Oleh Agus Wahid

Mengejutkan? Boleh jadi. Bagaimana tidak? Saat Jokowi menyerahkan zakatnya di istana dan setelahnya menyalami para menterinya. Namun, tak menyalami Prabowo. Sebuah sikap Jokowi yang layak kita analisis lebih jauh, why? What happen? Tapi, yang lebih krusial untuk dianalisis adalah akankah terjadi perubahan peta politik pasca keogahan Jokowi menyalami Menteri Pertahanan itu?

Ketidakmauan Jokowi menyalami Prabowo memang tak lepas dari story yang beberapa waktu lalu sempat berhembus sayup-sayup. Di antaranya –pertama – keharmonisan baru hubungan Jokowi-Airlangga. Sebenarnya, tak perlu dipersoalkan peningkatan kualitas hubungan itu. Namun, kualitas ini harus dibaca dari sisi lain. Yaitu, adanya gelagat politik Jokowi ingin menguasai Partai Golkar. Diawali menjadi Ketua Umum Golkar. Atau, orang penting di tengah Partai Beringin itu.

Penguasaan ini dirancang untuk menjadi kekuatan pengimbang pasca Prabowo naik tahta. Hal ini pula yang membuat keinginan Jokowi akan menjadi Ketua Koalisi Indonesia Emas. Dengan kata lain, kepemimpinan koalisi ini relatif akan leluasa memaksakan kehendak terhadap partai-partai pemerintah baru kelak, yakni Golkar, Gerindra, PAN, PSI, Gelora dan PBB. Berarti, Jokowi akan bisa menekan partai-partai koalisinya, termasuk menekan presiden. Mirip pengalaman pribadinya yang harus tunduk pada pengaruh Ketua Umum PDIP, meski akhirnya berkhianat.

Sebenarnya lain ceritanya. Jokowi selaku presiden – di mata PDIP – memang hanyalah petugas partai. Sementara, Probowo – jika menang dalam kontestasi pemilihan presiden – bukanlah petugas partainya, tapi menjadi dirinya sendiri. Tak pantas diperintah-perintah oleh orang lain apalagi tunduk pada kemauan orang lain, termasuk Jokowi. Karena itu Prabowo tak bisa terima usulan pembagian tugas antara presiden dan wakil presiden. Usulan yang sempat terhebus adalah Jokowi memaksa agar Prabowo memberi kewenangannya kepada Gibran.

Wow. Berarti, Prabowo hanyalah presiden “patung”. So, the real president is Gibran. Ala maak. Bocah cilik kuwi iso opo. Di luar kompetensi, konstitusi sudah mengaturnya: wakil presiden hanyalah akan difungsikan manakala presiden berhalangan, bersifat sementara apalagi tetap. Selama presiden masih bisa menjalankan fungsinya, maka posisi wakil presiden hanya asesoris dalam sistem ketatanegaraan. Bukankah aturan ini dilajukan olehmu wahai Mr. Jokowi? Memang sulit memahami alam berfikir orang dungu. Yang ada di otaknya hanyalah bagaimana menguasainya tanpa memahami ketentuan konstitusi dan mau menjalankannya? Sikap a priori yang sungguh stupid atau ediot. Tak bisa dinalarkan secara sehat.

Kondisi itulah yang tampaknya Prabowo tak bisa menerima alam pikir Jokowi yang sangat tidak rasional itu. Kesadaran itu menggerakkan Prabowo menginstuksikan kadernya di Senayan untuk ikut arus politik yang menghendaki penggunaan hak angket. Instruksi ini – sebagai hal kedua – akan mengubah peta politik baru. Yaitu, proses penggunaan hak angket menambah kekuatan politik di Senayan, meski Golkar menolaknya. Komposisi kekuatan tambahan dukungan pro hak angket berpotensi besar akan menghasilkan resolusi: membenarkan dugaan kecurangan terstruktur, sistemik dan massif (TSM). Pembenaran itu didasarkan bukti faktual yang dipaparkan di Pansus kecurangan itu yang memang diberi ruang yang leluasa untuk pembuktiannya.

Dengan kesatria, Prabowo akan mengakui kebenaran terjadinya kecurangan itu. Dia akan muncul kembali jiwa Sapta Marganya: rela didiskualifikasi. Jika lolos dari ketentuan diskualifikasi, Prabowo rela menerima hasil politik terbaru. Yaitu, pasangan calon (paslon) 01 dinyatakan sebagai pemenang. Atau, siap menerima dua putaran. Namun, andai terjadi dua putaran dan yang terjadi 01 vs 02, Probowo tak akan se-all out dalam mengarungi pilpres. Ia juga tak akan mau melakukan abuse of power dengan cara mempolitisasi bansos.

Yang sungguh menarik untuk dianalisis lebih jauh adalah – sebagai hal ketiga – Prabowo sebagai Menhan akan mengeluarkan perintah untuk melarang TNI menggunakan kekerasan dalam menghadapi massa pengunjuk rasa anti kecurangan. Meski Panglima TNI orangnya Jokowi, tapi – secara struktural – ada dalam garis komando Menhan. Memang, ada Pangliam tertinggi. Tapi, secara operasional tetap Menhan sebagai komandannya. Menhan juga akan mengawasi sikap dan tindakan POLRI, represif, terutama saat menghadapi massa pengunjuk rasa pro kejujuran. Jika POLRI lebih menjalankan perintah Jokowi, maka akan menghadapi TNI. Di lapangan berpotensi konflik diametral TNI verus POLRI. Jika hal ini terjadi, pasti TNI akan mendapat dukungan luas dari rakyat.

Peta baru politik itu akan mempercepat kejatuhan Jokowi. Semoga, ini skenario Allah yang memang layak dikenakan pada pemimpin jahat. Juga, skenario Allah untuk mengantarkan pemimpin shaleh, menjunjung tinggi keadilan dalam berbagai spektrum kenegaraan. Juga, bervisi luar biasa untuk kepentingan bangsa dan negara. Peta baru politik ini dan kesadaran seorang Prabowo akan menjadi legacy politik yang luar biasa bagi negeri ini. Bukti patriot sejati. Lebih TNI daripada TNI yang ada. Sungguh seorang NKRI sejati: untuk rakyat dan negara. Boleh jadi, Prabowo ditakdirkan sebagai sosok yang husnul khatimah. Mungkinkah? Wallahu a`lam yang Maha Mengetahui detik-detik penentuan kondisi dan arah Indonesia ke depan.

Bekasi, 19 Maret 2024
Penulis : Analis Politik
🙏🙏🙏