Oleh: John Puah

Asal-usul tou Minahasa telah menjadi suatu misteri yang terus dipertanyakan. Bergulir dari waktu ke waktu sebagai pencarian jatidiri. Hal ini terjadi karena manusia mengalami proses itu dalam kesadarannya sebagai peningkatan pengertian menyeluruh, sekaligus juga mengungkapkan sebuah proses peningkatan rasionalitas dalam sejarah. Hegel menguraikan proses itu sebagai proses perjalanan kesadaran diri dari pengetahuan inderawi sampai pengetahuan absolut.[1]

Di satu sisi mitos Toar-Lumimuut telah mengkristal dalam pikiran orang Minahasa dari generasi ke generasi, di sisi lain status kedua tokoh  mitos itu terus dipertanyakan. Apakah benar mereka ibu dan anak, sehingga konsekwensi logis orang Minahasa adalah turunan ibu dan anak? Pertanyaan ini bukan saja didasari oleh aspek moral, tetapi juga dari aspek kesehatan. Jika itu benar, maka bukan tidak mungkin keberadaan orang Minahasa mewarisi gen idiot, dan dengan demikian secara fisik dan kecerdasan tidak tercermin seperti realita orang Minahasa saat ini.

lepas dari kebenaran bahwa Toar dan Lumimuut berstatus ibu dan Anak, pertanyaan kritis lain akan muncul juga. Dari mana mereka berasal dan siapa ayah dari Toar? Mana mungkin seorang anak hadir tanpa ada yang membuahi kandungan Lumimuut? Mungkin karena tidak ada jawaban yang pasti dan kuat dari kesemua pertanyaan tersebut, maka cerita tersebut diterima saja. Kisah itu diakseptasi sebagai cerita rakyat.

Mempertanyakan secara kritis terhadap suatu kisah mitos tentu tidak biasa mengingat cerita mitos senantiasa diterima tanpa harus menggugat kebenarannya. Namun, untuk konteks kehidupan orang Minahasa, masalah ini menjadi lain.  Mencari jawaban akan suatu kehidupan nyata yang berasal dari tidak nyata tentu menjadi pertanyaan hingga kapanpun.

Mitos dapat dipandang sebagai seni cara membahasakan penjelasan-penjelasan terhadap fenomena-fenomena yang sulit dipahami. Demikian juga mitos didefinisikan melalui sistem waktu yang mengombinasikan sifat-sifat dari bahasa dan ucapan. Menurut Strauss, sebuah mitos selalu terkait dengan peristiwa masa lalu dan membentuk struktur yang permanen. Struktur dalam waktu bersamaan terikat dengan masa lalu, masa sekarang dan masa depan.[2]

Awal Februari 2018 menjadi awal yang tak disangka-sangka. Weliam H. Boseke hadir dengan sebuah buku yang memuat temuan yang sungguh mencengangkan. Lewat analisis bahasa dihasilkan data-data yang sukar terbantahkan. Iia tiba pada kesimpulan bahwa Penguasa Dinasti Han adalah leluhur Minahasa. Temuan sejarah ini cukup menyentak alam pikir insan Minahasa karena membuka banyak tabir gelap. Antaranya,  telah menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi.

Toar-Lumimuut kini nyata bukanlah bukanlah tokoh cerita yang berstatus anak dan ibu, melainkan  seorang putra raja dengan tantenya. Pernyataan ini disambut terbuka oleh tokoh Masyarakat Kawanua, Benny Tengker, ketika memberi sambutan dalam suatu seminar. Adapun latar cerita status Toar-Lumimuut dapat dibaca di buku  tersebut [3].

Saya ingin memfokuskan tulisan ini pada kritik analisis bahasa yang dilakukan Weli H. Boseke. Bagi saya, tanpa disadari pendekatan yang telah dilakukan menjadi dasar yang kuat untuk mengentalkan temuan sejarah tentang asal-usul orang Minahasa. Ini menjadi realita unik dalam ruang ilmiah khususnya kajian bahasa.  Analisis lingguistik kompratif yang dilakukan oleh nya bukan saja menghasilkan data-data yang sukar terbantahkan, tetapi juga dapat mengangkat kajian bahasa itu sendiri menjadi lebih berarti karena berperan tidak berhenti pada analisis bahasa itu sendiri, tetapi juga memberi jawaban ranah sejarah dan bidang lain. Biasanya pembuktian sejarah akan berkaitan dengan studi kepustakaan, penelitian perkamen atau naskah-naskah tua, penelitian arkeologi hingga wawancara. Namun kini lewat analisis lingguistik.

