Oleh: Nazrina Zuryani
–
Hmmm menggairahkan menatap empat wajah penyanyi kondang semasa muda asal Inggris; The Beatles. Data dari Quora.com, lawatan the Beatles ke negara Asia hanya sampai ke Filipina saja di tahun 1966 ke ibu kota Manila sebagai tamu kehormatan negara Marcos saat itu. Di penghujung gairah menatap wajah empat serangkai anggota grup musik kawakan mendunia ini saya tercenung, naïve menatap para legendaris itu seolah pernah berkunjung ke Indonesia tepatnya di ibu kota Jakarta. Terbawa oleh kuatnya latar belakang Tugu Monas pilihan warna gelap dengan ide kota Jakarta di malam hari dari pengagas lukisan itu; Denny JA memperdalam kenaif-an saya dengan kepolosan sang pencipta lukisan berbantuan aplikasi kecerdasan buatan ini. Ada kreativitas kritis pada lukisan ini akan kelamnya tahun 1965 itu yang saya-pun baru saja lahir. Mungkin segelintir generasi pra “baby boomers” saja yang masih memimpikan grup musik ini hadir di Indonesia saat itu. Latar belakang warna biru, ungu dan semburan lembut cahaya rembulan kuning gading mengantar ingatan penggemar musik lawasnya Beatles terutama saya yang cukup fanatik pada lagu-lagu legendaris mereka dengan genre-nya yang tak lekang oleh jaman itu.
Brian seorang ‘pemuja’ lagu-lagu metal menjelaskan kedatangan the Beatles ke Manila tahun 1966 itu berujung kekacauan dan menjadikan mereka enggan melawat ke negara Asia lainnya.
Saat itu-pun presiden Soekarno melarang keras pengaruh musik the Beatles masuk ke Indonesia. Kata Brian, saat itu “tidak main-main bahkan anak muda yang tampak (bergaya rambut, menggunakan pakaian dan mengoleksi musik-musik) The Fab Four ini akan dijebloskan ke penjara dengan hukuman yang serius”. Bukankah grup pujaan terkenal Koeswoyo bersaudara itu juga pernah menikmati ‘bui’ rejim Orde lama karena lagu-lagu kebarat-baratan yang dianggap meracuni jiwa anak muda itu.
Tetapi tunggu dulu, mari bertanya kepada seorang arts critics yang menjadi pengajar stratum 3 studi Doktoral Seni Rupa ISI Denpasar; Jean Couteau. Menurut kritikus seni rupa ini, kepolosan seni lukis atau bobot pesan dari seorang perupa tercermin dari isi kuratorialnya. Yah, setiap karya Denny JA tidak perlu mendapat kurasi ahlinya karena langsung pada media gambar atas bantuan teknologi kecerdasan buatan ini telah tertulis kuratorial oleh-nya sendiri. “Kutiupkan nafasku dan emosi ke dalam lukisan yang dibantu oleh Artificial Intelligence” itu pengantar kuratorial penciptaan 182 jumlah lukisan-lukisan yang dipamerkan Denny JA ini. Misalnya di tangga Lantai satu Mahakam Residence 24 itu tergantung lukisan awal pandemic Covid-19 yang dipenuhi wajah-wajah marah penduduk Wuhan atas hukuman yang berujung kematian seorang dokter pertama yang menemukan jangkitan virus Corona di satu pasar penjualan binatang-binatang liar sejenis kelelawar.
Bahasa Inggris yang dituliskan pada kanvas di kiri atas tepat di atas foto wajah dokter korban pertama pandemi Covid-19 di Wuhan ini sudah merupakan bentuk kurasi gambar yang bukan saja memperlihatkan fakta sosial pandemi yang melanda dunia saat itu tetapi lebih kepada statemen politik atas korban utama dan pertama dari wabah wilayah Wuhan ini.
