bayi dapat mati. Namun Heidegger seolah mengabaikan itu dan mengatakan setiap Dasein dapat menjadi autentik. Masalahnya dengan definisi autentik yang Heidegger gunakan bayi tidaklah dapat menjadi autentik, bayi tidaklah dapat memproyeksikan masa depannya dan juga tidaklah dapat menerima fakta akan adanya kematian.[7] Selain itu Heidegger menjelaskan bahwa Dasein selalu dalam kemungkinan untuk berubah dari inautentik menjadi autentik dan sebaliknya (RH 184). Tidak ada inautentisitas permanen, begitu juga sebaliknya. Namun bayi yang juga merupakan Dasein dapat mematahkan itu dengan kematiannya. Bayi dapat tidak pernah menjadi autentik sama sekali dalam hidupnya. Hal itu sebenarnya dapat dihindari dengan memperluas definisi cara mengada dan autentisitas, seperti yang didorong oleh Havi.
Anggap saja masa muda juga sudah dibahas ketika kita membahas masa bayi. Sekarang yang belum dibahas adalah fenomena disabilitas. Berbeda dengan fenomena bayi, fenomena masa muda, dan fenomena masa tua, dan bahkan fenomena sakit — fenomena disabilitas tidaklah dialami semua orang. Walaupun begitu fenomena disabilitas tetaplah merupakan suatu fenomena yang merupakan bagian dari kehidupan manusia. Havi sendiri memang membahas fenomena sakit, akan tetapi ia berfokus pada penyakit yang tidak dialami setiap orang layaknya fenomena disabilitas, yaitu sakit kronis. Fokus pada sakit kronis itu sendiri dilakukan karena Havi mempunyai sesak nafas kronis yang membuatnya sulit beraktivitas apa-apa (PI 72). Penyandang disabilitas, layaknya penyandang sakit kronis terhalang dari banyak kemungkinan yang ia dapatkan. Mereka memiliki ‘inability to be’, yang merupakan suatu cara mengada yang tidak disorot Heidegger. Pemikiran Heidegger, sengaja atau tidak, mengandung albeisme, atau pembiaran terhadap penyandang disabilitas. Fenomena disabilitas sekali lagi memperlihatkan kurang luasnya cakupan dari Dasein Heidegger.
Fenomena di Luar Yang Disebutkan Havi Carel
Selain semua fenomena yang tidak disorot oleh Heidegger yang sudah diangkat oleh Havi, ada beberapa fenomena lain yang saya ingin angkat seperti fenomena jender dan fenomena cinta. Fenomena jender merupakan sesuatu yang bisa dikatakan terungkap ke permukaan setelah selama ini dipaksa ditutupi. Semua manusia memiliki jender, baik binary atau non-binary (queer).[8] Jender dapat mempengaruhi bagaimana kehidupan seseorang, terutama di masyarakat yang berpihak kepada jender tertentu (cont. patriarkis). Banyak orang queer yang tidak bisa mendapatkan kesempatan untuk mencoba kemungkinan-kemungkinan yang ada bagi mereka. Heidegger dengan berfokus pada model manusia yang sehat, bekerja, beraktivitas, bebas, cinta terhadap negara[9], membuat Heidegger luput dari fenomena jender. Banyak queer yang menjadi sakit karena tidak bisa mendapatkan perawatan, tidak bisa bekerja karena jendernya, sulit beraktivitas karena dapat diserang oleh orang yang membenci mereka, dan tidaklah bebas dilihat dari beberapa hal tersebut. Cinta terhadap negara juga merupakan suatu hal yang asing bagi banyak orang dari kaum minoritas, terlebih karena negaralah yang biasanya membangun struktur yang menindas mereka. Queer, minoritas, atau perempuan tidak akan bisa menjadi autentik atau bahkan dianggap Dasein jika menuruti definisi Dasein dan autentik Heidegger. Sekali lagi ditegaskan, perlu perluasan definisi yang dapat mengakomodasi perbedaan jender dan kaum minoritas.
