– Buku Inspirasi Untuk Milenial dan Generasi Z-

Oleh: Mila Muzakkar*

Bernegosiasi dengan takdir. “Trial and Error,” mencoba lalu gagal, mencoba lagi. Mengubah jalan agar tetap sampai ke puncak. Itulah kesan yang saya rasakan setelah lama mendalami pemikiran dan riwayat hidup Denny JA.

Dalam bahasanya sendiri, Denny menyatakan, ia melakukan hijrah berkali- kali. Hasilnya memang membuat banyak orang terpana. Denny membuat prestasi untuk banyak hal sekaligus. Ia lima kali memenangkan pilpres berturut- turut, di bidang politik. Di bidang sastra, genre puisi esai yang diciptakannya kini dijadikan festival tingkat ASEAN, yang dibiayai pemerintah Sabah, Malaysia.

Di bidang spiritualitas, ia bersama Forum Esoterika membuat tradisi baru merayakan hari besar berbagai agama dan kepercayaan secara lintas iman. Di bidang bisnis dan usaha, Denny juga tumbuh merangkak dari bawah hingga memiliki aset dengan nilai melampaui satu trilyun rupiah.

Kini ia membawa tradisi baru pula melukis dengan Artificial Intelligence (AI). Sebuah hotel di jalan Mahakam, Jakarta, menjadi galeri abadi lukisannya. Sebagai penulis, ia sudah membuat lebih dari 100 judul buku bidang politik, filsafat hidup, psikologi, sastra, review film, sejarah, agama, hingga catatan perjalanan.

Denny juga mendapatkan penghargaan dari TIME Magazine, memecahkan rekor dunia Guiness Book of World Record, penghargaan sastra tingkat ASEAN dari Malaysia, hingga dicalonkan Nobel Sastra, sastrawan kedua Indonesia setelah Pramudya Ananta Toer.

Satu pribadi tapi multi talenta. Denny JA pun menjadi philantropist, banyak membiayai kegiatan budaya, sastra, toleransi agama dan gerakan anti-diskriminasi, membantu banyak penerbitan. Saya ingin memahami enerji yang menggerakkan Denny JA. Kaum Milineal dan Generasi Z dapat mengambil inspirasi dari pemikirannya. Buku ini dibuat untuk maksud itu.

Darurat Gangguan Kesehatan Mental

Tahun 2022, Generasi Literat melakukan survei kepada 249 Generasi-Z di 28 Provinsi, tentang apa  keresahan dan masalahterbesar yang mereka hadapi.

Hasilnya,  isu gangguankesehatan mental menjadi keresahan nomor dua. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Gajah Mada (UGM), 2021-2022,  menyebutkan 2,45 juta anak muda di Indonesia mengalamigangguan kesehatan mental, seperti gangguan kecemasan, depresi mayor, gangguan perilaku 0,9 persen, serta PTSD danADHD.

Survei lain, dilakukan oleh Indonesia National Adolescent Mental Health Survey tahun 2022, menyebutkan 1,4 persen remaja mengaku memiliki ide bunuh diri, 0,5 persentelah membuat rencana untuk bunuh diri, dan 0,2 persen telah melakukan percobaan bunuh diri. Bukan hanya pada tataran ide dan rencana, selama tahun2020, sebanyak 2.700 anak muda sudah melakukan bunuh diri(Asosiasi Bunuh Diri Indonesia). Sementara, menurut Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI,  ada 287 kasus bunuh diri sepanjang 1 Januari-15 Maret 2024.

Data di atas bukan sekedar angka. Tapi fakta betapa daruratnya kondisi gangguan kesehatan mental generasi muda di negara kita. Mereka mudah menyerah pada tumpukan masalahhidup, hingga memilih mengakhiri hidupnya.

Itulah yang dihadapi MPD , mahasiswa FISIP Universitas Indonesia. Tanggal 11 Maret 2023, ia akan diwisudah sebagai sarjana. Namun, tiga hari sebelumnya, ia  memilih mengakhiri hidupnyadengan meloncat dari lantai 18 sebuah apartemen di Jakarta Selatan. Di Surabaya, CA, mahasiswi Fakultas KedokteranHewan, mati karena menghirup zat beracun di dalam mobilnya.  Kejadiannya  di bulan November 2023. NJW, mahasiswaUniversitas Negeri Semarang, meninggal setelah melompat darilantai 4 mal Paragon, Semarang. Di Nusa Tenggara Timur, selama Oktober 2023, ada tiga mahasiswa yang tak lama lagiakan diwisudah dari perguruan tinggi berbeda, juga bunuh diri.

Tak hanya di Indonesia, di tingkat dunia, berdasarkan dataWHO (2019) menunjukkan saat ini lebih banyak orang matibukan karena perang atau kelaparan, tapi karena bunuh diri (793 ribu).

Ada apa dengan generasi muda kita? Mengapa merekasampai pada titik menyerah pada hidup? Tak adakah cara untukmelewati masalah itu, atau makna hidup tertinggi yang merekaingin capai itu yang tak ada?

Memaknai Hidup

Ke mana hidup ini harus diarahkan? Apa makna tertinggi dari hidup ini?”, akan dikenang sebagai apakah jika saya mati nanti?”

Pertanyaan-pertanyan itu yang selalu mengganggu di keheningan malamnya. Ia selalu merenung, merefleksikan, menggali, hingga  “hijrah” berkali-kali untuk “menjadimanusia”.

Dialah Denny JA—seorang intelektual, penulis, penyair, sastrawan, film maker, konsultan politik,  pengusaha, danfilantropis. Ia adalah pembelajar ulung dan multitalenta. Hasil-hasil renungan hidup yang ia tuangkan dalam berbagaikaryanya: buku, puisi, video, dan lukisan, telah memberikanbanyak pencerahan tentang bagaimana sebaiknya kita memaknaihidup dengan terus “menjadi manusia”.