Pendekatan ilmu lain untuk mencari jawaban dari pertanyaan kultural tadi tentu dimungkinkan mengingat ilmu bersifat terbuka sehingga memberikan peluang ke berbagai disiplin ilmu. Akan tetapi dalam kasus ini, pendekatan lewat analisis bahasa dapat dikatakan cukup kuat dan terbukti. Ada alasan filosofis yang mendasar mengapa pendekatan bahasa ini dianggap sangat kuat sebagai metode pembuktian.

Bahasa adalah alat komunikasi manusia.  Dengan sistim simbol atau lambang bunyi membentuk sebuah kata, dan kata itu memiliki makna serta hubungan abstrak dengan suatu konsep.  Dengan sistim itu manusia menyampaikan ide sebagai cermin pikiran. Ide itu diekspresikan lewat alat ucap dan tulisan. Karena bahasa adalah suatu sistim, maka bahasa harus sistimatis.  Demikian juga, sebagaimana bahasa muncul dalam suatu pola tertentu dan teratur, maka dapat diprediksi.

Saat ini dapat ditemukan berbagai definisi tentang bahasa dari berbagai ahli. Meskipun muncul definisi-definisi yang mencerminkan ide-ide baru, namun tetap satu hal yang tak dapat ditinggalkan adalah bahasa merupakan alat komunikasi manusia yang membedakan dengan binatang karena system itu. Secara antropologis, ada satu sistem dari tujuh sistem pada manusia yang berkembang karena kemampuan otak yang disebut akal budi. Sistem yang dimaksud adalah perlambangan vokal atau bahasa.[4] Dengan bahasa pula seseorang dapat menunjukan identitas diri, dan pembeda dari orang lain. Juga  membedakan kelompok satu dengan kelompok yang lain.

Dari penjelasan ini, kehadiran bangsa Tiongkok dari dinasti Han dapat ditelusuri. Telah disimpulkan bahwa bahasa Minahasa yang ditemukan secara etimologis berasal dari bahasa Tiongkok. Secara logika, fakta ini tak mungkin terjadi tanpa kehadiran manusia atau orang-orang pengguna bahasa itu. Tak akan mungkin bahasa bermigrasi tanpa disertai manusia pemakai bahasa itu. Ingat, bahasa itu adalah alat komunikasi manusia sehingga bahasa itu ada dan berperan karena ada pendukungnya.

Pernah seorang ahli bahasa berupaya menciptakan bahasa dunia yang baru. Ia menciptakan kosa-kata dan struktur yang mudah agar orang-orang di seluruh dunia dapat menggunakannya. Namun usahanya gagal karena tidak ada pendukung bahasa itu. Istilah ‘pendukung’ dalam ruang ilmu bahasa adalah orang atau kelompok ‘pemakai’ suatu bahasa. Sebaliknya suatu kata akan menyebar dan menjadi kosa-kata yang baru karena ada pendukungnya. Lihat saja kata-kata baru yang muncul dalam realita kehidupan saat ini, terlebih bersinggungan dengan teknologi kekinian.

Ada dua asumsi jika mengacu ke gambaran berklaitan dengan kedatangan bangsa Han. Pertama, daerah yang didatangi ini tak berpenghuni sehingga bahasa yang mereka gunakan terus berjalan dan berkembang seirama pertambahan penduduk, lalu berlanjut menjadi  cikal bakal leluhur orang Minahasa. Kedua, andaikan tanah ini ada penghuninya (penduduk asli), maka dapat dipastikan  jumlahnya tak banyak sehingga lama-kelamaan bahasa pendatang mendominasi bahasa lokal, dan perlahan-lahan bahasa local menghilang. Banyak contoh dapat dilihat bagaimana bahasa pendatang menjadi bahasa pengantar. Antaranya, di Australia, Amerika, Palestina (sekarang berbahasa Arab bukan filistin), dan sebagainya.

Kedua asumsi itu bagi saya dapat diterima, dan paling inti kasus ini mengindikasikan jumlah pendatang cukup banyak. Jika tidak, maka tidak mungkin bahasa itu akan menyebar dan bertahan beratus-ratus tahun hingga kini (baca: masih ada yang berbahasa Minahasa) meskipun secara penulisan telah berbeda. Interpretasi menyangkut jumlah pendatang itu cukup banyak, dapat dilihat  dalam buku tentang Karema membagi empat kelompok para pengungsi dan meminta menyebar lalu bercocok tanam demi kelangsungan hidup. Lihat di buku Penguasa Dinasti han, leluhur Minahasa halaman 64-68.