Fenomena lain yang saya ingin angkat adalah fenomena cinta. Cinta dialami oleh banyak orang. Meski ada juga orang yang tidak mengalami perasaan cinta secara romantis dan hanya secara platonik, akan tetapi itu tetap pengalaman cinta. Pengalaman cinta membuat Dasein rela mengorbankan kemungkinan-kemungkinan yang ia punya untuk membuat Dasein yang lain menggapai kemungkinannya dan mencapai keutuhan. Di sini kita lihat bahwa Dasein tidaklah mengejar keutuhan sendiri seperti yang dibicarakan Heidegger. Ada Dasein yang memang mengejar kepenuhan diri, akan tetapi ada juga Dasein yang karena cinta tidak mengejar kepenuhan dirinya. Bisa dikatakan bahwa pengorbanan tersebut justru adalah bentuk kepenuhan dari dirinya. Namun bukankah perlu adanya perencanaan bagi dirinya di masa depan dan bukan perencanaan bagi orang lain? Bisakah dikatakan orang tua yang tenggelam dalam keseharian demi anaknya kurang autentik? Sekali lagi, perlu adanya perluasan definisi yang autentik.
Jaringan Sosial
Kembali ke kritik Havi terhadap Heidegger. Terdapat tiga bagian kritik Havi terhadap definisi manusia Heidegger. Bagian ketiga menyebutkan bahwa Heidegger melupakan bahwa orang lain penting bagi diri kita. Heidegger sendiri mempunyai konsep “lot” (RH 215-216). Namun konsep tersebut hanya menyinggung bahwa ada Dasein lain dalam kehidupan dan pilihan yang mereka buat atau kita buat akan mempengaruhi kemungkinan yang kita atau mereka punyai. Kita semua saling terhubung. Konsep tersebut tidak membahas mengenai bagaimana kita dapat ‘able to be’ dengan bantuan orang lain. Dalam fenomena cinta, saya sudah menyinggung hal tersebut, bahwa kita bisa membantu orang lain untuk mencapai keutuhannya. Havi, yang mengalami sesak nafas dan susah berbuat apapun, dengan bantuan orang lain dapat menggapai kemungkinan-kemungkinan yang ada. Terdapat jaringan sosial yang lebih luas dari sekedar saling mempengaruhi satu sama lain, yaitu jaringan sosial antara Dasein untuk mencapai kepenuhannya.
Orang yang sakit kronis dan penyandang disabilitas sangat memerlukan bantuan orang lain. Dengan konsep Dasein yang mencapai kepenuhannya dengan cara yang terlalu individualistik maka sulit untuk mengatakan orang yang sakit kronis dan penyandang disabilitas sebagai Dasein yang autentik. Konsep Dasein perlu diperluas, dengan memasukkan orang lain sebagai bagian dari cara kita mencapai kepenuhan dan bukan sekedar Dasein lain yang mencoba menjadi autentik. Selain itu, penggunaan alat bagi orang yang sakit kronis dan penyandang disabilitas penting disinggung. Heidegger juga membahas mengenai alat dan bagaimana kita menggunakan alat untuk mencapai kepenuhan kita, akan tetapi definisi alat pada Heidegger hanyalah alat dan mengasumsikan kita memiliki tubuh yang dapat menggunakan alat. Namun bagi orang sakit dan penyandang disabilitas, benda yang mereka pakai bukanlah sekedar alat melainkan pengganti atau ekstensi tubuh mereka. Alat bukanlah hanya entitas duniawi, ia adalah bagian dari Dasein. Penerimaan penggunaan alat sebagai pengganti atau ekstensi dari tubuh perlu dimasukkan ke dalam pemikiran Heidegger sebagai cara seseorang mengada dan bukan hanya berfokus pada manusia dengan tubuh sempurna.
