Diskusi panjang kaum terpelajar terkait dinamika kata-kata tak pantas seorang Rocky Gerung yang oleh berbagai kalangan seorang filsuf Indonesia sangat digemari konsep-konsep filosofisnya yang selalu mematikan lawan diskusi.

Orang yang pernah mempelajari ilmu filsafat, akan kritis menganalisa setiap pembicaraan seorang Rocky Gerung pada tataran pemaknaan ilmu yang oleh publik menyebutnya “ahli filsafat” alias fulsuf.

Berfilsafat bukan persoalan orang yang memiliki kemampuan berargumen di ruang publik terhadap sebuah subtansi persoalan. Berfilsafat adakalanya membuat orang dibingungkan oleh  konsep-konsep radikal karena hakekat filsafat adalah radix, mencari akar terdalam sebuah persoalan yang hendak dikaji.

Namun harus diingat, bahwa orang yang berfilsafat adalah orang yang sedang mencari kebijaksanaan. Philos sebuah kata Yunani yang artinya cinta akan, kecenderungan pada sesuatu.

Sophia yang berarti kebijaksanaan, kearifan, hikmah, pengetahuan atau wawasan. Secara harafiah filsafat diartikan sebagai orang yang mencintai kebijaksanaan, cinta akan pengetahuan bahkan lebih lagi orang yang sedang berusaha mencari kebijaksanaan.

Seorang sahabat saya, Silverius Lasan Bataona mengatakan, Kenyang dengan banyaknya konflik kepentingan politik di daerah yang sangat banyak memiliki kemiripan pola dengan yang ada di tingkat nasional baik karena keterlibatan secara langsung maupun hanya sekedar mengkaji dan menganalisis, membuatnya mudah mengidentifikasi jenis kaum intelektual yang tampil viral di ruang publik.

Dalam menanggapi setiap konflik kepentingan politik yang terjadi, prioritas pertanyaan kaum intelektual budak adalah siapa yang bermasalah?

Karena pada posisi budak yang sudah dibeli dan dibayar untuk memperjuangkan kepentngan tuannya, maka seorang intlektual tipe ini akan selalu berprinsip “right or wrong is my boss” salah atau benar, yang penting bos saya, demikian Silverius Lasan Bataona menegaskan.

Lalu apa ciri khas menonjol kaum intelek budak? Bagi Silverius, intelektual budak adalah mereka yang selalu vokal, ngotot, memaksakan pendapat dengan narasi-narasi yang mamaksakan bunyi dari pada isi.

Lihatlah bagaiaman kaum intelektual budak berdebat di ruang publik lewat TV nasional, ketika mereka misalnya diarahkan oleh bosnya untuk menyerang prisiden atau pemerintah, polanya mudah terbaca.

Silverius Lasan Bataona menegaskan, demi akal sehat dan demokrasi, mereka menciptakan stigma-stigma negatif, klaim-klaim kegagalan penguasa, hanya semata-mata berdasarkan opini tanpa didukung data-data dari  sumber-sumber yang kredibel dan fakta-fakta objektif di lapangan.

Berbagai stigma negatif dan klaim klaim kegagalan yang mereka ciptakan sendiri dinarasikan secara vokal dipaksakan seolah olah fakta, lalu mereka sendiri yang mengkritik, mendebat dan mengecam stigma negatif dan klaim kegagalan, yang tidak ada di alam nyata tetapi hanya ada di pemikiran negatif mereka.

Memotong-motong pembicaraan dan melakukan interupsi berkepanjangan adalah teknik mengacaukan konsentrasi dan logika narasi lawan bicara, sehingga tetap merasa diri benar karena banyaknya bunyi yang dihasilkan dan bukan isi atau bobot.

Memiliki kuantitas penampilan yang tinggi melalui chanel-chanel media nasional tertentu yang memungkinkan bersatus sesama budak untuk mempertahankan gambaran negatif penguasa yang sudah tercipta.

Lalu apa kekhasan kaum intelektual tuan? Silverius mengatakan, “mereka adalah kaum intelek independen, mereka berdaulat atas otak mereka sendiri. Mereka tidak perlu pada siapa yang bermasalah tetapi pada apa yang menjadi persoalan.

Mereka memiliki objektifitas yang sangat tinggi dalam mengkaji, menganalisis dan kredibilitas pada setiap produk pemikirannya. Maka bagi mereka, Right is rIght, wrong is wrong, benar adalah benar, salah adalah salah”.

Plato pernah mengatakan, orang yang disebut filsuf  (sophistes) sejatinya tidak seorangpun manusia layak menyandangnya. Mengapa?

Plato menegaskan, orang yang memiliki pengetahuan filsafat lebih tepat disebut philosophos, pecinta kebijaksanaan, sebuah istilah yang lebih tepat bagi makluk insani, karena itu Plato menyebut mereka yang berpengetahuan filsafat sebagai mereka yang mencintai kebijaksanaan atau mereka yang sedang mencari kebijaksanaan hidup.

Bahwa mengklaim diri sebagai filsuf, atau disebut orang filsuf lalu mencaci-maki orang di ruang publik, sejatinya bukanlah mereka yang sedang mencari kebijaksanaan. Jika mengacu pada konsep Plato tentang predikat yang dikenakan pada seorang filsuf, maka fenomena mencaci-maki menurut Silverius Bataona, mereka yang tergolong intelektual budak.

Karena orang yang disebut intelek memiliki etika publik dalam berargumentasi pada ranah mana mereka objektif menganalisis subtansi persoalan yang solutif bagi bangsa dan negara, biarpun mereka bukan filsuf, namun mereka adalah ilmuan yang patut berpredikat intelektual tuan, demikian Silverius Lasan Bataona sahabatku mengaskan.

 

Paulus Laratmase