Saya perlihatkan dan bacakan kepada pengkritik seni lukis; Jean Couteau apa yang tertulis pada gambar berbalut AI dengan foto sang korban yaitu dokter di Wuhan tersebut. Sang pengkritik seni rupa berkebangsaan Prancis itu terdiam sejenak menatap karya Denny JA yang saya perlihatkan kepadanya. Ini “statemen politik anti komunisme”. Jean Couteau menambahkan, “tentu saja, rakyat yang marah itu juga korban pemerintahnya”. Saya menyatakan kepada sang pengkritik seni ini bahwa karya seni apa-pun umumnya menggunakan emosi dan kesadaran jiwa atas fakta sosial yang dialami satu atau seluruh masyarakat di dunia. Jean Couteau setuju dengan satu syarat, harus mengandung kebenaran universal, agar sejarah dalam seni lukis dipelajari dengan kecerdasan jaman atau disadari sebagai satu emosi seni yang naif saja, sesuai kreativitas dan inovasi perupa. Lalu saya tambahkan, seni lukis berbantuan kecerdasan buatan pastilah lebih cerdas pencetus ide yaitu pelukisnya. Jean Couteau bergumam, novelty yang utama, originalitas ide-nya lalu pesan yang sampai kepada yang mengamati lukisan itu. Saya-pun setuju.
Apa pula pandangan saya tentang lukisan-lukisan karya (sebagian berasal dari ratusan bahkan ribuan foto) koleksi Denny JA yang dipadu-padankan dengan ide-ide yang mengalir bak air bah kaya warna menghasilkan file besar yang tersimpan di awan. Denny JA tiada henti menghasikan lukisan reproduksi foto sejak tahun 2020 lalu. Bahkan sebelum tahun 2010 saat awal jumpa dengannya, koleksi foto kak Denny yang dimilikinya sudah diperlihatkan dan sangat banyak tersimpan di iPad-nya. Bagi saya intelektualitas sang penggagas lukisan berbantuan AI ini sangatlah tinggi. Orang atau manusia menjadi objek utamanya. Orang-orang itu sebelum dijadikan objek lukisannya sudah dipelajari secara mendalam. Lalu daya kreasinya bekerja dengan campuran emosi, jiwa yang merekam sejarah lalu ide-ide yang digabung dengan aneka impian-impian kreatifnya. Pengetahuan Denny JA yang seluas samudera Hindia itu dipilahnya dalam ragam tema yang bukan sembarangan. Tema-tema politik menjadi dasar berpikirnya. Lalu tema-tema kemanusiaan yang berhaluan rasa iba kepada yang tertindas maupun rasa kagum kepada yang menghibur menjadi pijakannya.
Seperti yang saya uraikan dalam awal gairah saya menikmati kaleidoskop suasana karya lukis berbasis AI yang dihasilkan Denny JA di lantai satu Mahakam Residence 24 ini. Wajah para pemusik kondang sangat cocok disandingkan di Nomu Lounge yang setiap hari Kamis menampilkan Live Band. Beranjak pada lukisan dan potret kesedihan akibat wabah Corona ditangga menuju lantai dua. Dekapan kecerdasan buatan yang menjadikan lukisan.
Tempo Dulu di lantai tiga melegakan dan menyegarkan ingatan lawas saya di Jakarta dari lahir hingga masa remaja ke dewasa muda. Terbayang saat usia remaja di sekolah menengah pertama memasuki tahun 80-an, saya naik bis dengan nama Pelita Mas Jaya (berwarna biru), juga bus bernama Mayasari Bakti (berwarna hijau muda) menuju SMP Negeri XXV di Klender, Jakarta Timur. Lalu saat saya bersekolah di SMTK Jalan Dokter Sutomo Jakarta Pusat, acap kali menaiki kendaraan bajaj (baca: Bajay) berwarna orange yang menemani saya berbelanja ke Pasar Baru. Wah, terloncat ingatan suatu saat putri saya Jasmine bangga betul bisa menaiki kendaraan roda tiga berwarna orange ini. Namun lukisan Jakarta Tempo Dulu yang amat memikat hati saya adalah bentuk Gedung sebagai latar belakangnya. Dimana lagi, gumam saya akan gedung tua peninggalan Belanda dapat kita temukan selain beberapa Gedung lama di Kota Tua nun dekat Pecinan Jakarta-Kota sana? Oh iya ada di seputar Pasar Baru, jawab hatiku. Jakarta Tempo Dulu (3) ini sungguh membuat kangen saya membuncah untuk menapak-tilasi kota yang kini macet dan semrawut dengan tingkat polusi tinggi ini.