The Future of Reasoning
Dalam video The Future of Reasoning[10] dibahas mengenai akal manusia. Diargumenkan bahwa akal manusia pada dasarnya tidak mengejar kebenaran melainkan penerimaan sosial. Oleh karena itulah kita senang ketika orang lain memperhatikan kita. Bahkan kesenangan yang kita dapatkan dari menemukan suatu penemuan baru atau menemukan fakta dari suatu kejadian, terasa hampa tanpa adanya penerimaan dari orang lain terhadapnya. Dari situ kita dapat melihat bahwa sebenarnya Dasein tidaklah terarah ke autentisitas Heidegger yang mencari kepenuhan di pemahaman akan dirinya dan dunia, melainkan terarah ke penerimaan dirinya oleh orang lain, das man.[11]
Perlulah dipertanyakan apakah sebenarnya autentisitas berada di pencarian kepenuhan yang didorong oleh angst, ataukah sebenarnya autentisitas berada di penerimaan diri kita secara sosial di masyarakat? Mungkin sebenarnya pencarian akan kepenuhan tersebut hanyalah sebagian kecil dari kehidupan kita sebagai Dasein.
Akal manusia, dibahas lebih lanjut di The Future of Reasoning, lebih merupakan suatu akal kolektif. Ini kembali mendorong poin Havi sebelumnya yang mengatakan bahwa manusia pada kenyataannya saling memerlukan satu sama lain. Akal bukanlah seperti akal Heidegger yang individualistik, sendirian dalam pencariannya akan kepenuhan, melainkan akal kolektif yang dapat mencapai kepenuhan bersama-sama.
Kewaktuan, Waktu Vulgar, dan Akselerasi Waktu
Heidegger membahas mengenai kewaktuan dan waktu jam di dalam tulisannya (menyinggung mengenai waktu natural yang kita bawa kemana-mana; BT 469). Dengan kewaktuan sebagai waktu natural Dasein dan waktu jam sebagai waktu entitas, Heidegger membahas bagaimana waktu jam tidaklah tepat untuk menjelaskan seluruh kehidupan Dasein alias permasalahan waktu jam bagi konsep Dasein. Akan tetapi Heidegger tidaklah membahas permasalahan dari waktu jam bagi tubuh manusia. Permasalahan ini lebih mendasar dan dirasakan oleh Dasein daripada permasalahan konsep, sehingga lebih mudah dipahami bagaimana waktu jam tidaklah cocok dengan Dasein. Permasalahan ini disebut sebagai akselerasi waktu oleh James dan Kevin Aho[12] (PSDI 34).
Akselerasi waktu adalah percepatan waktu natural yang membuatnya pada akhirnya menjadi waktu sehari-hari. Contoh dari akselerasi waktu yang digunakan oleh Aho adalah bagaimana manusia dulu lebih santai soal penggunaan waktu daripada sekarang (PSDI 33-34). Percepatan atau akselerasi tersebut disebabkan oleh berbagai macam konstruksi sosial seperti dorongan pencarian uang kapitalisme (PSDI 34). Waktu yang terakselerasi ini tentunya tidaklah cocok dengan manusia, yang kemudian mempengaruhi tubuh dan membuat mereka sakit. Sakit yang diberikan oleh Aho lebih luas daripada sekedar penyakit, melainkan juga sikap atau konsep yang timbul dari akselerasi tersebut.
Meminjam bahasa Heidegger, Aho menyebut jam yang kita gunakan sehari-hari sebagai handy (PSDI 40). Tanpa sadar kita menggunakan mereka terus-menerus dan menjadikannya milik kita. Kita menjadi percaya bahwa kita dapat kehilangan waktu. Namun lebih dari Heidegger, Aho kemudian menunjukkan patologi dari jam tersebut.