Selanjutnya muncul pertanyaan lagi, tentang bagaimana pengungsi Han dianggap dari seputaran istana, atau dinasti Han? Pertanyaan ini cukup penting karena kata “Dinasti Han” termuat pada judul buku, dan terjabar dalam penejelasan. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan membaca sastra lisan ‘Zazanian Ni karema’  yang didokumentasikan oleh H. van Kol. Di situ tersurat dan tersirat secara jelas bagaimana istana yang dibangun hancur diserbu pasukan musuh (Dinasti Wei). Mereka sedih karena harus meninggalkan Istana dinasti Han. Di syair nyanyian itu pula secara terang benderang melukiskan sosok Toar-Lumimuut dan statusnya. Sayangnya pembahasan yang dianalisis secara lingguistik bandingan terhadap ‘Zazanian Ni Karema’ belum dipublikasikan dalam bentuk buku. Kehadiran buku ini akan dapat lebih menarik karena menjadi penunjang temuan yang diungkap dalam buku pertama.

Sebetulnya, syair ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh seorang budayawan yang mahir bahasa Minahasa. Namun terjemahannya dianggap kurang pas mengingat beberapa kata tak dapat diterjemahkan sehingga pesan syair itu tidak terungkap jelas. Setelah Weliam H. Boseke membedah syair ini dengan analisis bahasa (lingguistik bandingan), yaitu mengkonversikan seluruh syair dalam bahasa Minahasa ke bahasa Mandarin dengan bentuk pinyin atau Wade Giles, maka tersingkaplah arti sebenarnya dari kata-kata tersebut.

Inilah fakta akan peranan analisis bahasa yang sangat berarti itu. Andaikan ditemukan sebuah kapal kayu dari dinasti Han di daerah Minahasa kini, maka masih lemah untuk menyimpulkan bahwa Dinasti Han adalah leluhur Minahasa. Bisa jadi alat bukti itu hanyut dan terdampar di perairan Minahasa. Atau contoh lain seperti penemuan Guci. Bisa jadi itu dibawah oleh (misalnya) pelaut Portugis atau akibat peristiwa lain. Akan tetapi,  jika suatu bahasa hadir dan berakar di tempat ini hingga menjadi bahasa pengantar, maka tidak akan lain selain orang pemakai bahasa itu hadir di tempat ini. Bahasa itu ada dan menjadi alat komunikasi karena ada manusia penghasil kebudayaan itu.  Bahasa dan manusia menjadi dua elemen tak terpisahkan. Untuk itu analisis bahasa yang dilakukan oleh Weliam H. Boseke sangat kuat dan menghasilkan data yang sukar dibantah.

Sebagaimana biasa suatu pendapat, apalagi suatu temuan yang dapat merobah berbagai paradigma dan kajian ke-minahasaa-an, tentu tak mudah begitu diterima. Namun sebagaimana diungkapkan oleh Ferry Doringin Ph.D, bahwa selama seminar yang diikutinya, belum pernah ia mendengar orang membantah data-data yang disodorkan. Padahal dalam ruang ilmiah,  apalagi keritik sejarah haruslah disertai data, bukan dengan pikiran sesuka hati. Anhar Gonggong, Ilmuan senior dalam bidang  sejarah  menyatakan itu dengan tegas.

Orang boleh bersilang pendapat dengan temuan dari intelektual otodidak ini. Kehadiran temuan ini justru memkberikan peluang bagi ilmuan lain untuk menghasilkan temuan sebagai suatu sintesa yang baru. Jadi, apapun kekurangan temuan ini tidak akan menggugurkan nuansa keilmuan yang sudah disampaikan, termasuk kesimpulan. Ini bukan hal baru. Banyak temuan yang dulu dianggap suatu kebenaran aksiomatis, ternyata bisa digugurkan.

Menutup tulisan ini, saya tertarik dengan komentar seorang professor dari Universitas Indonesia setelah membaca buku dari Weliam H. Boseke. Dengan kemurnian hati sebagai cendekiawan, ia mengirim WA dengan menyatakan bahwa penelitian Weliam H. Boseke sudah melebihi penelitian para professor. Selanjutnya saya tertarik mengutip pengantar di buku pertama. Ia menyebutkan bahwa memang hebat usaha ini. semoga buku ini membukakan mata masyarakat Indonesia pada apa yang sesungguhnya dimilikinya. Kemungkinan tak terhingga yang bisa diraihnya jika memiliki mentalitas dan moralitas yang baik dan kuat. Tanpa harus bergelas berjejer dia bisa berpikir, meneliti, menemukan, dan menyatakan siapa dirinya: seperti terbaca dari buku ini (baca: Buku Weli).

[1] Ali, Matius, Estetika pengantar filsafat seni: Sanggar Luxor, 2011. Hlm. 113

[2] Strauss, Claude Levi, Antropologi Struktural, Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2005, hlm 280.

[3] Boseke, H. Weliam, Penguasa Dinasti Han, leluhur Minahasa, Jakarta: Pohon Cahaya, 2018, hlm. 310.

[4] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka cipta. 2002. hlm. 98