Ilustrasi Ririe Aiko Bantuan AI

PENULIS : RIRIE AIKO

Sebuah puisi esai yang terinspirasi dari kisah nenek pencuri singkong
Di sebuah desa yang tanahnya subur dan makmur,
Hidup seorang nenek renta di gubuk yang kian tergusur.
Cucunya, seorang anak tanpa orangtua,
Memeluk perut kosong yang lama tak bersua.

Di depan mereka, hamparan kebun singkong,
Tumbuh, berbaris menantang.
Namun, papan peringatan berdiri tegak:
“Dilarang Memetik, Pencuri akan kami Tindak!”

Namun, apa daya? Lapar menelan akal sehat,
Cucunya menangis, tak kuasa lagi menahan diri
Dari pedihnya air mata kemiskinan.
Nenek tua itu pun memutuskan menjadi pencuri.
Ia menggali dengan tangan gemetar,
Mengambil sebatang singkong dari tanah yang dilarang.
Dosa atau hukum tak lagi dihiraukan,
Ia berharap sisi kemanusiaan akan membuatnya dimaklumi.

Namun, langkahnya terhenti oleh penjaga bersenjata,
Yang menangkapnya tanpa belas kasihan.
Membawanya ke meja hijau.
Hukum tetaplah hukum, harus ditegakkan!
“Saudari terdakwa,” suara hakim menggema,
“Apakah kau sadar, mencuri itu kejahatan besar?”
Nenek itu menunduk, tubuh ringkihnya gemetar,
“Saya sadar, Yang Mulia. Tapi kami hanya lapar.”

Penonton di balik layar, menikmati sepotong roti,
Sambil berkomentar dengan sok bijak,
“Pencuri tetap pencuri, keadilan harus ditegakkan!”

Namun hakim terhenyak, hatinya tersayat.
Di antara barisan buku hukum yang kaku,
Ia bertanya pada dirinya sendiri:
Apakah benar hukum itu buta,
Jika ia tak mampu melihat tangis lapar?

Penonton terdiam, suasana senyap.
Apakah keadilan adalah sekadar aturan,
Atau haruskah ia bertanya tentang nurani yang hilang?

Hakim mengetuk martil dengan suara bergetar.
Keputusan dibuat, dan ia berkata lantang,
“Nenek tua ini memang bersalah di mata hukum.
Namun kesalahan ini bukan hanya miliknya seorang.
Kalian semua, yang duduk menonton,
Yang makan kenyang tanpa bertanya
Mengapa ada perut yang kosong di antara kita,
Kalian juga bersalah!”

Ia menetapkan denda bagi nenek tua,
Namun membebankan tanggung jawab kepada semua yang hadir.
Hukuman ini adalah pengingat,
Bahwa membiarkan kemiskinan adalah kejahatan kita bersama.

Air mata nenek mengalir, bukan karena hukuman,
Melainkan karena tersentuh dengan kemanusiaan yang masih ada.
Penonton terdiam, malu, dan perlahan mengulurkan tangan.
Mereka belajar bahwa keadilan bukan hanya menghukum,
Tapi juga saling menopang mereka yang kurang beruntung

Catatan Kaki:
https://news.detik.com/berita/d-3208088/pengadilan-nenek-tua-dan-hakim-mulia