Dalam pandangan saya, “menjadi manusia” artinya menjadi orang yang berprinsip untuk menjalani hidup denganberpikir dan bertindak dalam kebaikan dan kebenaran, sepertitujuan Tuhan menciptakan manusia.  Ketika dalam proses itu, manusia “keseleo”,  “keserempet”, atau “kecebur” ke lubangyang bernama “kesalahan”, maka ia akan berusaha kembalikepada prinsip “menjadi manusia”.  Begitu seterusnya, sampaikembali pada Sang Pencipta.

“Hijrah” berkali-kali adalah proses Denny menjadi manusia. Ia terus berusaha mencari passion-nya, memperkayadirinya dengan melahap berbagai genre ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup,  bahkan bernegosiasi dengan takdirnya ketika ia merasa gagal, lalu mencari jalan yang lebih sejati. Pada akhirnya, Denny sampai pada puncak pencariannya, yaitu jalan kebajikan

Buku Menjadi Manusia: Menggali Makna Hidup dari Denny JA

Perjalanan Denny memaknai hidup sebagai manusia menurut saya menjadi penting dan relevan untuk dijadikan pelajaran, khususnya untuk generasi muda (Milenial dan Gen-Z), yang saat ini berada pada titik darurat gangguan kesehatan mental.

Kenapa Denny JA? Karena ia adalah pembelajar ulung. Denny melahap berbagai genre ilmu pengetahuan: filsafat, agama, sastra, politik, ekonomi, bisnis, gender, lingkungan, pengembangan diri, sampai isu-isu kekinian yang dibicarakanMilenial dan Gen-Z seperti mental health, AI, dan media sosial.

Saya berpikir, Denny ini seperti paket lengkap: berwawasan sangat luas, pola pikirnya sangat maju,  update terhadap isu-isu kekinian, bijak dalam menghadapi berbagaisituasi, dan yang paling penting ia menggunakan kekayaannya di jalan yang benar: untuk menolong orang yang membutuhkan.

Buku ini tentu saja tak bermaksud mengatakan: Denny JA adalah manusia yang sempurna. Absolutely No! Karena rumput yang bergoyang pun tahu, semua manusia pasti punya kelemahan dan kelebihan. Tapi, saya pun percaya, setiap manusia bisa menjadi tempat danguru untuk mengambil pelajaran hidup. Itulah yang membuat saya menuliskan buku yang berjudul “Menjadi Manusia: Menggali Makna Hidup dari Denny JA”.

Buku mungil yang berisi kumpulan tulisan pendek, ringan, serta dikemas dengan bahasa yang sangat popular ini,  berusaha  menggali pengetahuan dan kebijaksanaan hidup dari sosok Denny JA, yang sudah ia sebar  di berbagai media sosial dan dilukisannya yang menggunakan Artificial Intelegence (AI).

Karya-karya itu sebagian saya kutip langsung, apa adanya, lalusaya elaborasi dan relevansikan dengan isu-isu kekinian yang dihadapi Milenial dah Gen-Z. Dalam beberapa bagian, sayaberikan masukan yang diperlukan, serta memperkayanya denganmenambahkan pengalaman pribadi yang relevan.

Buku ini terbagi menjadi tiga bagian utama. Bagian pertama berisi tentang bagaimana menjadi pribadi yang bertumbuh. Beberapa cara yang dapat dilakukan seperti, bernegosiasi dengan takdir, mencari makna hidup, melampauidiri, karakter autentik, rumus sehat di dunia digital, hidup optimis & kekuatan psikologis. Dengan mempraktikkan cara-cara di atas, harapannya, Milenial dan Gen-Z akan memiliki mindset yang lebih jernih, sehat, dan positif, dalam memandangdan merespons berbagai permasalahan hidup.

Bagian kedua akan mengeksplor lebih dalam tentang apa sebenarnya  makna cinta. Cinta di sini dibicarakan dalam konteksyang luas, seperti bentuk cinta yang tertinggi, agama cinta, cintadalam spritualitas, cinta yang dibutuhkan orang tua, cintalingkungan, cinta pada pekerjaan, cinta beda agama, serta tipe pemimpin yang dicintai rakyatnya.  Dengan landasan cinta, harapannya apa pun yang kita lakukan, akan berdasarkan semangat cinta kasih kepada sang Pencipta dan ciptannya, alamsemesta.

Bagian ketiga buku ini menonjolkan manusia “bertelinga besar” sebagai icon manusia yang lebih peka, peduli dan empatikepada orang-orang dipinggirkan, yang suaranya jarangdidengarkan. Suara-suara itu ada pada penderitaan anak-anak di Gaza, pernikahan anak di berbagai belahan dunia, pemerkosaanpada anak-anak di lembaga pendidikan agama, pelaranganibadah kelompok penganut agama/kepercayaan,  perihnyamenjadi seorang LGBT, pengekangan tubuh perempuan, hinggamerebaknya kebohongan dan fitnah di dunia digital.

Maka, sekali lagi, buku ini begitu penting dibaca oleh Milenial dan Gen-Z khususnya, sebagai inspirasi dan mungkin panduan, dalam mencari makna hidup yang sejati.  Sehingga mereka tak lagi menjadi generasi yang rapuh, pesimis, dan mudah menyerah pada masalah kehidupan. Sebaliknya, mereka akan terus berproses “menjadi manusia” untuk dirinya, jugauntuk manusia lainnya.

*Penulis adalah Founder Generasi Literat, Trainer Pengembangan Diri, dan Pegiat Anak Muda