Masyarakat yang tergesa-gesa, selalu kehilangan waktu, tidak dapat menunggu mereka yang lambat atau dihalangi untuk terus maju. Orang yang sakit atau orang yang meminta haknya diakui dipandang sebagai hambatan bagi waktu. Definisi normal dan abnormal lalu dibuat untuk mempermudah lajunya waktu. Ini normal, sementara ini abnormal dan tidak perlu dibahas karena hanya akan membuang waktu. Waktu yang terakselerasi membuat orang kehilangan kesabaran, mudah terkena penyakit, kehilangan rasa bagi orang lain, dan sebagainya. Di situ kita dapat melihat bagaimana waktu menjauhkan kita dari autentisitas Heidegger. Kita tenggelam pada penyelamatan waktu jam dan melupakan diri dan orang lain. Dari situ kita dapat melihat bagaimana tidak cocoknya waktu jam dengan Dasein.
Kiranya Heidegger juga terpengaruh oleh patologi dari waktu jam, walaupun tidak separah kaum fasis lain di zamannya. Ini karena dilihat dari tulisannya yang tidak mengakomodir mereka yang terpinggirkan.
Penutup
Fenomena sakit dan beberapa fenomena lainnya yang sudah saya bahas di atas telah menunjukkan kekurangan dari pemikiran Heidegger yang terlalu berpusat pada konsep manusia yang sehat. Selain itu saya juga mempertanyakan konsep autentisitas Heidegger melalui konsep akal kolektif manusia; bagaimana kita dapat mencapai autentisitas melalui das man. Terakhir telah ditunjukkan bagaimana fenomena sakit, atau patologi, dan berbagai masalah lainnya dapat timbul dari pengadopsian waktu jam sebagai waktu natural dasein.
Sumber Referensi
Carel, Havi, Phenomenology of Illness, (Oxford University Press, 2016)
Sembera, Richard, Rephrasing Heidegger: A Companion to Being and Time, (The University of Ottawa Press)
Heidegger, Martin, e.g. Macquarrie, John, dan Edward Robinson, Being and Time, (Blackwell Publishers, 1962)
James and Kevin Aho, Body Matters A Phenomenology of Sickness, Disease, and Illness, (Lexington Books, 2008)
Vsauce, The Future of Reasoning: https://www.youtube.com/watch?v=_ArVh3Cj9rw
[1] Carel, Havi, Phenomenology of Illness, (Oxford University Press, 2016), 80. Selanjutnya, acuan pada karya ini akan ditulis dengan PI diikuti dengan nomor halaman.
[2] Disebut Havi juga sebagai limited ability (to be), PI 83
[3] Perlu dicatat bahwa Havi tidaklah menggunakan kata autentik dalam penjelasannya tersebut.
[4] Sembera, Richard, Rephrasing Heidegger: A Companion to Being and Time, (The University of Ottawa Press), 84. Selanjutnya acuan pada karya itu akan ditulis dengan RH diikuti dengan nomor halaman.
[5] Istilah yang saya pakai sendiri.
[6] “Dasein is in each case essentially its own possibility, it can….But only in so far as it is essentially something which can be authentic-that is, something of its own….”,Heidegger, Martin, e.g. Macquarrie, John, dan Edward Robinson, Being and Time, (Blackwell Publishers, 1962), 68. Selanjutnya acuan pada karya itu akan ditulis dengan BT diikuti dengan nomor halaman.
[7] Untuk menjadi autentik Daseinmenurut Heidegger harus dapat menerima bahwa dirinya akan mati (RH 189).
[8] Ada juga yang tidak memiliki jender, yaitu agender, tetapi mereka termasuk ke dalam queer juga. Semua manusia akan suatu saat berkutat dengan konsep jender.
[9] Heidegger tentu tidak menyebutkan ini, akan tetapi Heidegger sering mendorong mahasiswa untuk melakukan aksi membela negara.
[10] Vsauce, The Future of Reasoning: https://www.youtube.com/watch?v=_ArVh3Cj9rw
[11] Vsauce tidak membahas mengenai dasein atau das man dalam video tersebut
[12] James and Kevin Aho, Body Matters A Phenomenology of Sickness, Disease, and Illness, (Lexington Books, 2008), 34. Selanjutnya, acuan karya ini akan ditulis dengan PSDI diikuti dengan nomor halaman.