Baiklah… ayo naik lagi satu lantai ke atas untuk menikmati lukisan bertema baru. Nama- nama penting pelukis dunia menjadikan koleksi lukisan di lantai 5 berbobot dengan misalnya muncul nama pelukis dari Mexico, Frieda Kahlo yang menderita polio kaki yang mengecil dan hidup di rumah biru bersama suaminya pelukis terkenal Diego Rivera. Serta nama-nama pelukis kondang lainnya. Untuk lukisan perupa terkenal ini, tidak perlu-lah saya mengkonfirmasi-nya kepada sang dosen kritik seni yang hidup serumah dengan saya sejak hampir 31 tahun. Biarlah emosi jiwa saya teraduk dalam lukisan-lukisan yang tidak akan bisa saya datangi lagi. Maklum terbang dari Bali ke Jakarta itu cukup melelahkan dan rumit menjelaskannya karena tugas utama saya sebagai dosen Universitas Udayana sudah sangat menyita waktu dan pikiran.
Derita Gaza menghenyakkan emosi jiwa saya (ditemani kakak sang buya Elza Peldi Taher) sesaat tiba di lantai enam. Perang Israel meluluh-lantakkan masyarakat Palestina. Namun pernikahan dini anak-anak Palestina memberi pesan baru bagi saya yang mendorong andil dalam mengaduk emosi keibuan saya. Menikam jantung nafas kesadaran saya akan peliknya pesan perang di Gaza. Begitu kompleks derita masyarakat Palestina, ruwet mencerna kekejaman bangsa Israel sesulit menelan pil pahit kejahatan kemanusiaan disana.
Tangga akomodasi Makaham Residen lantai 7 membuncahkan kembali keceriaan saya sambil tetap merenung akan pilihan tema imajinasi anak-anak. Sangat kontras dengan lukisan-lukisan di lantai 2 yang berbau politik dan kekuasaan. Banyaknya lukisan-lukisan wajah aneka permainan anak-anak, berbagai ekspresi serta warna yang bervariasi, bukan lagi anak laki-laki bermain gasing, petak umpet, duduk bermain dakon atau bola bekel ataupun menengadah ke langit bermain layang-layang, tetapi varian fiksi pengetahuan robotic dunia anak, bidadari yang melayang di udara serta ikut pula didalamnya penderitaan anak-anak Palestina. Kenaif-an saya akan lukisan-lukisan ini memperjelas bahwa kecerdasan Denny JA tidak bersanding dengan dekapan kecerdasan buatan yang memfasilitasi lukisan-lukisannya. Denny JA telah membuat saya insyaf bahwa kreativitas dan pilihan genre visual itu membuat saya belajar banyak.
Tak ketinggalan “brotherhood touch” pada tahun 2023 lalu saya-pun kebagian lukisan wajah saya dengan komentar manis sang pelukisnya kak Denny. Ketika saya membuka kiriman kanvas dari sister Halimah setelah dipamerkannya, pas seusai Februari/bulan lahir saya. Komentar Jean Couteau, “latar belakang yang dipilih Denny JA sangat bagus untuk komentarnya terhadap kamu”. Saya-pun mengangguk, apresiasi yang tinggi untuknya.
Akhirnya saya bersama buya Elza tiba kembali di lantai 1 penginapan Mahakam 24 ini. Diiringi live music dalam lebatnya hujan kota Jakarta di bulan Juni, sayapun pamit setelah ditraktir makan oleh buya Elza dan bincang sebentar dengan kak Gaus, kakak tertua kak Denny JA sambil kuping, mata dan jari saya mengapresiasi lagu Minang “Uda pulanglah Uda” dibawakan oleh mba Indah sang penyanyi Noru Lounge. Saatnya saya kembali ke hotel di Kuningan dan sedikit beristirahat setelah wawancara untuk visa di kedutaan Switzerland itu. Saya menatap lama lukisan di lobby yang mengungkap keBhinekaan Indonesia. Akhirnya keTunggalan harmoni hidup bersama menjadi pesan abadi lukisan- lukisan Denny JA dengan rangkaian sejarah panjang kreativitas hingga penderitaan umat manusia di seantero jagad raya ini. Saya berharap tidak lagi naïve menatap kreativitasmu. Bravo kak Denny JA. Teruslah bersinar….